
Kasus ibu Cicih menjadi viral akhir Februari lalu. Ibu tua berusia 76 tahun ini digugat oleh 5 anaknya sebesar 1,6 Miliar. Alasan para Penggugat : Ibu Cicih (yang notabene ibu kandung mereka) menjual tanah warisan hak mereka tanpa izin.
Suami bu Cicih : Pak Udin (alm.) meninggal dunia setelah sebelumnya mewasiatkan pada istrinya sebidang tanah seluas 332 meter persegi. Mengapa pak Udin memberi wasiat? tak lain karena tak tega -ketika dia sudah meninggal - istrinya harus bersusah payah menghidupi anak dan cucunya.
Ibu Cicih hidup di rumah "mungil" bersama keluarga anak bungsunya. Rumah itu dihuni 8 anggota keluarga, bergantung pada uang pensiun almarhum pak Udin yang besarnya Rp 1.2 juta per bulan.
Cukupkah uang pensiun sebesar itu untuk menghidupi delapan nyawa? nampaknya tidak. Setiap bulan, ibu Cicih menambalnya dari hutang yang diberikan bidan Iis, tetangganya. Hingga suatu kali total hutang sudah mencapai 25 juta.
Demi menutup rasa malu, ibu Cicih menjual sebagian tanah yang diwasiatkan kepadanya pada bu Bidan Iis senilai Rp 250 juta. Sebagian untuk membayar hutang, sisanya sebesar Rp 168 juta dibagi ke anaknya untuk membangun kontrakan.
Sampai di sini, nampaknya cerita baik-baik saja. Tak ada yang janggal.
Tapi, tunggu dulu. Mungkin terdesak kebutuhan, atau mungkin juga karena ada yang "menggosok", Lima dari enam anak ibu Cicih mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung sebesar Rp 1,6 Miliar. Alasannya : Ibu Cicih menjual Harta warisan tanpa seijin ahil waris lain yang berhak.
Lalu, di mana masalahnya? Kita telisik satu per satu.
Pertama, Pak Udin (alm.) memberikan surat wasiat pada istri, ini melanggar ketentuan Hukum Waris Islam. Dalam Hukum Islam, Istri adalah ahli waris dan tidak boleh menerima wasiat-karena sudah ada bagiannya.
Kedua, bagian yang diwasiatkan melebihi 1/3 total harta waris. Ini juga pelanggaran
Ketiga, Proses pembagian waris yang tak berjalan mulus. Dalam hal dan tanah dan bangunan yang akan diwariskan, dianjurkan untuk dihitung dulu nilainya, baru dibagi untuk kemudian diurus hak kepemlikan masing-masing yang berhak. Penguasaan hak kepemilikan (apalagi pemanfaatan) pada satu pihak, tanpa sepengetahuan/persetujuan pihak lain akan memicu sengketa.
Keempat, uang pensiun almarhum ternyata tak mencukupi untuk menghidupi generasi penerusnya. Tentu ini bukan sebuah kesalahan, tapi perencanaan yang baik tentu saja bisa menghindarkan terjadinya hal ini.
Maka, melihat gugatan hukum ini : saya selalu bilang secara hukum sah, walau secara etika tak baik. Tapi, bukankah ini bukan kasus yang pertama terjadi ?
Selasa, Tanggal 20 Maret 2018 Ai Sukawati, anak sekaligus salah satu penggugat mencabut gugatannya saat proses mediasi. Dengan itu, sementara kasus ini tak bergulir lagi. Tapi apakah akan berhenti gugatannya? Belum Tahu. Karena tiga anak lainnya masih berfikir untuk -mungkin- membuat gugatan baru.
Maka, tak capek saya berbicara dari satu kota ke kota lain tentang Literasi Hukum Waris, terutama terkait Asuransi.
Karena, belajar dari kasus Ibu Cicih (dan Kasus-kasus lain) Kejadian Sengketa Waris terjadi karena dua hal :
1. Rendahnya Pemahaman Hukum Waris, terutama istri yang merasa bahwa harta peninggalan suami adalah sepenuhnya milik dia
2. Harta Waris yang kelihatannya cukup, dapat menjadi minim bahkan kurang saat dibagi pada para Ahli waris. Pengalaman mengajarkan :kalau bicara uang, tak ada lagi kata saudara.
Asuransi, memiliki peran besar dalam Proses Waris, terutama sebagai PENAMBAH BAGIAN ISTRI dan PENYEIMBANG BAGIAN ANAK. Plus, proses pewarisannya yang sederhana, tanpa biaya, tepat waktu, tepat jumlah... Dan bebas pajak.
Maka, saat akan menolak agen asuransi : baca lagi deh kisah ibu Cicih. Jangan sampai kisah pilu itu terjadi pada kita.
Kekayaan suami atau istri tujuh turunan, enam tanjakan SAAT INI : tak akan ada artinya.
** Foto rumah Ibu Cicih sepenuhnya milik JawaPos.com
Comments
Post a Comment