Motor kebanggaan Bapak, karena ini adalah harta berharga yang beliau bisa dapatkan setelah menabung keras bertahun-tahun dari gajinya sebagai "pegawai rendahan" di sebuah instansi pemerintah di Semarang. Harta berharga lain di rumah adalah sepeda onta (saya lupa merknya) yang biasa dipakainya berangkat kerja dan belakangan : TV Hitam Putih merk Grundig yang menyala dengan tenaga aki.
Motor ini dibeli tunai saat saya kelas lima atau enam SD, harganya ribuan rupiah. Dan hanya dua orang di kampung kami yang memiliki motor ini : ayah saya dan Pak Slamet pegawai agraria.
Saking sayangnya, tiap pagi dan sore motor ini dilap mengkilap dan bensinnya selalu diisi penuh. Masih ingat harga bensin premium waktu itu (tahun 1977) Rp 70,- per liter !
Saat itu adalah jaman keemasan minyak bumi Indonesia. Saya ingat setiap nonton "Dunia Dalam Berita" jam 9 malam di TVRI, Yasir Denhas selalu bilang, Indonesia adalah negara penting dalam organisasi negara pengekspor Minyak (OPEC). Bangga.
Waktu itu, produksi minyak kita -konon- mencapai 1.500 barel per hari. Konsumsi dalam negeri tak sampai separonya. Maklum, pemilik motor dan mobil masih sedikit. Penduduk juga masih sedikit. Kata Bang haji Rhoma cuma 150 juta.
Almarhum Bapak dan Ibu memiliki empat orang anak, semua sudah ada di rantau. Empat-empatnya sudah berkeluarga dan -alhamdulillah- punya minimal 1 mobil dan 1 motor. Konsumsi bensin mobil hampir 20 kali lipat konsumsi bensin motor.
Gaikindo bilang, sepanjang tahun 2017, jumlah mobil baru yang meluncur ke jalanan sekitar 1 jutaan unit. Sementara mobil lama tetap beroperasi juga. Jalan segitu-gitu aja, jalanan makin macet. Yang tadinya dari Bogor ke Jakarta PP perlu bensin 10 liter, sekarang jadi perlu 15 bahkan 20 liter.
Produksi Minyak Bumi -menurut Deptamben- makin turun. Produksi dulu 1.500 barel perhari, sekarang cuma jadi 800-an barel per hari. Konsumsinya NAIK dua kali lipat, PRODUKSI turun jadi separo : TEKOR !
Akhirnya, kalau dulu kita jadi anggota OPEC yanng mengekspor minyak, sekarang kita MENGIMPOR minyak. Impor bayarnya pakai rupiah? Enggaklah, pasti pakai Dollar.
Sementara dollar juga dibutuhin juga buat bayar impor beras. Lho beras juga impor? Ya iyalah. Mulut dan perut yang butuh nasi makin banyak, sawahnya makin habis digerus perumahan. Jaman saya kuliah, beras seliter Rp 950,- sekarang jaman anak saya kuliah Rp 8.000,-.
Dollar karena tahu banyak dibutuhin, makin jual mahal. Maka nilainya makin naik aja. Ini hukum Permintaan-Penawaran dasar saja. Dulu duit 1 dollar bisa dapat seliter beras, sekarang 1/2 liter aja ...
Itu yang namanya INFLASI. Nilai duit (rupiah) kita makin tergerus.
Lalu bagaimana menghajar inflasi :
1. Hemat. Karena Gaya berbanding lurus dengan tekanan. Makin banyak gaya, maka hidup akan banyak tekanan.
2. Hidup lebih produktif, jangan kebanyakan "mager". Kalau gaji kurang, ya cari usaha sambilan. Kalau gaji susah naik, cari sambilan susah.. ya keluar cari kerja atau usaha baru. Tekuni sampai berhasil. Jangan cemen
3. Jangan alergi pada kata "investasi". Pelajari pakai logika sehat, ngobrol sama yang ngerti, cari instrumen yang bagus dan cocok untuk mengembangkan asset.
Jadi, cuma dema-demo atau teriak-teriak mengeluh di sosial media "bensin naik, beras naik, dollar naik" tak bakalan bikin kita lebih baik. Harga bensin naik, beras naik, dollar naik sebenarnya lebih banyak karena ulah kita sendiri.
Membuat KEGADUHAN memang bisa mencuri perhatian. Tapi Mencari perhatian itu juga bisa pakai PRESTASI.
Comments
Post a Comment