Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2017

BANYAK REKENING, (JUGA BISA) BIKIN PENING

Kisah ini saya tuturkan seizin nasabah saya, Bapak R. Beliau adalah seorang pengusaha kelas menengah, ‘single income’ artinya hanya dari usahanya lah beliau mendapatkan income. Atau pendapatan. Tahun lalu seperti tahun-tahun sebelumnya, pak R melakukan pengisian Form SPT 1770 untuk melaporkan Pajak Penghasilannya. Bedanya, tahun-tahun sebelumnya beliau tak mengisi sendiri SPT nya, namun meminta bantuan konsultan pajak. Dan di garis akhirnya selalu : nihil. Tahun lalu, setelah mendapat penyuluhan dari Kantor Pajak, dia mengisi sendiri SPT nya secara elektronik. Dia laporkan semua harta, kewajiban, pajak yang telah disetor termasuk isi rekeningnya. Ternyata di garis akhir hasilnya : beliau ada kelebihan bayar pajak (karena ada pengurangan dari norma profesi dan PTKP). Beberapa bulan lalu dia diminta hadir ke kantor pajak untuk klarifikasi atas permohonan restitusi pajaknya. Dan saat sesi klarifikasi, beliau diminta menyerahkan -salah satunya- print out buku

MEMILIH BAHAGIA (SHARING DI KUPANG)

Walau mungkin kita tak sepakat soal Presiden Indonesia setelah 2019 dan siapa yang pantas jadi Gubernur tetangga sebelah, tapi bolehlah kita sepakat bahwa jarak dan waktu makin nisbi hari-hari ini. Tanggal 13-16 lalu saya berada di Kupang, NTT,  sharing untuk teman-teman calon MDRT dari Kupang Chandra Utama Agency tentang “Asuransi sebagai Solusi Persoalan Waris dan Pajak”. Perjalanan dari rumah di Bogor menuju Bandara Soekarno Hatta -120 kilometer- makan waktu hampir 3 jam, sama dengan perjalanan dari Bandara Sukarno Hatta ke Kupang yang jaraknya 2500 kilometer. Di ruang tunggu keberangkatan, kami bertemu dan langsung akrab dengan seorang ibu, PNS yang tahun depan bakal pensiun. Bu Ice, namanya. Dengan asyik kami bercerita soal anak, soal perjalanan-perjalanan. Wajahnya tampak lebih muda dari umur seharusnya. Rahasianya? Hidup minim tekanan. Saat kami sampai Kupang, benarlah adanya. Jalanan lancar tanpa macet, senyum ramah menyapa kami di mana-mana, or

SKSD PALAPA

Seorang sahabat, sebut saja namanya mas Embun, datang dari Bandung pengen diskusi. Mas Embun mengelola surat kabar yang dia dirikan sendiri, koran kecil yang beredar hanya di Bandung dan satu dua kota kecil di sekitarnya. Oplahnya tak sampai sepuluh ribuan lembar per hari Mas Embun sudah puluhan tahun malang melintang di dunia surat kabar, kami pernah satu team di Tempo dan Harian ... Sindo. Dia benar-benar memulai karir dari bawah, dari lapangan. Pergaulannya luas : Dari Pejabat yang Penjahat, sampai Penjahat yang Pejabat. Dua tahun lalu, dengan modal pergaulan, dia dirikan surat kabar yang dia kelola sendiri hingga kini. Salut saya sama perjuangan mas Embun : dia menjadi pemain di semua lini : lobby ke narasumber, wawancara, terima pemasangan iklan dan ngebayar gaji karyawannya sendiri. Tipe orang "die hard", nggak cemen. Kemarin dia datang, selain diskusi juga curhat. Surat kabar yang dia dirikan sedang jadi "rebutan" investor. Dua investor yang &quo

TEMAN : BANK INSPIRASI

Bukankah setiap teman adalah bank inspirasi? Tanpa ATM dan PIN mereka akan memberi kita cerita-cerita-cerita pembangkit semangat. Pagi-pagi mruput, saya sudah sampai di rumah teman kuliah, tempat bertanya urusan pajak sekaligus nasabah di Bekasi ini. Disambut durian yang dibawanya dari Lampung, dia bercerita tentang pak Suroso, koordinator tukang yang membantunya merenovasi rumah. ... "Orang-orang bilang, harga jasa pak Suroso mahal. Tapi berhubung dia kelihatannya baik, dan mungkin kasihan melihat kondisi rumah kami saat itu, kami memutuskan memilih pak Roso setelah menawar mati-matian",kata temanku ini. Tadinya mereka tak yakin mampu membayar perkiraan biaya yang disodorkan pak Suroso. Melihat keraguan kami, pak Suroso meyakinkan mereka ",Yakin dan usaha saja pak. Untuk urusan rumah, nanti pasti ada rezekinya". Dan walau dengan deg-degan, kami lalui termin demi termin renovasi rumah. Pak Suroso mengeluarkan kemampuan terbaiknya dan itu yang mem

CINTA DITOLAK, DUKUN (TAK HARUS) BERTINDAK

Sebut saja namanya Budi, dia teman satu kelas waktu Tingkat Persiapan di kampus dulu. Budi adalah salah satu teman jaman susah : kamar kosnya sama dengan kamar kos saya, murah, sempit dan bau apak baju tak kering. Karena itulah kami suka “sok natural” : belajar di Taman. Padahal, karena memang sulit juga belajar di kamar kos yang pengap dan bau apak. Mulai masuk jurusan di tingkat dua, kami sudah tak lagi pernah ketemu, sampai sekarang. Artinya sudah 27 tahun. “Bagaimanakabar YYYYYY”, tanya saya sambil menyebut nama “gebetan” dia dulu jaman kuliah). Saya pikir dia jadi menikah sama Gebetannya ini. Dia tertawa ngakak, dan bilang sudah tak jadi menikah dengan gebetannya itu, setelah pacaran delapan tahun, sejak kuliah sampai lulus dan kerja. Orang tua gebetannya tak setuju anaknya menikah dengan orang luar jawa. Ending yang tragis. Lalu Budi bercerita satu demi satu penaklukannya, hingga bertemu dengan istri yang bisa memberinya dua anak yang keren-keren (saya lihat fot

PINTER BELUM TENTU MULIA

Alifa semangat bercerita sepulang sekolah kemarin. Dia berdebat dengan guru agamanya perihal Investasi dan Asuransi. Ini anak sering ikutan "sit in" kalau saya ngisi training, dengerin kalau saya dan istri ngobrol soal pekerjaan dan beberapa kali ikutan kami jalan bantuin nasabah kami klaim asuransinya. Dia membaca tulisan saya soal konsep Jimpitan atau Parelek. Saya bilang",Guru mbak pasti p inter, karena kalau tak pinter tak mungkin jadi guru. Tapi belum tentu semua pendapat beliau benar. Demikian juga Bapakmu ini. Kita memiliki ilmu yang didalami serta keahlian kita masing-masing. Sampaikan pendapat berdasarkan pengetahuan yang kamu miliki. Jangan takut berdebat, apalagi takut salah. Salah itu manusiawi, kamu bisa salah, guru juga bisa salah". "Yang tak boleh adalah kita merasa lebih benar dari orang lain, terus naik level merasa lebih mulia ... lha wong sama-sama manusianya. Apalagi memaksakan kebenaran versi kita pada orang lain. Emangnya kam

WASKITO

Suatu kali atas saran seorang teman, kami pergi ke sebuah pesantren di (pedalaman) Purwakarta. Itu sekitar Januari atau Februari 2006, beberapa bulan sebelum saya memutuskan mengundurkan diri dari kantor tempat saya bekerja. Kata teman", Kita konsultasi, pak Kyainya suka bantu 'baca orang". Suasana kerja di kantor waktu tidak kondusif seiring koran yang makin sulit dijual dan masuknya team baru yang menjanjikan pada 'bos besar' bisa mengubah kondisi sulit ini dalam tempo sekejap. Teman-teman resah, sayapun resah. Bukan karena takut kehilangan pekerjaan, tapi belum ada tempat lain yang sanggup menampung beberapa teman yang. -hampir pasti- tergusur posisinya. Maka saya, dan dua orang teman berangkat dari Jakarta pukul 09 pagi, menjemput teman -penunjuk jalan- di alun-alun Purwakarta dan tepat menjelang lohor kami tiba di pesantren itu. Pesantren kecil, yang terletak di perbukitan. Santri-santri sedang antri mengambil air wudhu di bawah tandon air war