Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

Menonton "Merry Riana"

Terlepas dari segala hal ceroboh dalam film ini, seperti iPhone 6 yang bisa tampil dalam film bersetting tahun 1999-2000an; searching di google yang terbaca tahun 2012, hingga akting Chelsea Islan -pemeran Merry Riana- yang terlalu heboh lari kanan kiri di jembatan Cavenagh : film ini lebih terkesan sebagai film romantis, drama penguras air mata. Jejak sebagai film yang dibangun dari buku kisah nyata untuk membangun motivasi serta semangat, hampir tak terlihat jelas.  Ini seperti sinetron di tivi-tivi Indonesia.  Entahlah, mungkin karena tuntutan produsernya. Sebagai pembaca semua buku Merry Riana, dari semula saya sudah skeptis ketika istri saya mengajak menonton filmnya.  Sebagaimana "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dan "Laskar Pelangi" imajinasi yang terbangun saat membaca novelnya, tak terbayar sama sekali oleh filmnya.  Cukup kecewa.  Saya tadinya berharap film ini lebih banyak bercerita soal perjuangan yang memotivasi, serta semangat yang p

DULU TUYUL, KINI INFLASI

Illustrasi dari Mice Cartoon Pernah dengar “orang rumah” marah gara-gara harga cabe yang agak gila-gilaan?   Mulai tukang sayur, pertamina sampai presiden tak luput dari sasaran kemarahan.   Jaman makin susah, harga-harga melambung tinggi.   Tapi, penghasilan tak kunjung ikut terbang mengikuti. Saat harga melompat tinggi, entah itu hanya dipicu dari cabe yang dibuat sambal, atau daging sapi untuk pelengkap sayur sop memicu sebuah kejadian bernama INFLASI.   Sederhananya, inflasi adalah kondisi dimana uang kita kemarin cukup untuk membeli satu kilogram cabe, hari ini hanya cukup untuk membeli tigaperempat atau bahkan setengah kilogram.   Nilai uang kita turun dibandingkan harga barang. Maka lihatlah sedikit data dari BPS ini.   Inflasi kita ini : 6.96% (2010), 3.79% (2011),   4.30 (2012), 8.38 (2013) dan diperkirakan mencapai 5.75% pada akhir 2014 ini.   Total jenderal selama lima tahun terakhir inflasi kita mencapai 29.18%.   Artinya apa?   Buat anda yang dul

PEDULI bukan TIBA-TIBA PEDULI

Tadi pagi, seperti biasa, sambil menyeduh kopi saya sempatkan membaca beberapa kabar dari teman di situs jejaring sosial. Sebuah kisah tentang seorang tua penjual amplop di depan msjid Salman ITB menyeruak. Di zaman amplop menjadi komoditi yang terpinggirkan, beliau tetap setia menjualnya. Di zaman yang yang makin serakah dan tak punya hati nurani, beliau hanya setia pada keuntungan Rp 25,- per lembar amplop yang dijualnya. yang bahkan, bila amplopnya laku 100 lembar, keuntungannya tak cukup untuk membeli sebungkus nasi dari warteg. Tapi kisah itu jauh, saya tak mengenal si Pak Tua, saya jarang lewat Masjid Salman, karena saya tinggal di Bogor. Dan, di dekat saya ada kisah serupa, saya temukan di kantor tempat saya "bantu-bantu" bikin kopi dan teh. Ada pak Saman-sebut saja begitu. sudah 18 tahun bekerja di kantor ini. Sejak kantor ini belum ada kursi katanya. Tugasnya dulu membagi-bagikan koran promosi, hingga kini setelah 18 tahun posisinya tetap -kurang lebih- sama. Di anta

MELATIH KONSISTENSI dan KONSISTENSI

Rubrik BENGKEL UANG edisi 24 November 2014 Apalagi yang lebih sulit daripada melatih konsistensi ?  Maka itulah yang terjadi hari-hari ini.  banyak orang tak sukses, bukan karena mereka tak pintar tapi karena mereka terlalu mudah berhenti,  Maka Konsisten juga perlu dilatih.  Itu pendapat saya. Maka, dalam rangka merawat dan melatih konsistenti, seminggu sekali setiap Senin saya menulis Kolom Tetap di Harian Bogor.  Kolom itu bernama BENGKEL UANG. Bengkel Uang hanya berisi hal-hal sederhana soal mengelola keuangan keluarga.  Bukankah benar bahwa orang kaya bukan sekedar orang yang banyak menghasilkan uang?  Tapi mereka yang bisa mengelola uangnya dengan baik lah yang pantas disebut orang kaya. Lalu apa itu mengelola uang dengan baik?  Itu adalah semacam keahlian untuk menyisihkan "uang kecil" agar masa depan keluarga (atau yang bakalan ditinggalkan) tetap terjamin.  Ada atau tak ada si mesin uang, hidup orang yang ditinggalkan tetap sejahtera.  Sederhana saja. Han

CATATAN PERJALANAN

CATATAN PERJALANAN. Selesai sudah satu perjalanan. Kami singgah di 12 kota, melintasi tujuh propinsi dan melahap 3270 kilometer. Kami mencatat, karena kami menolak lupa. Ini bukan kali pertama kami "pulang" ke Padang, tepatnya ini adalah perjalanan kali ke tujuh. Tapi perjalanan kali ini sangat istimewa. Pertama, karena anak-anak sudah cukup besar untuk bisa mulai mencatat dan mencerna apa yang mereka temui di sawah, di pasar dan manusia dengan berbagai bahasanya. Kedua, karena kami sukses berkeliling sebagian sumatera barat, hampir 400 kilometer. Tahun ini, kami menyambangi Padang, Bukittinggi -dan sempat menikmati kehangatan kota dingin ini tanpa macet, melintasi perbukitan Baso menuju Batusangkar. Berputar melalui Padang Panjang untuk kembali ke Padang. Kami tak melintasi Pariaman dn Danau Maninjau, karena sudah kami jelajahi du tahun lalu. Kesimpulannya, Indonesia itu indah. Dan Kaya. Sepanjang jalan, kami bercanda, berdialog dengan anak-anak. Mereka kini lebih terasa m

BAHAGIA itu SEDERHANA

BAHAGIA ITU SEDERHANA. Saya dan istri bukan orang kaya, bukan juga keturunan orang kaya. Saya hanya berdagang kopi, dan belakangan ikut bersama istri saya menjadi agen asuransi. Ya, Agen Asuransi, profesi yang saat kita membagi kartu nam a kepada teman saja, membuat mereka takut dihubungi. Takut ditawari asuransi. Jadi profesi ini semacam zombie atau genderuwo yang patut ditakuti. Jelas, kami tak berkelebihan harta, tapi kami yakin, kami berkelebihan syukur. Setiap tahun kami mudik, bergantian ke Barat dan ke Timur. Semacam wajib saja. Sederhana karena kami masih memiliki orang tua. Orang tua yang sudah susah payah menjadikan kami seperti sekarang ini, yang saking jauhnya, sungguh sulit buat kami untuk bertemu. Kami datang, dua tahun sekali, untuk menuntaskan rindu. Sesederhana itu. Jelas, sebagai agen asuransi kami tak bergaji dan tak ber THR, justru -tanpa beniat sombong atau riya- kami memiliki kewajiban membayar THR orang2 yang sudah ikut kami. Hidup kami selalu berada di amban

Bersyukur pada Masa Gelap ...

Besok saya berangkat ke Hongkong.  Bukan bekerja, tapi jalan-jalan, gratis.  Enak ya?  Enak banget. Duabelas tahun saya bekerja sebagai orang kantoran,, amat-sangat jarang kesempatan jalan-jalan gratis ini bisa saya peroleh.  Dulu, setiap bulan saya pasti harus travelling, tapi untuk urusan pekerjaan.  Selesai travelling ada target yang dicapai, dan harus membuat laporan perjalanan. Hongkong di malam hari Dulu, setiap tahun target penjualan yang harus saya raih juga terus naik.  Perusahaan-perusahaan tempat saya bekerja ingin terus menaikkan target, bahkan sebelum target tahun sebelumnya bisa tercapai.  Sebenarnya, tak ada bedanya dengan sekarang...target dan target.  Bedanya, saat ini yang saya kejar target pribadi.  Tentu kepuasannya saat meraihnya berbeda. Dan besok saya berangkat ke Hongkong.  Jalan-jalan gratis. Setelah melalui masa-masa sulit, saat teman-teman mempertanyakan keputusan saya meninggalkan karir dan jabatan yang mengkilap, saat kehilangan gaji dan fasili

1000 keinginan, 100 teori, 10 konsep akan kalah dengan 1 tindakan...ayo Move On.

Terilhami dari Film "Now You See Me"; pertanyaan pertama saat training kemarin adalah : "berapa Saldo Rekening anda hari ini?". Pertanyaan yang mudah, dan jawabannya pun mudah.  Anda tinggal buka buku rekening, atau pencet SMS bangking di hape anda...selesai.  Pertanyaan selanjutnya, apakah saldo itu cukup untuk membiayai hidup anda 3 bulan, atau 6 bulan atau bahkan setahun pada kondisi anda "diputuskan" harus beristirahat tak bekerja. Pertanyaan kedua yang dilontarkan pada peserta training adalah : "Pada 3-5 tahun dari sekarang, apakah anda akan melakukan pekerjaan yang sama dengan apa yang anda lakukan sekarang?". Jawaban peserta, 100 % mengatakan TIDAK.  ini cukup mengejutkan.  Peserta training di gedung ber AC wangi, rata-rata berdasi dan berpakaian rapi ternyata ingin 3-5 tahun lagi mereka "terbebas" dari rutinitas yang mereka lakukan saat ini. Saat ditanya mengapa mereka berfikir untuk "move on", jawabannya beraga

Catatan dari derai hujan

Setiap pagi, suara gerbang pagar dibuka tepat pukul 04.50 pagi.  Kadang fajar di Bogor belum genap, sisa malam belum habis, matahari belum berniat muncul menjalankan tugasnya.  Setelah bergegas, terdengar suara mobil distarter, pintunya ditutup dan pergi : menuju kantor di Jakarta.  Senin hingga Jumat.  Dan itu, suara datang dari tetangga depan rumah saya.  Sebuah rutinitas yang mengagumkan Ingatan saya bagai dilemparkan pada periode 1998-2006.  Itu rutinitasku juga saat itu.  Hidup itu harus bekerja, dan bekerja itu bangun jam empat pagi, bergegas mengejar kereta menuju kantor untuk bergegas lagi malam harinya menuju rumah.  Besok, sama saja.  Kalau mendengar cerita bahwa di neraka ada yang disiksa hingga luka-luka, kemudian luka itu sembuh untuk kemudian disiksa lagi dan seterusnya dan seterusnya... maka saya pernah berkesimpulan bekerja dengan rutinitas "edan" seperti itu seperti dicemplungkan di neraka.  Tapi itu pendapat saya. Saya tulis catatan ini saat rehat siang

Berbisnis dengan Modal Syukur

Itu adalah judul tulisan saya yang dimuat dalam buku Kumpulan Hikmah "Kun Fayakun for Business".  Buku ini diterbitkan oleh PPPA Darul Quran, Yayasan yang dinaungi oleh Ustadz Yusuf Mansyur.  Buku ini -saya katakan sebagai- kumpulan hikmah, karena berisi beberapa tulisan dari beberapa entrepreneur yang sukses di bidangnya masing-masing.  Hikmah, bahwa memulai sebuah usaha tidak harus dengan sulit, tidak harus bermodal uang besar sebagaimana yang umum dibayangkan para pemula. Secara sederhana -dalam buku itu - saya bahkan menguraikan bahwa Berbisnis bisa bermodal rasa syukur.  Kok bisa?  Ya, ide tulisan ini sebenarnya datang dari cerita pak Dahlan Iskan saat menjalani transplantasi hati beberapa tahun lalu.  Untuk "mengganti hati"-nya, beliau menghabisnkan tak kurang dari dua milyar rupiah.  Itu baru satu organ (hati/liver).  Sehingga kalau dihitung, sebenarnya Tuhan sudah memodali kita ratusan milyar dalam bentuk pikiran yang sehat dan fisik yang sempurna. Tapi,

Cerita yang Belum Selesai

Postur tubuhnya sudah membesar, indikasi hidup yang makmur, katanya.  Dia teman saat SMP, sudah 20 tahunan kita tak berjumpa, hingga kemarin saat cuaca Jakarta sudah mulai terik, kita ketemu di sebuah kedai kopi di pojok sebuah gedung kantor di jakarta. Perjalanan hidupnya menarik.  Dia datang ke Jakarta, seperti juga saya, menjadi mahasiswa miskin yang menuntut ilmu dengan impian hidup yang hebat.  Dia kais mimpi-mimpinya dari mulai berdagang kertas untuk para tukang foto kopi, hingga kini memiliki perusahaan distributor pelumas (oli).  Tentu, bukan perjalanan yang mudah dan ringan. Dia kemarin bercerita, salah satu linis bisnisnya di Sulawesi : pertambangan FerroNikel baru saja meng - PHK 200-an karyawan.  Undang-Undang Minerba yang baru terbit bulan lalu sudah tak membolehkan perusahaannya mengekspor bahan tambang dalam bentuk mentah.  Peraturan ini tak cuma memukul perusahaanya, tapi juga ekonomi daerah tempat perusahaannya berada.  Pasar tradisional sepi kehilangan pembeli, da

Kisah Romantis dan Mendayu. Tapi Apa Boleh Buat ...

Ini adalah sepuluh bulan yang menantang, sejak saya memutuskan masuk dunia asuransi akhir Mei 2013 lalu. Hingga saya membaca status seorang teman di media sosial tadi pagi. Dengan bahasa -yang menurut saya - sinis dan sarkas, dia menceritakan kesuksesannya menolak seorang agen asuransi yang menawarinya sebuah produk asuransi syariah.  Dengan lugas, dia menyebut agen asuransi itu sudah mendoakan dia celaka dan mati.  Apa yang terjadi sebenarnya, wallahu'alam. Tapi, saya saat ini berada di dunia itu.  Dunia orang menerangkan dan menjual "manfaat" asuransi.  Dan, belum pernah saya "diajarin" mendoakan calon klien celaka atau mati.  Tak pernah.  Kami -para financial consultant, demikian nama keren profesi keren ini - hanya diajari mengingatkan dan menerangkan. Penolakan, itu wajar saja.   Bisa karena orang yang kita ingatkan tak bisa menerima kenyataan (terutama soal kenyataan bahwa dia pasti mati, dan saat dia mati dia harus meninggalkan warisan yang layak

Dia Bertanya, Bagaimana Rasanya Gagal ?

Hari masih saja mendung, gerimis kadang masih turun, dengan malu-malu, membuat matahari pun enggan menampakkan sinarnya.  Tapi, jalanan sudah mulai ramai ketika seorang kawan -yang masih bekerja di sebuah koran - mengirim SMS dan bertanya -pertanyaannya agak janggal- tapi mungkin dia memang membutuhkan jawabannya. Pertanyaannya," Bas, kamu pernah gagal, bagaimana rasanya gagal itu?". Saya kelabakan menjawabnya, bukan saja bakal menghabiskan berbaris-baris SMS, itupun belum tentu jawabannya bakal memuaskan dia.  Saya jawab saja dengan pendek," Nanti saya tulis sebuah kisah di blog, baca saja". Gagal.  Buat sebagian orang, kata itu sangat menakutkan.  Buat yang sekarang kaya, kata itu mengindikasikan jatuh miskin.  Buat yang hidupnya "bahagia" kata itu bisa berarti "kesulitan".  Tapi, bukankah gagal dan berhasil itu datang satu paket ? Tahun 2002, selepas saya keluar dari TEMPO dan setelah mencari peruntungan dengan berbagai "profesi

Surat Untuk Teman-Teman di Selatan

Jikalau ini akan menjadi akhir sebuah gerakan, saya berharap ini adalah gerakan yang baik. Maksudnya sederhana, hanya membuka yang gelap karena ditutupi dan membongkar skenario yang dipendam rahasia. Saya -selalu- percaya tim yang "zonder hierarchy" akan lebih mudah mencapai kejayaannya, karena pribadi yang merdeka akan lebih kreatif dan berfikir terbuka; tanpa dihantui oleh sekat jenjang tingkatan, apalagi ketergantungan atas materi semata.  Kalaupun ada jabatan, itu hanya "brevet" semata.  Dia tak selalu berhubungan dengan kreatifitas dan kepintaran, dia hanya berhubungan dengan waktu serta posisi atas bawah, kiri dan kanan.  Bahkan, jabatan bisa juga lebih dekat ke soal keberuntungan. Bila gerakan ini nanti ada hasilnya, saya berharap hasilnya baik dan bermanfaat buat kita semua. Tapi bilapun tak ada, jangan itu menyurutkan langkah kita untuk terus mencari kebenaran dan kemerdekaan. Karena Jiwa yang Bermartabat, adalah Jiwa yang Merdeka. Saya percaya kata G

Begitulah Manusia... (Inspirasi dari Om Benny, pemilik toko ban di Serpong)

Suara ketawa keras, rambut sudah memutih, tapi kerasnya jabatan tangan tak bisa menyembunyikan semangatnya.  Logat jawanya yang "medhok" tak bisa menutupi keramahannya pada setiap pembeli ban di tokonya, tak terkecuali saya. Kemarin, saya ketemu om Benny (begitu dia biasa disapa oleh pelanggannya) di toko bannya di Serpong. Dari ceritanya, lebih separuh usia dia habiskan di toko ban ini.  Seorang padagang sejati.  Tentu, masa manis dan pahit sudah dilewatinya, jalan menanjak dan menurun tajam. Kemarin dia bercerita pada saya, seorang pelanggan baru yang seolah sudah lama diakrabinya.  Bahwa dunia sudah berubah sedemikian pesatnya.  Bisnis ban yang digelutinya sudah tak lagi manis sebagaimana dulu ketika mobil tak sebanyak sekarang.  Persaingan ketat, keuntungan makin tak seberapa. "Yang penting buat om, barang bisa keluar cepat dalam jumlah banyak, margin kecil tak apa-apa," ujarnya, dan ini juga pelajaran sering saya dengar dari kebanyakan pedagang yang suda

Sebuah Film dengan Judul yang Janggal (Inspirasi dari : the Pursuit of Happyness)

Bukan bermaksud sok Inggris, tapi hanya mengutip.  Judul diatas adalah judul film-yang saya tahu bagi yang jago berbahasa Inggris rada janggal-  yang berulang saya tonton ketika malam sudah mulai dingin, embun mulai jatuh dan jengkerik mulai berdendang. Sebuah film biasa, tapi dengan cerita luar biasa, karena diilhami kisah nyata seorang Chris Gardner, seorang sales biasa namun berbakat, dengan anak semata wayangnya Christopher yang berjuang berdua : menemukan kebahagiaan. Kisah ini sebenarnya jamak terjadi di lingkungan kita.  Barangkali saya atau anda adalah Chris Gardner.  Seorang salesman miskin, dengan anak semata wayang tak berdosa di dunia kesendirian tanpa dukungan : berjuang mengejar mimpi. Maka kembali pada Chris Gardner.  Dia seorang salesman miskin, dengan balita yang belum lagi tahu apa-apa.  Keyakinan pada mimpi besar yang dimiliki, membawa dia berjuang menjual alat yang sia-sia saja dijualnya.  Bisnis kadang kelihatan manis di kulitnya.  Hingga ketidakberdayaan eko

"Mengapa" itu menjadi Sekop, "Mengapa Tidak" itu menjadi pisau

"...saat itu, lepas subuh,  saya terbaring lemas di tempat tidur setelah semalam divonis kanker kelenjar getah bening di tulang balakang akan "mematikan" kemungkinan untuk bisa berjalan dan berlari sebagaimana anak sebaya yang lain.  Hidup akan kuhabiskan di atas kursi roda.   Saat itu saya baru menginjak 17 tahun, sedang hobi mendaki gunung dan menangkapi kupu-kupu untuk koleksi. Masa depan terasa gelap, hingga masuklah ayahku ke dalam kamar, dan duduk di pinggir tempat tidurku. Beliau hanya bilang," Karena sakitmu ini, pilihanmu hanya ada DUA.  Kamu berhenti, tidak melakukan apa-apa dan mungkin umurmu akan habis di kamar ini.  Kami orangtua tak bisa memaksa, kami akan menjalankan kewajiban kami agar kau tak kelaparan dan kehausan. Tapi, engkau punya pilihan lain, kamu bisa terus menikmati hidupmu, dengan segala kesulitan yang mungkin akan kau alami.   Barangkali begitulah semua kehidupan, semua memiliki kesulitannya sendiri.  Ibarat kesulitan adalah mobil yan