Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Membaca Zaman atau Tergilas Zaman ?

"... saat mendirikan Bukalapak.com dari sebuah garasi kecil, kami percaya bahwa ini akan menjadi besar.  Kami meyakini ekonomi internet adalah masa depan.  Sayang pada waktu itu tidak semua berfikiran seperti itu," demikian jawab Achmad Zaky, Founder dan CEO Bukalapak.com. Sharing Semangat di sebuah Universitas Swasta di Semarang, Oktober 2015 Dan dia tak menyerah, walau saat itu orang berfikir dia aneh : berjualan kok pakai internet, bagaimana bisa, bagaimana akan jadi besar?  Tapi dia jalan terus, get shit done !  Dan seeing is believing, ketika jamannya datang, bisnis (via internet) berkembang, banyak orang mulai berubah pikiran dan melihat internet secara serius. Demikian juga kisah menarik soal Bukalapak, Tokopedia yang kontras dengan cerita jatuh bangunnya Bhinekka.com.  Bhinneka, sudah ada sejak 1996, serta memutuskan masuk ke web tahun 1999.  Tak langsung meledak, karena saat itu "jaman"-nya belum datang.  Tapi kini kisahnya berbeda. Acmad Zaky (Bu

Brain Games, eps. Positivity

Di salah satu episode ‘Brain Games” yang ditayangkan National Geographics Channel ditayangkan sebuah eksperimen bagaimana dukungan dari lingkungan berpengaruh pada pencapaian prestasi seseorang.   Dipilih dua orang sebagai sampel. Seorang wanita muda, cantik, berambut pirang yang sama sekali tak bisa bermain basket, dan seorang lelaki, kulit hitam jagoan basket. Di pinggir lapangan, berdiri sepuluh orang “supporter” yang disetel kondisinya oleh periset acara ini.    Pada sesi pertama, dua orang ini diminta melempar bola basket dari arena “three point” dengan mata tak ditutup. Si Wanita, sepuluh kali melempar bola, hanya berhasil dua kali memasukkannya melalui jaring, itupun mungkin kebetulan. Tapi walaupun banyak tak berhasil memasukkan bola, para “supporter” -diminta- menunjukkan sikap positif, memberi dukungan penuh. Lalu, berlanjut ke giliran Lelaki jago basket melakukan hal yang sama. dari sepuluh lemparan, sembilan kali bola nyeplos memasuki jaring. Berbeda deng

Cerita Satu Setengah Tahun ...

Bukan, bukan karena sudah merasa hidupnya paling enak lalu saya menulis notes ini. Sama sekali bukan. Justru karena hidup saya sudah kenyang babak belur dihajar aneka cobaan, kegagalan maka saya bisa nulis notes ini. Boleh percaya boleh enggak.   Hari ini, 1 Desember 2015 adalah tepat setahun setengah BHR Agency, agency yang saya miliki serta kelola (bersama Driffaroza Ocha , istri saya) beroperasi. Kemarin, kami merayakan “tutup buku” ala AIA dengan mencatat omzet Rp 4,3 Miliar atau nyaris 3 kali lipat omzet yang kami bukukan tahun 2014 lalu. Keren? nggak juga, karena banyak agency AIA lain yang jauh lebih hebat. Minder? walah bro...nggak akan, justru kami merasa musti lebih baik dan lebih baik lagi.   Tahun 2002 sekeluar dari TEMPO, saya merintis bisnis ternak bebek petelor dan gagal. Lalu “coba-coba” menjadi distributor nata de coco dan membuat tabloid sendiri. Karena bisnisnya coba-coba, maka hasilnya juga coba-coba...alias gagal juga. Balik lagi ke dunia kerja

Kursi Baru depan Tivi

Sebagai suami yang kurang romantis, saya terkadang lupa hari ulang tahun istri. Jangankan hari ulang tahun istri, lha hari ulang tahun sendiri saja suka tidak ingat.    Sampai dua minggu lalu, di depan tivi di rumah kami yang kecil, ada perabot baru di depan tivi. Baiklah kita bahas dulu definisi rumah kecil. Rumah kami berdiri di atas tanah 150 meter persegi. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan rumah “copycat” kami : Anang dan Ashanty. Coba perhatikan foto saya dan istri saya, mirip mereka kan ? (Mirip, kata saya sendiri). Rumah Anang-Ashanty berdiri di atas tanah 2400 m2, luas tanah rumah saya tak sampai sepersepuluhnya, jadi jelas kan.   Memiliki rumah kecil tentu dibutuhkan kecerdasan berlebih, agar rumah tetap kelihatan lega, tak “sumuk” karena kebanyakan perabot. Kalau “sumuk” artinya kita punya alasan agar menyediakan penyejuk ruangan (baca : AC) di rumah. Bukan, bukannya kami sok rumah hijau, pro lingkungan dan anti pemakaian AC : namun, sederhana saja, kami

DIA, PAK GUN ...

“Saya mulai tadinya bertanya-tanya, mengapa kebanyakan mantan karyawan atau teman sejawat saya, setelah pensiun tak lama kemudian meninggal dunia.   Padahal mereka dulu orang-orang yang giat, yang sehat hidupnya,”begitu saja dia membuka pembicaraan. Tadi pagi, saat cericip burung meramaikan halaman belakang sebuah hotel di Bogor, yang sekaligus sebuah restoran taman, begitu saja kami bertemu dan berbincang   panjang. Pak Gunawan, usianya 67 tahun, baru dua tahun lalu pensiun dan memilih tak tinggal diam saja di rumah.   Pagi itu, kami dikumpulkan oleh sebuah perusahaan Asuransi asing yang menjadi mitra kami untuk diberikan banyak pencerahan.    Matahari masih belum garang, saat beliau melanjutkan ceritanya. “Saya percaya, bahwa lahir, jodoh dan mati sudah ada yang menggariskan.   Tapi saya percaya, walau sudah digariskan, kita harus selalu mempersiapkan,”terangnya dengan serius. Sambil menyendok nasi, saya mendengarkan cerita hidupnya.    DIA, PAK GUN Dia, pak Gun : sa

PAK KADIR dan NILAI EKONOMISNYA

“ A good plan violently executed now is better than a perfect plan executed next week.” (George S Patton) Suara tangis itu dari dalam ruang tamu itu nyaring terdengar hingga halaman, tempat kami berteduh dari sengatan panas pagi itu.   Jelaslah, itu suara tangis bu Kadir yang tak menyangka suaminya meninggal secepat itu.    Suara ibu-ibu pengajian yang melantunkan ayat-ayat suci makin membuat suasana pagi itu cukup menyayat. Pak Kadir, belum lagi beranjak 50 tahun usianya.   Saya bertemu terakhir dengannya tiga hari lalu di tempat cucian mobil langganan, lokasi dia rajin mengelus BMW baru kesayangannya.    Dia pengusaha sukses, memasok terigu dan perlengkapan membuat roti ke distributornya di seluruh Indonesia.   Rumahnya paling megah di kompleks saya, dan salah satu indikator kesuksesannya adalah garasinya yang sesak terisi tiga mobil dan dua buah motor gede.   Keluarganyapun kelihatan bahagia. Kabar duka menyeruak kemarin malam.   Pak Kadir koma selepas pingsan saat

CERITA SOAL KETEGUHAN HATI

Dia berdiri tegak di kawasan timur (PuDong) kota Shanghai.   Dari puncaknya, terlihat kecil kapal-kapal besar yang hilir mudik di sepanjang sungai Huang Pu.   Gedung ini, Shanghai World Financial Centre (SWFC) adalah bukti, sebuah cerita soal keteguhan hati. HANYA CERITA FIKSI Tengoklah Shanghai awal tahun 1990-an.   Deretan gedung megah dengan gaya kolonial berderet di kawasan barat kota ini, kawasan PuXi.   Dengan sungai Huang Pu sebagai pembelah, Puxi adalah kawasan mapan sedangkan Pudong adalah daerah yang ingin bangkit serta berkembang.   Ide membangun sebuah gedung pencakar langit adalah cerita fiksi belaka.   Hanya impian di siang bolong. Struktur tanah berlempung, cuaca dan angin yang kerap tak bersahabat adalah hantu menakutkan untuk pengembangan kawasan Pudong.   Zhao Qizheng, wakil walikota Shanghai yang bertugas untuk pengembangan kawasan Pudong sempat pusing tujuh keliling.   Hingga datang sebuah gagasan, yang dilontarkan oleh seorang Jepang -musuh bebuyut