Sebagai suami yang kurang romantis, saya terkadang lupa hari ulang tahun istri. Jangankan hari ulang tahun istri, lha hari ulang tahun sendiri saja suka tidak ingat.
Sampai dua minggu lalu, di depan tivi di rumah kami yang kecil, ada perabot baru di depan tivi. Baiklah kita bahas dulu definisi rumah kecil. Rumah kami berdiri di atas tanah 150 meter persegi. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan rumah “copycat” kami : Anang dan Ashanty. Coba perhatikan foto saya dan istri saya, mirip mereka kan ? (Mirip, kata saya sendiri). Rumah Anang-Ashanty berdiri di atas tanah 2400 m2, luas tanah rumah saya tak sampai sepersepuluhnya, jadi jelas kan.
Memiliki rumah kecil tentu dibutuhkan kecerdasan berlebih, agar rumah tetap kelihatan lega, tak “sumuk” karena kebanyakan perabot. Kalau “sumuk” artinya kita punya alasan agar menyediakan penyejuk ruangan (baca : AC) di rumah. Bukan, bukannya kami sok rumah hijau, pro lingkungan dan anti pemakaian AC : namun, sederhana saja, kami harus mengirit anggaran listrik rumah kami. Sungguh tidak pantas saja, rumah cuma 100meter persegi, tagihan listriknya jutaan. Apa kata petugas pencatat meter listrik nanti.
Saya berangkat dari madzab, rumah minim perabot adalah keren. Saya tak mau menyediakan kursi tamu. Sederhana saja, hampir bisa dibilang kami jarang kedatangan tamu. Urusan bisnis atau pekerjaan kami bereskan di kantor. Kalau ada teman kami lebih senang ketemu di warung kopi. Ini juga sederhana : biar ngirit masak air panas untuk menyeduh kopi, tak perlu cuci piring dan gelas. Kalau tamunya saudara atau teman dekat, biasanya mereka tak keberatan lesehan, bahkan rebah-rebahan di depan tivi sambil menikmati semilir angin dari teras belakang. Rumah tak bersekat.
Dengan jumlah anggota keluarga cuma empat orang, nyaris semua pekerjaan rumah kami kerjakan sendiri. Tentu ini karena kami percaya, memperkerjakan seorang pembantu (dengan gaji yang tak pernah cukup buat mereka, berapapun besarnya) lebih sebagai semacam “exploitation de l’homme par l’homme”. Disamping itu -menurut pendapat kami - membuat anak-anak terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik lebih membuat mereka lebih cepat mandiri nantinya. Itu dalih saya sih, boleh percaya boleh juga enggak.

Maka kursi baru depan tivi ini akan mengubah tak cuma kultur klekaran kami, juga madzab rumah nir-perabot yang saya anut selama ini.
Saat saya tanyakan, kenapa tega istri saya melakukan ini semua (dengan dialog melow, dan background musik sedih). Istri saya cuma menjawab, di hari ulang tahun dia dia ingin memberikan sesuatu yang istimewa : kursi leyeh-leyeh untuk kami sekeluarga. Lagi pula, ini kursi pas kebetulan diskon besar, katanya. Dari modelnya, saya curiga tokonya sudah frustasi menyimpan dan menjajakannya. Dan Istri saya adalah pasar potensial untuk produk seperti ini.
Dan saya baru ingat, saat itu adalah hari ulang tahun dia. Perlu ada diskon untuk merayakannya. Sebuah perayaan membawa perubahan kecil untuk memberikan kesegaran. Kursi baru depan tivi, adalah kesegaran baru merayakan leyeh-leyeh yang (lebih) canggih dan merekatkan.
Selamat ulang tahun istriku, doaku adalah semoga tahun depan aku tak lupa lagi.
--- Ditulis sambil membunuh waktu, di Kalibanteng - Semarang (07112015)
Comments
Post a Comment