Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

TITIK (tidak bisa) BALIK

Anda penggemar stand up comedy? Syukurlah bila iya. Menikmati stand up comedy adalah salah satu cara mengasah kecerdasan kita. Menurut saya. Salah satu stand up comedian favorit saya adalah Harith Iskander, asal Malaysia. Melihat sosoknya, saya teringat sahabat saya Wayah Surya Wiroto . Stand up performance-nya bisa disedot dari banyak channel di YouTube. ... Harith adalah anak blasteran, ayahnya Malaysia dan ibunya orang Inggris. Masa kecilnya dihabiskan di Malaysia dalam didikan yang gamang : ala Melayu dan Barat. Ibunya tak bisa berbahasa Melayu, sama sekali, dan tidak berniat belajar bahasa Melayu. Too complicated, katanya. Maka saat ada orang berbicara Bahasa Melayu padanya, yang dia lakukan hanya mengulang kata paling belakang. Contohnya bila ada yang berbasa-basi bilang "Oh, hari ini nampaknya mau hujan ya". Maka dia akan menjawab "Ya, Hujan". Tanpa tahu maknanya. Orang tuanya percaya (sebagaimana umumnya orang tua Melayu) bahwa ijazah sarjana i

(Bukan) SOCIAL CLIMBER

Sengaja foto muka saya dipotong, supaya tak jadi fokus. Ngeri soalnya, sering selfie di deket piano itu bisa dituduh New Social Climber. Tolong fokuskan perhatian pada Pria berkemeja putih di belakang saya. Ini saya lagi sarapan ala-ala orang kaya di sebuah warung kopi, di lobby RS Siloam Jakarta. Rumah Sakit yang dimiliki oleh grup Lippo. Warung kopi merek lokal ini sukses menggusur warung kopi Amerika yang sebelumnya buka dagangan di sini. Waktu baru menunjukkan pukul 07.59 saat saya datang, lelaki berkemeja putih itu sudah duduk di situ bersama tiga lelaki yang nampaknya sedang berbincang serius. Rapat penting rupanya. Di saku kemeja putihnya, tersemat ID Card dengan foto serta nama : Tahir. Ya, beliau adalah pak Tahir. Orang terkaya no 12 di Indonesia. Jam 8 pagi belum genap sudah memimpin rapat di lobby Rumah Sakit yang (juga) dimilikinya. Pak Tahir dulu bercita jadi dokter tapi tak kesampaian. Dia tetap bekerja keras mewujudkan cita-citanya karena ayah yang

WARISAN TAK BISA TERTUKAR

Terimakasih pada nasabah saya, ibu R yang sudi berbagi cerita dan berkenan memberi izin kisahnya saya bagikan untuk bahan pengetahuan kita semua soal Hukum Waris Islam (Faraid). Begini ceritanya : ... Empat tahun lalu ibu R memutuskan menikah kembali, setelah pak T (mantan suaminya) empat lebaran tak pulang-pulang seperti bang Thoyib. Anak-anak ibu R dari perkawinannya terdahulu ( Kelompok C) ikut bu R dan ayah tirinya. Suami baru (selanjutnya saya sebut Suami) ibu R dulu memiliki istri bernama ibu K, sudah bercerai. Ibu K membawa serta anak-anak hasil perkawinannya itu (Kelompok A) setelah bercerai, dan pindah entah kemana. Ibu R dari perkawinan kembalinya memiliki satu orang anak (Kelompok B ). Jadi serumah ibu R tinggal bersama Suami dan anak-anak (B dan C). Setelah pensiun dini, kondisi kesehatan suami ibu R menurun, akhirnya terserang stroke dan meninggal dunia. Saat sakit, ibu R bahu-membahu dengan C merawat almarhum, hingga akhir hayatnya. A mungkin tidak tahu sehin

BALI, 2009

Banyak yang saya bisa ingat dari perjalanan ke Bali tahun 2009 ini. Semua hal itu, membuat saya bersyukur melewati berbagai macam masa sulit. Buk ankah kisah luar biasa selalu dimulai dari keputusan -yang kadang itu kecil- luar biasa ? Saya ingat, waktu itu siang belum genap, ketika masuk telepon dari Bali. Beliau yang menelpon saya adalah franchisee saya di Bali. Beliau minta, saya sharing di Forum pengusaha Muslim Bali dan saya bersedia. Tapi beliau minta dengan hormat, agar bisa hanya mengganti biaya transportasinya udara pulang-balik saja. Saya tentu tak keberatan, pertama karena saya bukan pembicara kelas dunia dengan tarif selangit, Kedua, setelah berbicara dengan istri saya, kami sepakat menjadikan ini perjalanan keluarga. Saya nego, bisakah uang tiket pesawat dikirim tunai, dan saya akan datang pakai mobil lewat darat. Alhamdulillah, mereka setuju. Tuhan memberi jalan yang luar biasa, untuk orang yang masih dalam kesulitan materi -maklum usaha kami berdua waktu itu b

DZUL dan DZAL

Kenalkan, namanya Dzul. Nomor teleponnya ada di nota yang saya foto itu. Umurnya belum genap 19 tahun, pendidikan tak beres SMA. Tapi -saya kira- goweser alias pesepeda yang biasa melewati trek Cimahpar, Sentul atau Bukit Pelangi tahu namanya, minimal tahu dimana letak bengkel sepeda yang dimilikinya. Dzul meneruskan bengkel sepeda yang didirikan kakaknya bentuknya lebih mirip bedeng : rasanya sejak tahun 2009-2010 an. Posisinya pas di seberang gerbang kompl ... eks tempat saya tinggal. Karyawan bengkelnya ada tiga, semua lelaki setengah baya yang "lebih tua" darinya. Sabtu kemarin, seperti biasa, ada duit lebih buat "ngoprek" sepeda, saya menyambanginya. Sambil "ndeprok" beralas kardus bekas di depan etalase kami ngobrol. Dia sedang mengerjakan proyek : bikin sepeda MTB untuk seorang pelanggan yang tinggal tak jauh dari kompleks saya. Ya bikin sepeda. Dia rakit rangka dari pipa "seamless", mengelas dan mengecatnya dengan (sangat) ra

"TERTIPU" UNIT LINK? KOK BISA.

Terimakasih pada klien sekaligus sahabat saya Iqbal Mukmin yang mau berbagi cerita ini di wall-nya. Sekali lagi, ini kisah pahit seorang nasabah asuransi (maaf, sangaja saya blur nama pemilik cerita serta perusahaan asuransinya). Saya pernah menulis tentang hal serupa yang pernah terjadi dalam artikel saya :   http://www.basriadhi.com/2016/05/asuransi-bukan-tabungan.html Namun, kisah ibu nasabah (y ang saya capture ini) agak berbeda. Dan saya ingin mengupas, agar anda semua tak "kejeblos" di lubang yang sama. Sekaligus menjawab pertanyaan beberapa teman. Patut diduga produk yang dibeli oleh ibu Nasabah ini adalah produk UNIT LINK, yaitu produk asuransi yang "menggabungkan" fitur asuransi/proteksi dengan investasi. Dan pada kasus di bawah, oknum agen memanfaatkan ketidaktahuan nasabah -terutama- soal fitur investasi dan biaya-biaya asuransi. Sebagaimana yang saya tulis di artikel dalam link di atas, Asuransi bukanlah tabungan, walaupun itu produk Unit L

DARI PRAMBANAN MEMBAWA CERITA

Ini foto mas Soleh, bersama asistennya. Sebut saja Solihun. Mereka bukan sedang membangun candi Prambanan, tapi memasang atap untuk calon "padepokan" di halaman belakang rumah saya. Saya menemukan mas Soleh lewat sebuah situs penyedia jasa. ... Sepuluh tahun lalu, mas Soleh merantau ke Jakarta dari Prambanan. "Nggak kebagian sawah pak",jawabnya saat ditanya kenapa merantau ke Jakarta. Bersama lima orang teman sekampungnya, mereka berpindah dari satu bedeng proyek ke bedeng proyek lain. Dari hanya kuli batu "biasa", mas Soleh naik pangkat jadi juru las. Empat tahun lalu, setelah upah jadi kuli yang dikumpulkannya cukup : mereka berenam membuat bengkel las. Menerima order membuat pagar, atap kanopi untuk garasi. Cukup waktu dua tahun, usaha itu bangkrut. Dua tahun, tiga kali bengkel digusur dan berkali-kali terendam banjir kali Pesanggrahan. Belum persaingan dengan bengkel las lain yang modalnya lebih besar. Ditambah orang mulai melirik bengk