Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2019

THE BUCKET LIST

Ini adalah salah satu film yang selalu memukau saya, The Bucket List. Edward Cole (Jack Nicholson) seorang konglomerat pemilik Rumah Sakit yang "termakan omongannya sendiri" tentang aturan Rumah Sakit yang dimilikinya, bertemu dengan Carter Chambers (Morgan Freeman) seorang yang bercita-cita menjadi professor sejarah namun menghadapi kenyataan bahwa seumur hidupnya menjadi seoran g montir. Cole dan Carter bertemu saat dirawat di satu kamar RS saat menjalani perawatan Kanker Paru. Awalnya dari saling ejek, mereka berdua menjadi akrab. Diawali dari kesadaran bahwa umur mereka (divonis oleh dokter) paling lama satu tahun lagi. Suatu malam, Cole menemukan kertas yang ditulis oleh Carter yang berisi "Bucket List" atau daftar hal yang ingin dilakukannya sebelum meninggal. Setelah berdebat, mereka akhirnya menyusun "Bucket List" itu berdua. Maka tampillah suatu daftar yang berisi hal-hal yang ingin mereka kerjakan sebelum ajal tiba : t

MAS ROCH DIARTO

Dalam perjalanan ke terminal Kampung Rambutan, di kisaran 1995 dengan motor honda C 70 dan kebaikan hatinya, mas Roch Diarto -senior saya di Republika- membonceng sambil setia mendengar keluh kesah saya, sarjana baru yang bekerja dengan gaji Rp 350 ribu sebulan. Hal yang selalu saya tanyakan adalah, "Apakah hidup saya akan berubah setelah ini, tak perlu bergelantungan di KRL yang penuh sesak, atau menyusahkannya dengan menumpang hingga terminal bis selagi pulang kerja". Beliau selalu menjawab," Yakinlah, jangan hentikan cita-citamu "di sini". Beranilah. Berfikirlah. Maka hidupmu akan berubah.". Mas Roch tak bosan menjawab pertanyaan yang sama, setiap kali saya minta kebaikan hatinya membonceng hingga terminal Kampung Rambutan. Dulu, saya tak punya motor, tak ada mobil, apalagi rumah. Kini, 22 tahun berlalu, semua sudah berubah. Jejak mas Roch Diarto sudah tak lagi bisa saya temukan. Hidup juga begitu, yang dulu tak ada, sekaran

SOAL TANAH 220 METER (BUKAN RIBU HEKTAR) ITU ...

"Pak, bagaimana halnya kalau harta waris berupa rumah, yang istri dan anak-anak bertempat tinggal di situ. Apakah kalau suami meninggal, istri dan anak harus "hengkang" dari rumah itu ?", Demikian pertanyaan yang masuk ke japri.   Ada beberapa pertanyaan sejenis, disampaikan dalam bahasa yang berbeda, namun intinya sama. Bagaimana nasib anak dan istri ketika rumahnya harus dibagi menurut Hukum Waris. Tulisan ini adalah sambungan dari serial Tulisan Perihal Praktek Perencanaan Waris, bagian ketiga dari tulisan : http://www.basriadhi.com/…/karena-hartaku-bukan-harta-merek… dan http://www.basriadhi.com/…/02/contoh-hitungan-hukum-waris.h… Maka, sebagaimana tulisan di atas, saya akan mengambil contoh Perencanaan saya sendiri.   Saya dan Istri tinggal di sebuah rumah yang berdiri di atas tanah 220 meter persegi (bukan 220 hektar ya...). Di rumah itu, selain kami ada anak-anak dan Ibu mertua yang ikut kami karena Ayah mertua sudah meninggal dunia.   Sebagaimana contoh

CONTOH HITUNGAN HUKUM WARIS

Terimakasih pada banyak sekali teman yang sudah bertanya melalui Japri minta agar Tulisan saya kemarin soal strategi waris (ada di sini : http://www.basriadhi.com/…/karena-hartaku-bukan-harta-merek… ) diberikan CONTOH HITUNGAN. Oke, saya akan berikan contoh hitungan. Kebetulan, kasusnya memakai keluarga saya yang memiliki dua anak perempuan semua, dan saya serta istri saya memiliki saudara laki-laki plus... ayah kami sudah tiada. Sehingga Ahli Waris yang menghabiskan (ashabah) adalah saudara laki-laki kami masing-masing. ASUMSIKAN Harta Waris yang sudah siap dibagi (Al Irts) adalah Rp 1.000.000.000,- . Cara mendapatkan Al Irts adalah dengan Mengurangi Total Harta yang ditinggalkan dengan Hutang, Kewajiban, Biaya dan Wasiat (bila ada). Contoh 1. Bila Suami yang Meninggal, Bagian masing-masing Ahli waris : 1 Ibu (1/6) : Rp 166.666.667 1 Istri (1/8) : Rp 125.000.000 2 Anak Perempuan (2/3) = masing-masing Rp 333.333.333 3 Saudara Laki-laki Sekandung = masing-masing Rp

KARENA HARTAKU BUKAN HARTA MEREKA

Anggap saja tulisan ini sebagai jawaban atas pertanyaan beberapa teman ",Kamu suka menulis dan mengajar soal Perencanaan Waris, tapi Perencanaan Warismu sendiri memangnya sudah ada ?". Baiklah, karena hidup ini bukan kampanye Caleg dan Capres yang hanya 99% janji dan 1% harapan, maka saya mau buka-bukaan. Apa yang sudah saya siapkan.   GAMBAR 1 adalah Silsilah keluarga kami. Saya, istri dan anak-anak yang beragama Islam, dan bertekad membagi Warisan menggunakan Hukum Waris Islam. Oran gtua saya dan istri masing-masing tinggal ibu. Saya memiliki tiga adik laki-laki, istri saya memiliki satu adik laki-laki. Dan kami memiliki dua orang anak, keduanya perempuan.   Dalam Tinjauan Hukum Waris, bagaimana alur pembagian warisnya (bila anda ketemu kasus yang sama persis) ?   Bila Suami Meninggal Dunia duluan. Maka harta peninggalan suami akan jatuh 1/6 bagian pada ibunya suami, 1/8 bagian pada istri, 2/3 bagian pada anak-anak dan sisanya dibagi rata pada saudara kandung laki-laki.  

HIDUP SUSAH, WOLES AJA ...

Saya pernah, dan lama. Meninggalkan kerja kantoran dan jadi penjual makanan memang konyol. Dan kekonyolan itu berbuah estafet kekurangan hidup satu, ke kekurangan hidup yang lain. Bayaran anak sekolah telat, didatangi orang bank karena cicilan KPR dan KTA nunggak jadi menu setiap awal bulan. Menu tetap, makanan pokok. Kadang penagih utang sengaja teriak di depan paga r untuk mempermalukan. Untuk memastikan hidup tetap berjalan, ya hanya tetap terus berdagang. Nggak ada teman yang merubung seperti dulu ketika "mampu" menggesek kartu kredit untuk ngopi di cafe. Dunia tiba-tiba sepi. Untuk memastikan ada uang lebih masuk ke dompet, setiap sabtu dan minggu musti menggotong booth seperti yang ada di foto ini ke sana-kemari. Paling jauh, booth ini pernah digotong sampai pantai Sambolo-Anyer. Tapi, namanya dagang, kadang ada lebih-nggak jarang tekor juga. Mengeluh juga percuma, lha memang begitu kenyataannya. Gotong-gotong booth gini, selain berat juga bikin malu.

#CARIANGIN

"Ini lho mbak dan adik, kota Malaka. Kota yang penduduknya tak sampai satu juta orang ini dikunjungi seridaknya 4 juta wisatawan setiap tahunnya. Ini yang bikin kota Malaka bersih, hidup dan makmur", Kataku. Di bis kota kita disopiri Pak Cik Rahman keturunan Melayu, Kita berbelanja suvenir di toko encik Tan keturunan Cina, kita numpang sholat di Masjid Kampung Keling yang dimerboti Mohammad s i Pakistani, dan saat pulang ke terminal Malaka Sentral kita "dipandu" oleh pak Rajiv yang nenek moyangnya datang dari Mumbai, India. Mereka tersenyum untuk kita, untuk para wisawatan yang datang ke kotanya. Mereka merayakan perbedaan dengan manis, mencipta damai di mana-mana, ini yang membuat mereka -para wisatawan- betah dan ingin kembali. Bukan membuang energi untuk menjadi eksklusif dan memantik berbagai konflik. Energi mereka curahkan untuk membuat jalan mulus tak berlobang, yang meringkas jarak Jakarta -Semarang hanya dalam lima jam perjalanan. Pikiran

BPJS DI JEPANG

Tentu cerita saya ini tak bisa menggambarkan dengan cukup komprehensif bagaimana sistem Asuransi Kesehatan di Jepang, karena ini hanya kumpulan hasil ngobrol dengan beberapa orang (baik asli Jepang atau orang Indonesia yang bermukim di Jepang) yang kebetulan saya temui di kereta cepat atau warung kopi. Ini adalah gambar mesin Vending otomatis untuk penjualan produk asuransi perjal anan di Bandara Narita, Tokyo. Kesadaran orang berasuransi di Jepang sangat tinggi, karena biaya kesehatan sangat tinggi. Sehingga nyaris setiap orang memiliki Asuransi Kesehatan semacam BPJS di Indonesia. Setiap bulan, mereka membayar "iuran" atau bahasa asuransinya Premi yang besarnya puluhan ribu Yen per bulan. Seorang "narasumber" yang saya temui, orang Indonesia, bekerja di sebuah kantor Riset Pemasaran di Tokyo dengan Visa Kerja harus mengeluarkan sekitar 15.000-an yen per bulan untuk membayar premi BPJS. Itu setara dengan Rp 2.025.000,- per bulan. Lalu ap

SOLIDARITAS

"Bagaimana makan selama di Jepang", seorang bertanya melalui watsap. Susah nggak mencari makanan halal? Kami jalan berempat : istri dan dua anak saya mengenakan kerudung. Ini sebuah identitas yang tegas. Dan di Jepang kami melihat perbedaan identitas ini tidak menjadi masalah besar. Semua orang tetap bersikap ramah, sopir bis berkali-kali mengucapkan : Arigato Gozaimas saat kami turun dari bis kota. Hal yang sama dia ucapkan pada penduduk lokal yang naik bis-nya. Tak ada pembedaan, atau diskriminasi. Ironisnya, di kampung saya sendiri, masalah agama (yang sama) justru jadi materi "diskriminasi" utama. Di Stasiun Shin-Osaka (kota Osaka) yang super sibuk pagi itu, sarung tangan anak saya terjatuh (tak sengaja). Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian rapi lengkap dengan jas, dasi, "coat" dan tas kerja berlari-lari mencegat kami. Sambil membungkuk dia berbicara dalam bahasa Jepang yang mungkin artinya "Ini saya temukan sarun

HIDUP DENGAN FUNGSI

Suatu kali, seorang saudara datang bertamu ke rumah, beserta keluarganya. Tepat sebelum kami berangkat ke Jepang. Melihat ada empat koper di ruang tengah (sebenarnya tak tepat benar disebut ruang tengah, karena di rumah kami tak ada sekat yang memisahkan antar ruangan, alias blong-blongan) dia bertanya kami mau pergi mana? "Ke Jepang, kata kami. Semacam backpacking-an",Jawab saya. Dia heran. "Kenapa uang nggak dipakai buat benerin rumah, mengadakan perabotan yang bagus atau lebih baik lagi untuk beli rumah baru lagi ketimbang "dibuang-buang" buat jalan-jalan. Saya tertawa. "Di rumah ini kami hanya bertiga, tadinya berempat tapi si sulung sudah kost di lain kota. Sebentar lagi mungkin si bungsu juga akan keluar dari rumah pergi kuliah ke luar kota, kami akan tinggal berdua". Kami hanya berada di rumah tak lebih 12 jam per hari. Fungsi rumah buat kami adalah tempat kami berteduh, dan menemukan kehangatan. Dengan bentuk ser

OJO DUMEH

Aleksander III dari Macedonia, atau Iskandar yang Agung kita kenalnya adalah putra dari Raja Filipus II dari Macedonia. Dalam mitologi Yunani diceritakan dia adalah raja terkuat, panglima perang paling berani dengan wilayah kekuasaan hampir sepertiga dunia. Membentang dari Laut Ionia hingga Pegunungan Himalaya. Dia adalah murid dari Aristoteles, yang saking pintar dan beraninya, banyak strateginya dipelajari para jendral perang hingga kini. Banyak peperangan besar yang telah dimenangkannya, termasuk perang besar yang terkenal : Perang Issus dan perang Gaugamela. Islandar yang agung, walau panglima yang kuat, hebat, kaya namun tak bisa mencegah kematiannya sendiri. Dia meninggal dunia pada usia 33 tahun, tepat tiga tahun setelah penaklukannya pada India gagal. Dia dipercaya meninggal karena Malaria. Bayangkan, seorang raja yang sangat kaya dan berkuasa meninggal hanya karena gigitan seekor nyamuk yang kecil. Sesaat sebelum meninggal, Iskandar yang Agung me

KISAH PETANI JAGUNG

Ini masih dari pertanyaan peserta Sesi Coaching Clinic “Strategi Perencanan dan Penghitungan Dana Pensiun” di ANTV kemarin. Seorang peserta, anak muda yang duduk di bangku paling belakang mengacungkan tangan, bertanya “,Mengapa harus komplit S(aving), I(nvestment) dan P(rotection)? Masih pertanyaan yang kurang lebih sama sebenarnya. Intinya mengapa harus komplit SIP. Mak a saya ceritakan kisah seorang Petani Jagung. Pada suatu masa, hidup seorang petani jagung beserta istri dan tiga orang anaknya. Mereka memiliki sepetak ladang yang ditanami tanaman jagung, yang dari hasil panen jagungnya mereka menyandarkan hidup. Pak Petani bekerja keras untuk itu, dan istrinya membantu di rumah mengelola hasilnya. Pak Petani dengan KEAHLIANnya bekerja mengolah tanah, memupuk, menebar benih hingga panen : hasilnya adalah panen jagung yang bila dijual menghasilkan Rp 10 juta. Maka itulah yang disebut NILAI EKONOMI pak Petani. Setiap kali habis panen, pak Petani memisahka