Tentu
cerita saya ini tak bisa menggambarkan dengan cukup komprehensif
bagaimana sistem Asuransi Kesehatan di Jepang, karena ini hanya kumpulan
hasil ngobrol dengan beberapa orang (baik asli Jepang atau orang
Indonesia yang bermukim di Jepang) yang kebetulan saya temui di kereta
cepat atau warung kopi.
Ini adalah gambar mesin Vending otomatis untuk penjualan produk asuransi perjalanan di Bandara Narita, Tokyo.
Kesadaran orang berasuransi di Jepang sangat tinggi, karena biaya kesehatan sangat tinggi. Sehingga nyaris setiap orang memiliki Asuransi Kesehatan semacam BPJS di Indonesia.
Setiap bulan, mereka membayar "iuran" atau bahasa asuransinya Premi yang besarnya puluhan ribu Yen per bulan.
Seorang "narasumber" yang saya temui, orang Indonesia, bekerja di sebuah kantor Riset Pemasaran di Tokyo dengan Visa Kerja harus mengeluarkan sekitar 15.000-an yen per bulan untuk membayar premi BPJS. Itu setara dengan Rp 2.025.000,- per bulan.
Lalu apakah kalau sakit semua biaya perawatannya dicover oleh BPJS itu? Tidak. Tetap ada porsi yang harus ditanggung sendiri oleh peserta. Besarnya antara 20-30%.
Katakan biaya perawatan 10.000 Yen, maka yang dicover hanya 7.000 Yen dan sisanya ditanggung oleh peserta.
Bila tak sakit, premi yang disetor juga hangus. Namanya juga dana gotong royong.
Dengan sistem ini, peserta yang sehat sebenarnya ikut "membantu" peserta yang mulai sakit-sakit (anak atau orang tua). Gotong royong ala modern.
Bahkan ada wacana dari pemerintah Jepang untuk menaikkan premi BPJS mereka karena jumlah usia muda makin berkurang.
Bagaimana dibandingkan dengan di Indonesia?
Tentu tak bisa dibandingkan apel dengan jeruk. Premi BPJS tertinggi kita hanya Rp 85.000 per bulan, dan tidak ada "porsi tanggung sendiri" dari peserta.
Ditambah nyaris tiadanya seleksi underwriting seperti "kondisi yang pernah ada" (pre existing condition) membuat BPJS makin berdarah-darah. Bayangkan saya, orang sudah mengidap penyakit parah, mendaftar bisa langsung diterima dan dicover biaya kesehatannya.
Belum lagi kesadaran ber asuransi nya yang rendah. Pas lagi sakit, semua disalahkan : biaya RS mahal, pemerintah nggak mau bantu, presidennya begini, menterinya begitu... Semua salah, dia sendiri yang benar.
Jadi, setelah traveling ini ada satu pelajaran penting yang saya dapat : Hidup di Indonesia itu enak, murah. Premi asuransi kesehatan yang saya bayarkan terjangkau, serta memberi banyak sekali kelebihan.
Dan saya selalu bersyukur atas segala keberlimpahan yang saya terima, siapapun presidennya. Berusaha berkontribusi banyak tanpa menuntut terlalu berlebihan.
Tapi... Ini memang buat yang tau aja sih.
Ini adalah gambar mesin Vending otomatis untuk penjualan produk asuransi perjalanan di Bandara Narita, Tokyo.
Kesadaran orang berasuransi di Jepang sangat tinggi, karena biaya kesehatan sangat tinggi. Sehingga nyaris setiap orang memiliki Asuransi Kesehatan semacam BPJS di Indonesia.
Setiap bulan, mereka membayar "iuran" atau bahasa asuransinya Premi yang besarnya puluhan ribu Yen per bulan.
Seorang "narasumber" yang saya temui, orang Indonesia, bekerja di sebuah kantor Riset Pemasaran di Tokyo dengan Visa Kerja harus mengeluarkan sekitar 15.000-an yen per bulan untuk membayar premi BPJS. Itu setara dengan Rp 2.025.000,- per bulan.
Lalu apakah kalau sakit semua biaya perawatannya dicover oleh BPJS itu? Tidak. Tetap ada porsi yang harus ditanggung sendiri oleh peserta. Besarnya antara 20-30%.
Katakan biaya perawatan 10.000 Yen, maka yang dicover hanya 7.000 Yen dan sisanya ditanggung oleh peserta.
Bila tak sakit, premi yang disetor juga hangus. Namanya juga dana gotong royong.
Dengan sistem ini, peserta yang sehat sebenarnya ikut "membantu" peserta yang mulai sakit-sakit (anak atau orang tua). Gotong royong ala modern.
Bahkan ada wacana dari pemerintah Jepang untuk menaikkan premi BPJS mereka karena jumlah usia muda makin berkurang.
Bagaimana dibandingkan dengan di Indonesia?
Tentu tak bisa dibandingkan apel dengan jeruk. Premi BPJS tertinggi kita hanya Rp 85.000 per bulan, dan tidak ada "porsi tanggung sendiri" dari peserta.
Ditambah nyaris tiadanya seleksi underwriting seperti "kondisi yang pernah ada" (pre existing condition) membuat BPJS makin berdarah-darah. Bayangkan saya, orang sudah mengidap penyakit parah, mendaftar bisa langsung diterima dan dicover biaya kesehatannya.
Belum lagi kesadaran ber asuransi nya yang rendah. Pas lagi sakit, semua disalahkan : biaya RS mahal, pemerintah nggak mau bantu, presidennya begini, menterinya begitu... Semua salah, dia sendiri yang benar.
Jadi, setelah traveling ini ada satu pelajaran penting yang saya dapat : Hidup di Indonesia itu enak, murah. Premi asuransi kesehatan yang saya bayarkan terjangkau, serta memberi banyak sekali kelebihan.
Dan saya selalu bersyukur atas segala keberlimpahan yang saya terima, siapapun presidennya. Berusaha berkontribusi banyak tanpa menuntut terlalu berlebihan.
Tapi... Ini memang buat yang tau aja sih.
Comments
Post a Comment