"Pak, bagaimana halnya kalau harta waris berupa rumah, yang istri dan anak-anak bertempat tinggal di situ. Apakah kalau suami meninggal, istri dan anak harus "hengkang" dari rumah itu ?", Demikian pertanyaan yang masuk ke japri.
Ada beberapa pertanyaan sejenis, disampaikan dalam bahasa yang berbeda, namun intinya sama. Bagaimana nasib anak dan istri ketika rumahnya harus dibagi menurut Hukum Waris.
Tulisan ini adalah sambungan dari serial Tulisan Perihal Praktek Perencanaan Waris, bagian ketiga dari tulisan : http://www.basriadhi.com/…/karena-hartaku-bukan-harta-merek… dan http://www.basriadhi.com/…/02/contoh-hitungan-hukum-waris.h…
Maka, sebagaimana tulisan di atas, saya akan mengambil contoh Perencanaan saya sendiri.
Saya dan Istri tinggal di sebuah rumah yang berdiri di atas tanah 220 meter persegi (bukan 220 hektar ya...). Di rumah itu, selain kami ada anak-anak dan Ibu mertua yang ikut kami karena Ayah mertua sudah meninggal dunia.
Sebagaimana contoh dalam tulisan sebelumnya (link di atas), bila sang suami meninggal dunia, dengan asumsi Al Irts (harta waris siap dibagi) Rp 1 Miliar, maka pembagian harta warisnya :
1 Ibu (1/6) : Rp 166.666.667
1 Istri (1/8) : Rp 125.000.000
2 Anak Perempuan (2/3) = masing-masing Rp 333.333.333
3 Saudara Laki-laki Sekandung = masing-masing Rp 13.888.889
Masalahnya bila sebagian besar Al Irts itu datangnya dari "harga rumah " itu. Alias semua uang tunai habis dipakai buat membayar Hutang dan Kewajiban sebelum Harta Waris dibagi, tak ada harta berharga lain kecuali rumah itu.
Artinya, hanya rumah itulah satu-satunya harta yang harus dibagi.
Dari Harga rumah (bila dijual) istri mendapatkan Rp 125 juta, sisanya adalah hak ahli waris lain (ibu si almarhum suami, saudara kandung dan anak-anak). Dan itu juga harus menjual rumah itu dulu.
Menjual rumah tentu tak gampang, sedangkan pembagian harta waris itu harus disegerakan. Maka langkah yang harus dilakukan sang istri adalah :
Langkah 1. Membayar bagian ahli waris lain sesuai perhitungan yang ditentukan. Tapi uangnya dari mana, apalagi istri tak memiliki kemampuan ekonomi (tak bekerja, tak memiliki usaha)?
Langkah 2. Bila langkah 1 sudah dilakukan, istri segera mengubah kepemilikan rumah itu sehingga sah menjadi miliknya. Caranya dengan membayar BPHTB Waris (5% dari NPOP/Nilai Perolehan Obyek Pajak atau bahasa awamnya Harga Pasar) juga menyertakan Surat Keterangan Waris yang sah.
Langkah 2 tidak akan jalan tanpa ada Langkah 1. Biasanya disini awal mula pangkal sengketa. Ahli waris lain menuntut haknya sebelum menandatangani Surat-surat Waris.
Langkah 1 tidak akan jalan tanpa ada UANG TUNAI !.
Maka, di situlah peran Kontrak Pertanggungan Asuransi Jiwa. Selain untuk membayar Hutang Almarhum yang langsung jatuh tempo, Klaim Uang Pertanggungan juga dipakai untuk membayar Hak Ahli waris lain serta membayar biaya Legal Pemindahan Kepemilikan Rumah tersebut.
Kalau contohnya tadi Harta Waris berupa rumah seharga Rumah 1 Miliar saja, maka istri harus mengeluarkan uang untuk membayar hak Ibu (mertua) dan saudara kandung suaminya sebesar Rp : 206 jutaan, serta biaya balik nama (BPTHB Waris, Notaris dll) sekitar Rp 100 jutaan. Total sekitar Rp 300 jutaan. Itu belum termasuk hak anak yang Rp 666 jutaan...
Maka, sangat heran kalau ada suami mau melakukan Kontrak Pertanggungan Asuransi justru istrinya yang keberatan. Alasannya ",Jatah uang untuk beli tas berkurang".
Istri seperti ini tak pernah berfikir bahwa dia bisa beli tas, tapi saat suaminya meninggal dia akan (memiliki potensi) kehilangan rumah yang ditempatinya.
Dan pada akhirnya akhirnya memilih ingkar pada aturan Hukum Waris dan bersengketa dengan kerabatnya.
Ya kan? Ngaku aja.
Ada beberapa pertanyaan sejenis, disampaikan dalam bahasa yang berbeda, namun intinya sama. Bagaimana nasib anak dan istri ketika rumahnya harus dibagi menurut Hukum Waris.
Tulisan ini adalah sambungan dari serial Tulisan Perihal Praktek Perencanaan Waris, bagian ketiga dari tulisan : http://www.basriadhi.com/…/karena-hartaku-bukan-harta-merek… dan http://www.basriadhi.com/…/02/contoh-hitungan-hukum-waris.h…
Maka, sebagaimana tulisan di atas, saya akan mengambil contoh Perencanaan saya sendiri.
Saya dan Istri tinggal di sebuah rumah yang berdiri di atas tanah 220 meter persegi (bukan 220 hektar ya...). Di rumah itu, selain kami ada anak-anak dan Ibu mertua yang ikut kami karena Ayah mertua sudah meninggal dunia.
Sebagaimana contoh dalam tulisan sebelumnya (link di atas), bila sang suami meninggal dunia, dengan asumsi Al Irts (harta waris siap dibagi) Rp 1 Miliar, maka pembagian harta warisnya :
1 Ibu (1/6) : Rp 166.666.667
1 Istri (1/8) : Rp 125.000.000
2 Anak Perempuan (2/3) = masing-masing Rp 333.333.333
3 Saudara Laki-laki Sekandung = masing-masing Rp 13.888.889
Masalahnya bila sebagian besar Al Irts itu datangnya dari "harga rumah " itu. Alias semua uang tunai habis dipakai buat membayar Hutang dan Kewajiban sebelum Harta Waris dibagi, tak ada harta berharga lain kecuali rumah itu.
Artinya, hanya rumah itulah satu-satunya harta yang harus dibagi.
Dari Harga rumah (bila dijual) istri mendapatkan Rp 125 juta, sisanya adalah hak ahli waris lain (ibu si almarhum suami, saudara kandung dan anak-anak). Dan itu juga harus menjual rumah itu dulu.
Menjual rumah tentu tak gampang, sedangkan pembagian harta waris itu harus disegerakan. Maka langkah yang harus dilakukan sang istri adalah :

Langkah 2. Bila langkah 1 sudah dilakukan, istri segera mengubah kepemilikan rumah itu sehingga sah menjadi miliknya. Caranya dengan membayar BPHTB Waris (5% dari NPOP/Nilai Perolehan Obyek Pajak atau bahasa awamnya Harga Pasar) juga menyertakan Surat Keterangan Waris yang sah.
Langkah 2 tidak akan jalan tanpa ada Langkah 1. Biasanya disini awal mula pangkal sengketa. Ahli waris lain menuntut haknya sebelum menandatangani Surat-surat Waris.
Langkah 1 tidak akan jalan tanpa ada UANG TUNAI !.
Maka, di situlah peran Kontrak Pertanggungan Asuransi Jiwa. Selain untuk membayar Hutang Almarhum yang langsung jatuh tempo, Klaim Uang Pertanggungan juga dipakai untuk membayar Hak Ahli waris lain serta membayar biaya Legal Pemindahan Kepemilikan Rumah tersebut.
Kalau contohnya tadi Harta Waris berupa rumah seharga Rumah 1 Miliar saja, maka istri harus mengeluarkan uang untuk membayar hak Ibu (mertua) dan saudara kandung suaminya sebesar Rp : 206 jutaan, serta biaya balik nama (BPTHB Waris, Notaris dll) sekitar Rp 100 jutaan. Total sekitar Rp 300 jutaan. Itu belum termasuk hak anak yang Rp 666 jutaan...
Maka, sangat heran kalau ada suami mau melakukan Kontrak Pertanggungan Asuransi justru istrinya yang keberatan. Alasannya ",Jatah uang untuk beli tas berkurang".
Istri seperti ini tak pernah berfikir bahwa dia bisa beli tas, tapi saat suaminya meninggal dia akan (memiliki potensi) kehilangan rumah yang ditempatinya.
Dan pada akhirnya akhirnya memilih ingkar pada aturan Hukum Waris dan bersengketa dengan kerabatnya.
Ya kan? Ngaku aja.
Comments
Post a Comment