Skip to main content

SOLIDARITAS


"Bagaimana makan selama di Jepang", seorang bertanya melalui watsap. Susah nggak mencari makanan halal?

Kami jalan berempat : istri dan dua anak saya mengenakan kerudung. Ini sebuah identitas yang tegas. Dan di Jepang kami melihat perbedaan identitas ini tidak menjadi masalah besar.

Semua orang tetap bersikap ramah, sopir bis berkali-kali mengucapkan : Arigato Gozaimas saat kami turun dari bis kota. Hal yang sama dia ucapkan pada penduduk lokal yang naik bis-nya. Tak ada pembedaan, atau diskriminasi.

Ironisnya, di kampung saya sendiri, masalah agama (yang sama) justru jadi materi "diskriminasi" utama.

Di Stasiun Shin-Osaka (kota Osaka) yang super sibuk pagi itu, sarung tangan anak saya terjatuh (tak sengaja). Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian rapi lengkap dengan jas, dasi, "coat" dan tas kerja berlari-lari mencegat kami. Sambil membungkuk dia berbicara dalam bahasa Jepang yang mungkin artinya "Ini saya temukan sarung tangan anda terjatuh di sana".

Solidaritas sebagai sesama manusia. Saya kira ini bentuk akhlak baik yang nyata.

Kembali ke pertanyaan "Bagaimana soal makanan?".

Makan pagi dan malam, biasanya untuk menghemat bujet (maklum "turis geret koper") , kami makan di kamar hotel dengan teri kacang dan nasi yang kami beli dari 7Eleven.

Suatu kali, karena kelaparan kami mencomot beberapa makanan siap saji (tinggal dimasukkan microwave). Saat mau membayar, kasir berbicara dengan bahasa Jepang sambil menunjuk beberapa masakan yang kami ambil :, Buta niku, not halal, not halal". Buta niku itu artinya daging babi.

Itu tak terjadi hanya di satu dua 7Eleven, tapi nyaris di semua 7Eleven, terutama kalau kasirnya orang Pakistan. Para kasir dengan sangat baik hati, meninggalkan mejanya dan menunjukkan beberapa makanan yang (menurutnya) bisa kami konsumsi.

Lagi-lagi solidaritas sebagai sesama manusia.

Malam terakhir sebelum pulang, kami ingin menikmati makan yang rada "proper". Pilihan kami jatuhkan pada Ramen atau mie Jepang.

Namun dari beberapa review yang saya baca, di Jepang kebanyakan Ramen walau menggunakan seafood atau daging ayam, tetap saja kuahnya mengandung daging/tulang babi.

Hingga seorang teman merekomendasikan kami untuk datang ke sebuah kedai Ramen bersertifikasi halal dan dikelola dua orang Malaysia dan seorang wanita Indonesia.

Nama restoran sederhana ini "Naritaya" dan terletak nyelip di pasar dekat kuil Sensoji di Asakusa-Tokyo. Ramennya enak dengan beberapa pilihan porsi, regular hingga XXL.

Kami tak banyak ngobrol dengan pemilik Naritaya karena hari sudah mulai larut, dan warung mau tutup.

Tapi dari pengalaman itu kami belajar : Agama mengajarkan solidaritas, tapi tak semua orang yang (katanya) belajar agama mengerti aplikasi solidaritas itu. Pokoknya yang berbeda harus diserang, dimusuhin.

Mungkin kurang wawasan, mungkin salah pilih guru. Repot !

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG