Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2017

Ayah Level Tiga

Bukan, saya bukan hendak bercerita tentang bumbu pedas yang berlevel-level itu. Saya hendak bercerita tentang pertemuan saya dengan nasabah saya, yang saya sebut sebagai Ayah Level Tiga. Beliau mantan pejabat tinggi di negeri ini, yang merintis kariernya dengan reputasi yang (sangat) baik. Rekam jejaknya bisa dibaca di berbagai media, selain kepakaran di bidangnya, juga sebagai ... tokoh penggerak anti korupsi di negeri ini. "Kalau orang lain jadi pejabat (agar) bisa kaya, saya bilang sebelum menjadi pejabat yang melayani publik saya harus "cukup" dan "kaya" dulu, Mas. Jadi bukan jadi pejabat untuk cari kaya",Nasihat beliau pada saya saat ketemu enam bulan lalu. Lalu kami hanya bertukar buku, dan berpisah. Hingga beberapa hari lalu beliau menghubungi saya untuk bertemu. "Mas Basri, saya mau konsultasi untuk Program Asuransi. Kita ketemu di XXXXXX (sebuah "warung kopi" asal Makassar di Jl Wahid Hasyim,Jakarta)",Katanya. Saya

JENG KELIN, JENG NGATIN, JENG NGATMAN DAN JENG KATNO.

Karena pekerjaannya, istri saya "terpaksa" harus bergaul dengan kalangan wanita sosialita di kota Bogor. Siapa mereka? Mereka yang tiap hari di Sosial Medianya nampak berganti restoran atau cafe, dengan dress code yang berbeda...bisa arisan, atau sekedar chit-chat saja saling pamer cangkir atau gorden di rumah yang dibeli dengan harga jutaan. Ngupi-ngupi cantik,foto-foto lalu upload. Dari situlah muncul istilah BPJS. Bujet pas-pasan, Jiwa Sosialita. Beberapa dari mereka kelihatannya super glamor, tapi kropos. Hidup sepenuhnya dari gaji suami yang berangkat pagi, pulang pagi lagi. Sinyalemen di atas terkonfirmasi dengan cerita kemarin sore. "Eh, jeng Kelin kasian ya, sejak suaminya "nggak ada" enam bulan lalu , jadi jarang ikutan ngumpul. Aku denger rumah sama Tanah di Ciampea "diparebutin" sama mertua dan adik-adik suaminya. Stress dia, kesian",Kata Jeng Ngatin ngomongin salah satu teman di komunitas itu juga. "Iya, pada

Salesman Bukan Koboi

"Tempat saya cocok nggak pak buat usaha kopi. Modal buat (beli hak) franchise nggak masalah",kata calon franchisee saya ini. "Kalau lokasi sih strategis, pinggir jalan utama nan ramai. Parkiran cukup. Masalahnya target market Bapak yang berat, belum terbiasa "ngopi" Rp 15 ribuan. Hasil kuesioner yang dibagi masih bilang"ngapain saya ngopi lima belas ribuan kalau masih bisa ngopi seribuan sambil nonton tivi di rumah",kata saya. "Kalau Bapak memang ingin tetap membuka usaha kopi, nggak masalah, tapi bujet Bapak yang sedianya untuk membeli paket Franchise dipakai saja untuk kampanye edukasi "ngopi lima belas ribuan". Daripada beli franchise mahal, nggak kunjung BEP karena nggak ada market...rugi gede. "Oh ya begitu ya pak. Saya pikir harga kopi segitu "masuk", kata beliau. Dalam dunia jualan, sebaiknya tak memakaikan sepatu kita ke kaki konsumen. Buat kita mahal, belum tentu buat konsumen begitu. Begi

Penarik Perahu dari Sungai Shennong

Namanya Tong Chang Bin.   Dia beristri dan beranak pinak di sebuah desa kecil di tepian sungai Shennong, merupakan bagian dari aliran sungai Yandtze yang mengalir menuju Bendungan 3 Ngarai.   Bendungan ini dibangun pada 1994 dan selesai pada 2009.   Pak Tong, orang etnis Tujia –etnis minoritas terbesar di China- bukanlah bagian dari pembangunan Bendungan ini.   Namun bendungan 3 Ngarai inilah yang mengubah hidupnya, serta hidup ratusan orang yang tinggal di tepian sungai Shennong, sungai yang berada di antara Bendungan Wu dan bendungan Xiling. Pak Tong dan puluhan penduduk di tepian sungai Shennong adalah para penarik perahu.   Dulu, saat belum dibangun bendungan, sungai Shennong adalah sungai besar dengan arus yang deras.   Jalur perdagangan hidup di sungai ini.   Perahu dari hulu membawa hasil bumi ke hilir membawa hasil bumi, dan perahu dari hilir pulang membawa kebutuhan penduduk sepanjang tepian sungai Shennong.   Arus Shennong deras, dan pada jaman itu belum ada motor

ESPASS ketemu BPJS : Kelar !

"Buat apa Bas aku beli produk (infinite) yang kamu tawarin, aku lebih suka main apartemen aja. Kamu tahu sendiri kan", kata nasabah saya. Beliau, nasabah saya ini, adalah mantan bos saya dulu di sebuah kantor media, saat ini menjadi Direktur Marketing sebuah Stasiun TV besar di Jakarta. Bukan sekedar atasan, beliau juga mentor dalam banyak hal : terutama bagaimana mengelola uang. Maklum, jaman masih jadi ESPASS (Esekutip Pas-pasan) saya tergolong boros juga, keberatan gaya. Beliau bukan tipe orang yang suka banget gonta-ganti tas mahal hanya untuk sekedar gaya dan cari pujian. Walau tas atau asesoris yang menempel di badannya semua "branded" tapi hanya karena alasan : enak dipakai, atau modelnya pas. Sebagian besar penghasilannya dipakai untuk berinvestasi di apartemen atau bikin usaha mulai dari isi ulang air mineral, laundry, production house hingga mengontrakkan apartemen-apartemen yang dimilikinya. Singkatnya, beliau ini bukan tipe m

Kurangin Cicilan, Banyakin Tabungan

"Bas, aku masih banyak cicilan. Mobil yang satu cicilannya masih setahun lagi, yang satu lagi masih empat tahun ke depan beres cicilannya. Rumah juga belum lunas, masih lama. Belum kepikir lah buat nyisihin buat dana pendidikan anak. Insya Allah nanti anak kan ada rezekinya sendiri. Toh anakku butuh biaya gede kan paling ntar pas kuliah",kata teman di hadapanku. Aku angsurkan surat konfirmasi dari Universitas tempat anak sulungku mendaftar kemarin, yang alhamdulillah wal aupun ini anak aktivis bandel nggak bisa diem, dia bisa dapat beasiswa. "Kalau tujuh tahun lagi, maka Rp 300juta akan jadi sekitar Rp 800an juta. Kalau mau dicicil dari SEKARANG uang yang musti disiapin dicicil dari sekarang Rp 5 jutaan per bulan. Makin lama ditunda, "cicilan" persiapan dananya pasti makin gede", kataku. Semoga Tuhan kasih kita panjang umur, kekuatan fisik bisa bekerja dan rezeki berlimpah buat anak. Tapi itu semua hak prerogatif Tuhan. Tugas ki

Memberi Bukan Meminta

Seorang tukang parkir menghampiri anak muda yang baru keluar dari mobil kilapnya. "Mobilnya bagus banget mas. Pasti harganya mahal",ujar tukang parkir. "Iya mas. Tapi saya memperolehnya dengan Rp 0. Kakak saya memberikannya secara cuma-cuma",jawab si pemuda. "Saya ingin bekerja hebat, supaya suatu saat bisa menjadi orang seperti kakaknya mas",balas tukang parkir. Tukang parkir tidak sekedar MINTA untuk punya, dia bekerja dan berdoa supaya bisa MEMBERI. # petuahtukangparkir # gakadaselfienya

Resep Hidup Bahagia

Ketika cerita ini dibuat dulu, pagi sedang cerah. Matahari bersinar lembut, tidak panas cuma hangat. Bunga-bunga bergembira dengan warna-warna cerahnya. Burung gereja bercericip di teras sekolah mengais remah makanan untuk sarapan pagi : ketika seorang murid dengan murung mendatangi gurunya yang sedang membaca. "Mengapa engkau murung, muridku",sapa sang guru. "Guru, beri aku resep hidup bahagia",jawab sang murid, tiba-tiba. Sang guru mengernyitkan dahi dan berkata",Kau ambillah satu sendok makan di dapur dan segelas minyak goreng". Sambil kebingungan sang murid menurut saja. Sejenak dia bergegas ke dapur, menbawa sebuah sendok dan segelas minyak goreng. Mengangsurkannya pada gurunya. "Coba kamu taruh minyak goreng memenuhi sendok itu, bawa sendok berisi minyak itu dengan mulutmu dan bawalah keliling halaman sekolah",perintah sang guru pada muridnya itu. Sang murid dengan berhati-hati menggigit ujung sendok berisi minyak,

Bila Bisa Hidup Seribu Tahun Lagi

Selesai melakukan wawancara pelamar baru di lantai 20, kemarin siang, saya turun pakai lift ke lobby bergegas menuju warung kopi di situ. Di lobby, tepat saat pintu lift terbuka saya berpapasan seseorang yang serasa pernah ketemu atau kenal sebelumnya. Dia melemparkan senyum, tapi saya blasss...lupa. "Mas Basri ya",sapanya. "Eh, iya. Apa kabar? Maaf ya, kita dulu bareng di mana ya? Republika, Tempo, atau Sindo",tanya saya me-recall ingatan. "Saya XXXXXX mas, dulu kita barengan di Tempo. Saya dua tahunan lalu pernah mas Basri ajak ke AIA, waktu itu saya masih kerja di media online",Terangnya. Ingatan mendadak terang. Dulu teman ini pernah saya ajak karena media cetak tempatnya bekerja setelah Tempo sudah "gonjang-ganjing". Rupanya tak setelah itu, media cetak tempatnya bekerja tutup (bangkrut) dan dia bekerja untuk sebuah media online yang kemudian bangkrut juga. Mirip dengan beberapa teman lain, responnya saat s

Seandainya Saya Bisa Menolong

MISTERBLEK coffee tak terasa sudah hampir berusia sebelas tahun. Lika-liku, tanjakan turunannya sudah banyak. Salah satu dinamikanya adalah "mengelola" karyawan dengan pendidikan paling tinggi SMA. Suatu kali, kira-kira tujuh tahun lalu, salah satu outlet tak bisa buka karena pada saat yang bersamaan dua karyawan yang seharusnya bertugas di sana mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dua-duanya wanita, umur paska ABG... 20an tahun. Jam kerja mulai 8 pagi, pukul 07.30 baru mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dihubungi balik tak bisa, rupanya hape sengaja mereka matikan. Esok harinya mereka masih belum bisa dihubungi, tapi untungnya ada karyawan lain yang mau jatah liburnya "dikalahkan" untuk menggantikan mereka berdua ini. Tak lupa, saya menitip pesan pada si karyawan pengganti agar mencari tahu sebab musabab dua karyawati ini tak bisa masuk kerja. Selidik punya selidik, mereka tak masuk kerja karena sedang musuhan "berebut cowok" ya

AIA, Milik Siapa, Seberapa Besar ?

Pertanyaan yang selalu diajukan oleh calon nasabah adalah AIA Financial itu milik siapa dan seberapa besar. Nah, ini momentumnya lagi bagus buat cerita. Salah satu misi Raja Arab Saudi datang ke Indonesia adalah minta "dukungan" untuk niat mereka mendivestasi (alias melepas saham) perusahaan minyak mereka : Saudi Aramco ke publik. Transaksi ini biasa disebut IPO (Initial Public Offering) atau bahasa awamnya "Go Public". Klaim mereka "nilai" Aramco sebesar US$ 2 Trilyun, wala upun banyak analis bilang nilai riilnya tak lebih dari US$ 400 Milyar. Tapi berapapun nilainya, Proses IPO (atau go public) nya Aramco bakal jadi transaksi IPO yang besar (banget). Lalu apa hubungannya dengan AIA? Proses IPO Aramco belum kejadian, tapi AIA Group (dimana AIA Financial ada di dalamnya) pada tahun 2010 sudah mencatatkan diri sebagai perusahaan dengan IPO terbesar dalam sejarah bursa Hong Kong. Grafik dari Bloomberg mencatat itu. Lalu apa konse

Raja Saudi Datang

Masih soal kedatangan Raja Saudi, masih belum bosen. Gambar di bawah (atau samping) adalah gambar uang Rp 5.000,- terbitan tahun 1958. Konon, uang segitu pada jaman itu bisa buat beli mobil. Lalu apa hubungannya sama Raja Saudi? Orang bilang Raja Saudi datang membawa uang US$ 25 Miliar. Benarkah begitu? Ternyata tak persis seperti itu. Persisnya adalah dia membawa KOMITMEN INVESTASI nyaris senilai US$ 25 Miliar. Baru komitmen, lha MoU-nya saja baru ditandatangani. Datang dari mana uang yang dikomitmenkan itu? Datangnya dari (rencana) jual saham Saudi Aramco yang 5% itu. Konon nilainya US$ 100 Miliar, masih "konon" karena kejadian IPO baru akan ada di suatu waktu nanti di tahun 2018. Belum kejadian. Nah, kenapa kok Raja Saudi repot-repot keliling Dari Malaysia, Indonesia, Jepang sampai China-nya sekarang? Ya, karena buat orang punya duit, duit didiamkan saja itu RUGI. Duit harus diputar, di-INVESTASIKAN. Supaya nanti hidup orang Arab Saudi t

Sejauh Jarak Happy Salma dan Happy Puppy

Ada seorang kawan menulis "Seandainya semua bank seperti Raja Salman yang mau meminjamkan uang tanpa bunga tentu enak sekali". Saya angkat lagi tulisan di status saya Jumat lalu, mengingat -ternyata- masih banyak yang masih belum mafhum perbedaan ber-INVESTASI dan MEMINJAMKAN dana. Berinvestasi adalah menanamkan dana sebagai modal usaha (atau bisa juga patungan modal) dengan berharap ada Imbal Hasil berupa Keuntungan Usaha, ada Resiko Kerugian bila Usahanya tak berjalan sesuai rencana alias gagal. Orang yang berinvestasi disebut Investor Meminjamkan ya meminjamkan, yang meminjamkan berharap dananya kembali sebesar sama persis yang dia pinjamkan. Dalam banyak kasus yang meminjamkan minta imbal hasil berupa RENTE, BUNGA, RIBA tanpa peduli usaha itu sukses atau gagal. Tidak ada resiko (paling resikonya dikempang sama yang meminjam). Orang yang meminjamkan dana disebut Kreditor. Jadi, tak ada itu : mau investasi kok berharap bunga. Perbedaan "

TETANGGA ...

"Ada barangkali tiga kali kemarin, Bapak menanyakan apakah mahal biaya mengurus administrasi pemakaman. Pertanyaan aneh dan belum pernah diajukan. Biasanya Bapak tidur di mobil, tapi kemarin sepanjang Bogor-Cibubur hanya ngelamun. Waktu turun dari Mobil, beliau bilang nanti malam minta dijemput. Padahal dari rumah sudah bilang mau training empat hari di Bandung", Demikian kenang Ujang sopir tetangga sekaligus sahabat saya : Almarhum Firdaus Rumbia. Kemarin pagi, pukul 05.00 seperti biasa kami saling berhai-hai sebelum beliau berangkat ke kantornya. Rumah kami berdempet tembok. Jam segitu biasanya, saya baru buka-buka jendela, maklum saya berangkat "ngantor" paling cepat jam 9 pagi. Usianya baru 45 tahun, tak berselisih banyak dengan usia saya. Pembawaannya ceria, suka bercanda. Tapi karena perhatiannya pada keamanan kompleks, beliau sudah menjadi semacam sesepuh saja buat kami. Tempat berunding, curhat dan bertanya. Saat saya pindah k

The Founder

"...hari masih Rabu, saat dia berusaha menemui serta berbicara dengan orang ke seribu yang diharapkannya menerima serta menjadi investor atas idenya. Tom Seay, orang ke seribu itu, sudah tiga kali membaca proposal "gila" itu dan mencoba menghindar dengan berkata,"Aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa, tapi datanglah hari Senin pekan depan karena aku akan memikirkannya sepanjang akhir pekan". Di hari Senin yang dingin, dia sudah berdiri di pintu depan pintur kantor Tom Seay. Tom mengajaknya masuk dan berkata," Ray, saya sudah membaca rencana ini berkali-kali; bahkan berdiskusi dengan seorang teman. Dan kami berdua memutuskan bahwa sangat tidak mungkin kau bisa kaya dengan menjual hamburger,". Dia, Ray Kroc, keluar dari kantor Tom pada usianya yang 50 tahun. Dengan tangan hampa Dia hanyalah seorang sales alat pembuat es krim yang biasa-biasa. Bukan master atau genius bisnis. Dia temui Ronald dan MauriceMcDonald pemilik "warung