MISTERBLEK coffee tak terasa sudah hampir berusia sebelas tahun.
Lika-liku, tanjakan turunannya sudah banyak. Salah satu dinamikanya
adalah "mengelola" karyawan dengan pendidikan paling tinggi SMA.
Suatu kali, kira-kira tujuh tahun lalu, salah satu outlet tak bisa buka karena pada saat yang bersamaan dua karyawan yang seharusnya bertugas di sana mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dua-duanya wanita, umur paska ABG... 20an tahun. Jam kerja mulai 8 pagi, pukul 07.30 baru mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dihubungi balik tak bisa, rupanya hape sengaja mereka matikan.
Suatu kali, kira-kira tujuh tahun lalu, salah satu outlet tak bisa buka karena pada saat yang bersamaan dua karyawan yang seharusnya bertugas di sana mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dua-duanya wanita, umur paska ABG... 20an tahun. Jam kerja mulai 8 pagi, pukul 07.30 baru mengirim SMS izin tak masuk kerja. Dihubungi balik tak bisa, rupanya hape sengaja mereka matikan.
Esok harinya mereka masih belum bisa dihubungi, tapi untungnya ada
karyawan lain yang mau jatah liburnya "dikalahkan" untuk menggantikan
mereka berdua ini. Tak lupa, saya menitip pesan pada si karyawan
pengganti agar mencari tahu sebab musabab dua karyawati ini tak bisa
masuk kerja.
Selidik punya selidik, mereka tak masuk kerja karena sedang musuhan "berebut cowok" yang jaga stand es podeng sebelah outlet saya. Dan perang dingin ini dibawa ke tempat kerja. Saya korbannya, dagangan nggak bisa dijual karena warung tak ada yang jaga.
Kisah
lain seperti uang setoran dibawa lari, kong kalikong dengan petugas
supplier bikin bon fiktif, tak masuk kerja karena habis diputusin pacar,
atau lari ke toko sebelah karena selisih gaji Rp 50ribu adalah aneka
rupa "cerita" yang waktu itu terjadi.
Di BHR, ceritanya sedikit berbeda. Rata-rata yang jadi Agen lulusan sarjana. Beberapa datang dengan kisah kesulitan hidup : sulit cari kerja, banyak hutang, mau punya usaha tapi tak punya modal. Kebanyakan yang datang membawa impian tinggi yang masih di angan-angan. Tapi kebanyakan pula, akhirnya tak bisa bertahan karena tak tahan dengan proses mencapai impiannya : ada yang tergoda dengan "bisnis" lain, ada yang baper karena ditolak calon nasabah, ada pula yang tak bisa mengalahkan gengsinya. Mosok sarjana jadi agen asuransi.
Tapi semua itu ada benang merahnya. Saya dulu memberi "peluang" dengan niat semata MENOLONG.
Memberi peluang usaha atau pekerjaan hanya dengan niat semata menolong ternyata tak bisa. Kenapa? Karena belum tentu orang yang butuh usaha atau kerja itu memang ingin ditolong. Sebagian datang karena ingin COBA-COBA, sebagian karena sekedar keliatan ada STATUS saja. Dua, tiga bulan bekerja, lalu minta berhenti. Yang niat menolong serius, yang ditolong tidak serius.
Kalau di media massa banyak berita katanya angka pengangguran tinggi, janganlah gampang terkecoh lalu emosi. Saya dan banyak pengusaha kecil-kecilan lain sedang butuh banyak orang untuk bekerja dan berusaha bersama, tapi mencari orang yang SUNGGUH-SUNGGUH mau bekerja sulitnya minta ampun. Tidak sekedar mau penghasilannya saja, tapi juga mau (kesulitan) pekerjaannya juga.
Dan bukan trauma sebenarnya, tapi kini saya sangat selektif menerima karyawan atau partner usaha. Tidak sekedar melihat bahwa pengen menolong saja.
Karena pengalaman sudah mengajarkan.
Selidik punya selidik, mereka tak masuk kerja karena sedang musuhan "berebut cowok" yang jaga stand es podeng sebelah outlet saya. Dan perang dingin ini dibawa ke tempat kerja. Saya korbannya, dagangan nggak bisa dijual karena warung tak ada yang jaga.

Di BHR, ceritanya sedikit berbeda. Rata-rata yang jadi Agen lulusan sarjana. Beberapa datang dengan kisah kesulitan hidup : sulit cari kerja, banyak hutang, mau punya usaha tapi tak punya modal. Kebanyakan yang datang membawa impian tinggi yang masih di angan-angan. Tapi kebanyakan pula, akhirnya tak bisa bertahan karena tak tahan dengan proses mencapai impiannya : ada yang tergoda dengan "bisnis" lain, ada yang baper karena ditolak calon nasabah, ada pula yang tak bisa mengalahkan gengsinya. Mosok sarjana jadi agen asuransi.
Tapi semua itu ada benang merahnya. Saya dulu memberi "peluang" dengan niat semata MENOLONG.
Memberi peluang usaha atau pekerjaan hanya dengan niat semata menolong ternyata tak bisa. Kenapa? Karena belum tentu orang yang butuh usaha atau kerja itu memang ingin ditolong. Sebagian datang karena ingin COBA-COBA, sebagian karena sekedar keliatan ada STATUS saja. Dua, tiga bulan bekerja, lalu minta berhenti. Yang niat menolong serius, yang ditolong tidak serius.
Kalau di media massa banyak berita katanya angka pengangguran tinggi, janganlah gampang terkecoh lalu emosi. Saya dan banyak pengusaha kecil-kecilan lain sedang butuh banyak orang untuk bekerja dan berusaha bersama, tapi mencari orang yang SUNGGUH-SUNGGUH mau bekerja sulitnya minta ampun. Tidak sekedar mau penghasilannya saja, tapi juga mau (kesulitan) pekerjaannya juga.
Dan bukan trauma sebenarnya, tapi kini saya sangat selektif menerima karyawan atau partner usaha. Tidak sekedar melihat bahwa pengen menolong saja.
Karena pengalaman sudah mengajarkan.
Comments
Post a Comment