Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2018

UNDANGAN PERNIKAHAN MAWAR

Di meja dekat TV tergeletak sebuah undangan dengan kualitas cetakan yang sangat sederhana. Saya lirik nama yang mengundang. Di dalam undangan tercantum nama anak perempuan pembantu rumah tangga kami -sebut saja namanya Mawar- yang akan menikah dengan seorang lelaki (ya, iyalah...mosok perempuan juga). Saya cek tanggalnya, kelihatannya kami bisa hadir. tak ada agenda pada tanggal itu. Istri saya kepo. Dia panggil Teteh (begitu kami memanggil pembantu kami), dan mulai asyik ngobrol teras belakang, saya cuma nguping sambil leyeh-leyeh nonton TV. "Teh, si Mawar mau nikah. emang umurnya berapa?",tanya istri saya. "Delapan belas, bu",Jawab Teteh. "Calon suaminya kerja di mana?",Tanya istri saya lagi. "Tadinya di pabrik sepatu Kedunghalang, tapi sejak tahun baru nganggur bu, kena PHK. Kadang ngojek",jawab Teteh lagi. "Kenapa buru-buru nikah, nggak cari kerjaan dulu aja",Desak istri saya, mungkin heran. "N

HIDUP SEPERTI SKENARIO SRIMULAT

Pokoknya aku pengen ‘ikut’ kamu, Bas. Aku juga pengen itu jalan-jalan ke luar negeri. Aku kan belum pernah naik pesawat seumur hidupku. Nanti aku pengen ajak anakku naik pesawat”,rengeknya. Teman saya ini, teman lama banget sebenarnya, baru saja kena PHK di kantornya. Sedang mencari-cari kerja dan usaha yang bisa dijalani. Tapi usianya dua purnama lagi masuk setengah abad, kantor mana yang mau menerimanya ? Saya sampaikan syarat-syaratnya, sebagai pemberitahuan bahwa untuk bisa mendapatkan semua keinginannya itu tidak gratis. Ada ‘harga’ yang harus dibayar. Hari-hari selanjutnya ternyata lebih mirip drama Korea. Diundang rapat mingguan -tiap senin- tak hadir : dengan berbagai alasan. Diundang training produk, kehadirannya seperti aspal habis direndam banjir : bolong-bolong. Setiap kali ditanya hasil usahanya (karena dari hasil usahanya itu yang sebenarnya bisa mengantarnya meraih impian naik pesawat terbang) jawabannya tak jauh dari : orang sudah b

MUDIK

Praktis sejak menikah tahun 1999, saya memiliki dua orang tua. Orang tua kandung di Semarang dan mertua di kota Padang. Dan sejak itu pula, setiap lebaran, kami -saya dan istri- menggilir mudik. Setahun ke Barat, lebaran setahun berikutnya ke Timur. Dan tradisi mudik (alias kembali ke udik) sudah saya lakukan sejak kuliah di Bogor. Jaman dahulu kala, libur semester selalu bertepatan dengan libur puasa dan libur lebaran. Bagi mahasiswa kismin kayak saya, mudik itu mewah : karena waktunya perbaikan gizi sudah tiba. Bersama teman yang kampungnya sejalur, kami naik bis Indah Murni atau Garuda ke Terminal Cililitan. Dari Cililitan naik bis kota ke terminal Pulo Gadung. Dari Pulo Gadung naik bis ekonomi ke Terminal Kota Tegal dan disambung naik bis ke Semarang. Biasanya kami berangkat dari Bogor lepas Ashar, tujuannya supaya berada di Bis Pantura itu malam hari, adem dan tak perlu keluar ongkos lagi untuk jajan, karena tidur. Hemat. Naik bis Patas AC ke Semar

MENJERATKAN DIRI KE HUTANG, SUKARELA

Surat pembaca harian Kompas beberapa hari lalu memuat surat dari seorang pensiunan. Beliau mengeluhkan uang pensiunnya, yang Rp 1.500.000 per bulan pontang-panting untuk menutup kebutuhan rutinnya. Beliau membandingkan uang pensiun yang diterimanya dengan UMR buruh yang terus naik, mengapa uang pensiunnya tak kunjung naik? Kita sepakati dulu soal istilah pensiun. Pensiun adalah kondisi di mana pekerjaan berhenti, pendapatan berhenti namun pengeluaran tak bisa berhenti. Uang pensiun yang diterima adalah hasil "menyisihkan" pendapatan saat produktif, untuk dipakai atau diambil saat pensiun itu tiba. Ada yang menyisihkan karena kesadarannya tinggi, ada yang karena dipaksa oleh sistem... Ada pula yang abai, lupa bahwa hidup panjang umur itu juga termasuk resiko. Untuk yang sekarang hidup dengan Rp 10 juta per bulan, asumsikan inflasi 0%, kebutuhan hidup segitu aja : maka saat pensiun dia harus punya Dana Abadi yang mengendap di deposito (asumsi bunga deposit