Praktis sejak menikah tahun 1999, saya memiliki dua orang tua.
Orang tua kandung di Semarang dan mertua di kota Padang. Dan sejak itu
pula, setiap lebaran, kami -saya dan istri- menggilir mudik. Setahun ke
Barat, lebaran setahun berikutnya ke Timur.
Dan tradisi mudik (alias kembali ke udik) sudah saya lakukan sejak kuliah di Bogor. Jaman dahulu kala, libur semester selalu bertepatan dengan libur puasa dan libur lebaran. Bagi mahasiswa kismin kayak saya, mudik itu mewah : karena waktunya perbaikan gizi sudah tiba.
Bersama teman yang kampungnya sejalur, kami naik bis Indah Murni atau Garuda ke Terminal Cililitan. Dari Cililitan naik bis kota ke terminal Pulo Gadung. Dari Pulo Gadung naik bis ekonomi ke Terminal Kota Tegal dan disambung naik bis ke Semarang.
Biasanya kami berangkat dari Bogor lepas Ashar, tujuannya supaya berada di Bis Pantura itu malam hari, adem dan tak perlu keluar ongkos lagi untuk jajan, karena tidur. Hemat.
Naik bis Patas AC ke Semarang dari Bogor? wah itu kemewahan yang nyaris tak terbeli ...
Ketika sudah bekerja, dan menikah saya memberanikan diri mencicil mobil sendiri. Dari daihatsu Espass (Eksekutip Pas-Pasan), sampai mobil jip-jipan ini tahun 2003-an.
Jaman itu jalan tol baru sampai Cikampek, disambung lewat Simpang Jomin dan babalas lewat Pantura. Jalanan tak mulus-mulus amat. Neraka dunia mudik biasanya sudah dimulai sejak dari Karawang Timur, tapi karena hati senang apalah macet itu.
Perjalanan ke Semarang, biasanya makan waktu 12-15 jam Mobil pribadi dan truk belum sebanyak sekarang, jadi perjalanan menjadi lama bukan karena macet, namun karena jalanan banyak lubang dan mobilnya memang tak bisa kencang, paling pol 80 km per jam.
Waktu itu, jalanan yang bopeng, mobil dengan suspensi keras dan tanpa AC di Pantura yang panas adalah kombinasi yang sempurna. Pinggang serasa lepas sesampai di tujuan.
Tahun ini adalah tahun pertama saya tak mudik. Lebih tepatnya menunda mudik. Yang saya lakukan hanya melihat berita mudik di televisi dan media sosial.

Mengamati berita mudik, senang saya mendengar kabar teman-teman dekat dan kerabat yang bisa sampai Semarang hanya dalam waktu 6 jam saja.
Tapi di sisi lain, banyak juga yang mengeluh karena macet. Katanya sampai Semarang butuh waktu 13 jam... Lalu menyalahkan ini, menyalahkan itu.
Rasanya, kalau yang sudah menjalani tradisi mudik ke Jawa sejak tahun 90-an, pasti merasa bahwa setiap kali mudik selalu ada perbaikan dari tahun sebelumnya. Kalaupun macet, ya wajar saja, jumlah mobil makin banyak, jalannya segitu-segitu aja ...
Dari berita yang mulai saya saring, ternyata, komentar soal kemacetan mudik menggambarkan afiliasi politik si komentator. Jadi bukan melulu karena si komentator mengalami sendiri macetnya.
Bahkan, ada yang tak mudik, sibuk membagi kabar kemacetan yang dibagikan politisi yang juga tak mengalami kemacetan.
Bener kata simbah dulu, jadi orang "ojo kagetan, ojo gumunan". Jangan gampang kaget, jangan gampang heran. Mudik baru sekali dua kali, kena macet ngomelnya lima tahun. Kalau memang tak pengen kena macet, ya tidur aja di rumah.
Gitu aja kok repot.
** Foto tahun 2003-an, Alifa Putri Anarghya baru berusia 4 tahunan.
Dan tradisi mudik (alias kembali ke udik) sudah saya lakukan sejak kuliah di Bogor. Jaman dahulu kala, libur semester selalu bertepatan dengan libur puasa dan libur lebaran. Bagi mahasiswa kismin kayak saya, mudik itu mewah : karena waktunya perbaikan gizi sudah tiba.
Bersama teman yang kampungnya sejalur, kami naik bis Indah Murni atau Garuda ke Terminal Cililitan. Dari Cililitan naik bis kota ke terminal Pulo Gadung. Dari Pulo Gadung naik bis ekonomi ke Terminal Kota Tegal dan disambung naik bis ke Semarang.
Biasanya kami berangkat dari Bogor lepas Ashar, tujuannya supaya berada di Bis Pantura itu malam hari, adem dan tak perlu keluar ongkos lagi untuk jajan, karena tidur. Hemat.
Naik bis Patas AC ke Semarang dari Bogor? wah itu kemewahan yang nyaris tak terbeli ...
Ketika sudah bekerja, dan menikah saya memberanikan diri mencicil mobil sendiri. Dari daihatsu Espass (Eksekutip Pas-Pasan), sampai mobil jip-jipan ini tahun 2003-an.
Jaman itu jalan tol baru sampai Cikampek, disambung lewat Simpang Jomin dan babalas lewat Pantura. Jalanan tak mulus-mulus amat. Neraka dunia mudik biasanya sudah dimulai sejak dari Karawang Timur, tapi karena hati senang apalah macet itu.
Perjalanan ke Semarang, biasanya makan waktu 12-15 jam Mobil pribadi dan truk belum sebanyak sekarang, jadi perjalanan menjadi lama bukan karena macet, namun karena jalanan banyak lubang dan mobilnya memang tak bisa kencang, paling pol 80 km per jam.
Waktu itu, jalanan yang bopeng, mobil dengan suspensi keras dan tanpa AC di Pantura yang panas adalah kombinasi yang sempurna. Pinggang serasa lepas sesampai di tujuan.
Tahun ini adalah tahun pertama saya tak mudik. Lebih tepatnya menunda mudik. Yang saya lakukan hanya melihat berita mudik di televisi dan media sosial.

Mengamati berita mudik, senang saya mendengar kabar teman-teman dekat dan kerabat yang bisa sampai Semarang hanya dalam waktu 6 jam saja.
Tapi di sisi lain, banyak juga yang mengeluh karena macet. Katanya sampai Semarang butuh waktu 13 jam... Lalu menyalahkan ini, menyalahkan itu.
Rasanya, kalau yang sudah menjalani tradisi mudik ke Jawa sejak tahun 90-an, pasti merasa bahwa setiap kali mudik selalu ada perbaikan dari tahun sebelumnya. Kalaupun macet, ya wajar saja, jumlah mobil makin banyak, jalannya segitu-segitu aja ...
Dari berita yang mulai saya saring, ternyata, komentar soal kemacetan mudik menggambarkan afiliasi politik si komentator. Jadi bukan melulu karena si komentator mengalami sendiri macetnya.
Bahkan, ada yang tak mudik, sibuk membagi kabar kemacetan yang dibagikan politisi yang juga tak mengalami kemacetan.
Bener kata simbah dulu, jadi orang "ojo kagetan, ojo gumunan". Jangan gampang kaget, jangan gampang heran. Mudik baru sekali dua kali, kena macet ngomelnya lima tahun. Kalau memang tak pengen kena macet, ya tidur aja di rumah.
Gitu aja kok repot.
** Foto tahun 2003-an, Alifa Putri Anarghya baru berusia 4 tahunan.
Comments
Post a Comment