Pokoknya aku pengen ‘ikut’ kamu, Bas. Aku juga pengen itu jalan-jalan ke luar negeri. Aku kan belum pernah naik pesawat seumur hidupku. Nanti aku pengen ajak anakku naik pesawat”,rengeknya.
Teman saya ini, teman lama banget sebenarnya, baru saja kena PHK di kantornya. Sedang mencari-cari kerja dan usaha yang bisa dijalani. Tapi usianya dua purnama lagi masuk setengah abad, kantor mana yang mau menerimanya ?
Saya sampaikan syarat-syaratnya, sebagai pemberitahuan bahwa untuk bisa
mendapatkan semua keinginannya itu tidak gratis. Ada ‘harga’ yang
harus dibayar.
Hari-hari selanjutnya ternyata lebih mirip drama Korea. Diundang rapat mingguan -tiap senin- tak hadir : dengan berbagai alasan. Diundang training produk, kehadirannya seperti aspal habis direndam banjir : bolong-bolong.
Setiap kali ditanya hasil usahanya (karena dari hasil usahanya itu yang sebenarnya bisa mengantarnya meraih impian naik pesawat terbang) jawabannya tak jauh dari : orang sudah banyak memiliki produk itu, orang yang ditawari sudah membeli dari perusahaan lain, orang yang ditawari susah diajak ketemu, orang yang ditawari menolak... dan produknya jelek, kemahalan bla...bla...bla.
Terakhir ketemu, dua minggu lalu, dia mengajukan ide (dengan sedikit memaksa)”,Kayaknya sistem kerja kita harus diubah, Bas. Dan Produknya juga harus diperbaiki semua. Kalau perlu nanti aku bikin surat ke manajemen. Kalau masih begini terus, nggak ada perubahan, aku mau pindah ke perusahaan lain”.
Tiba-tiba aku teringat tetanggaku, pak Kemis. Diduga keras pak Kemis ini lahir bukan di hari Jumat atau Rabu.
Suatu sore pak Kemis mendatangi rumah kami di kampung dan bertemu Bapak. Dia berniat meminjam uang, Rp 1000.
Bapak saat itu tak punya Rp 1000, dan menawarkan Rp 250 yang dipegangnya. Sambil berlalu, pak Kemis bilang ke Bapak”,Pak tadi saya mau pinjam Rp 1000. Bapak kasih saya Rp 250, jadi Bapak masih ngutang ke saya Rp 750 ya”.
Bukankah dunia memang suka kebolak-balik. Orang yang mau kita bantu, justru menuntut kita, seperti kita berhutang kepadanya?
Hidup kadang seperti skenario Srimulat.
Hari-hari selanjutnya ternyata lebih mirip drama Korea. Diundang rapat mingguan -tiap senin- tak hadir : dengan berbagai alasan. Diundang training produk, kehadirannya seperti aspal habis direndam banjir : bolong-bolong.
Setiap kali ditanya hasil usahanya (karena dari hasil usahanya itu yang sebenarnya bisa mengantarnya meraih impian naik pesawat terbang) jawabannya tak jauh dari : orang sudah banyak memiliki produk itu, orang yang ditawari sudah membeli dari perusahaan lain, orang yang ditawari susah diajak ketemu, orang yang ditawari menolak... dan produknya jelek, kemahalan bla...bla...bla.
Terakhir ketemu, dua minggu lalu, dia mengajukan ide (dengan sedikit memaksa)”,Kayaknya sistem kerja kita harus diubah, Bas. Dan Produknya juga harus diperbaiki semua. Kalau perlu nanti aku bikin surat ke manajemen. Kalau masih begini terus, nggak ada perubahan, aku mau pindah ke perusahaan lain”.
Tiba-tiba aku teringat tetanggaku, pak Kemis. Diduga keras pak Kemis ini lahir bukan di hari Jumat atau Rabu.
Suatu sore pak Kemis mendatangi rumah kami di kampung dan bertemu Bapak. Dia berniat meminjam uang, Rp 1000.
Bapak saat itu tak punya Rp 1000, dan menawarkan Rp 250 yang dipegangnya. Sambil berlalu, pak Kemis bilang ke Bapak”,Pak tadi saya mau pinjam Rp 1000. Bapak kasih saya Rp 250, jadi Bapak masih ngutang ke saya Rp 750 ya”.
Bukankah dunia memang suka kebolak-balik. Orang yang mau kita bantu, justru menuntut kita, seperti kita berhutang kepadanya?
Hidup kadang seperti skenario Srimulat.
Comments
Post a Comment