
Di dalam undangan tercantum nama anak perempuan pembantu rumah tangga kami -sebut saja namanya Mawar- yang akan menikah dengan seorang lelaki (ya, iyalah...mosok perempuan juga). Saya cek tanggalnya, kelihatannya kami bisa hadir. tak ada agenda pada tanggal itu.
Istri saya kepo. Dia panggil Teteh (begitu kami memanggil pembantu kami), dan mulai asyik ngobrol teras belakang, saya cuma nguping sambil leyeh-leyeh nonton TV.
"Teh, si Mawar mau nikah. emang umurnya berapa?",tanya istri saya.
"Delapan belas, bu",Jawab Teteh.
"Calon suaminya kerja di mana?",Tanya istri saya lagi.
"Tadinya di pabrik sepatu Kedunghalang, tapi sejak tahun baru nganggur bu, kena PHK. Kadang ngojek",jawab Teteh lagi.
"Kenapa buru-buru nikah, nggak cari kerjaan dulu aja",Desak istri saya, mungkin heran.
"Nggak lah bu, biar Mawar ikut suaminya aja. Biar ringan kerjaan saya ngurus adik-adiknya",Tukas Teteh sembari ngangkatin jemuran, gerimis mulai datang.
Mawar SMP tak selesai, tak punya pekerjaan. Pernah beberapa kali melamar ke Indomart atau Alfamart tak diterima (bahkan dipanggil interview pun tidak) karena "ijazahnya tak cukup".
Soal tak lanjut sekolahnya selain karena alasan klasik : biaya, juga lingkungannya juga tak mendukung untuk seseorang bersekolah "tinggi". Rata-rata teman sepermainannya menikah di usia muda : ada yang karena sekedar didesak orang tua untuk meringankan beban, ada juga yang keburu "kecelakaan". Jumlah Perceraian di kampungnya tinggi, rata-rata kasusnya suami kabur entah kemana, nggak balik-balik lagi.
Bayangkan, Teteh yang tak kuat secara ekonomi, secara tak langsung menurunkan generasi yang tak jauh dari kondisinya saat ini.
Mawar dan calon suaminya menikah dalam usia muda tanpa sokongan kemampuan ekonomi yang kuat. Tanpa mujizat, mereka akan melahirkan anak-anak dengan kondisi yang sama : miskin, tak berdaya, terpinggirkan.
Maka siapa bilang hanya kekayaan saja yang bisa diwariskan? Kemiskinan juga bisa.
Namun jangan juga salah. Kemiskinan ini juga datang dari Pola Pikir yang miskin. Pola pikir miskin ini tak monopoli orang miskin, banyak juga orang berduit yang pola pikirnya miskin.
Contohnya, tak bisa menerima kemajuan, prestasi, pencapaian orang lain. Minta disebut dirinya (paling) baik, bukan dengan menunjukkan prestasi : namun dengan menuding orang lain salah.
Kalau Miskin Harta datangnya dari kurangnya harta, kalau miskin pemikiran bisa datang dari kurangnya perhatian, misalnya. Suami sibuk, istri lebih sibuk : duit banyak tapi jarang ketemu. Komunikasi minim bisa menjadi salah satu pemicu lahirnya Miskin Pikiran. Tak ada wadah untuk saling memberi penghargaan atas prestasi-prestasi kecil yang diraih sehari-hari.
Miskin Harta dan Miskin Pikiran - kabarnya- menurun, bisa diwariskan. Itu yang katanya disebut sebagai Miskin Struktural.
Dari undangan perkawinan Mawar, saya membayangkan betapa berat pekerjaan kita melawan kemiskinan struktural ini.
Ide ide tulisan yang datang dari seputaran mata memandang dilahirkan sebuah tulisan yang murni. alangkah indahnya apabila keadaan di negara ini sudah mampu menjamin kelangsungan hidup warga negaranya pasca PHK.. (tentunya syarat dan ketentuan berlaku). karena musibah itu bukan hanya sakit penyakit... meninggal... disabilitas krn kecelakaan.. gagal waris.. tetapi PHK pun juga sebuah musibah yang bisa datang bagi para kaum buruh swasta.. semoga ada solusinya di kemudian hari. :)
ReplyDelete