Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2018

REMAH-REMAH REMPEYEK

Sepasang suami istri yang sederhana akan merayakan limapuluh tahun usia perkawinan mereka. Tadinya mereka ingin merayakannya di rumah, potong tumpeng seperti biasa. Hingga datang anak-anak mereka yang sukses, membawa dua tiket naik kapal pesiar sebagai hadiah dan sejumlah uang sebagai uang saku. Sebagai orang tua, tentu mereka bersuka cita, tetap terselip rasa khawatir “Apakah uang saku yang diberikan anak kita cukup untuk biaya hidup sepanjang berada d i kapal pesiar?”. Singkat cerita, suami istri itu naik kapal pesiar untuk perjalanan sepuluh hari ke beberapa negara. Kapal pesiar yang mereka tumpangi sangat mewah, semua fasilitas tersedia, termasuk berbagai macam pilihan makanan dari tiga restoran mewah di atas kapal. Namun, karena kerisauan atas jumlah uang yang mereka miliki, setiap kali datang waktu sarapan, makan siang dan makan malam; suami istri ini memilih berada di kamar, menyeduh mie instant yang mereka bawa sebagai bekal dari rumah. Hingga dat

GARDU INDUK

Guru muda itu, Erin Gruwell, melangkah penuh keyakinan membawa silabus materi pelajaran Bahasa Inggris yang akan dibawakannya untuk calon murid-murid barunya di SMA Woodrow Wilson. Sekolah ini terletak di sebuah kota kecil, dekat Long Beach Amerika. Dulunya ini sekolah unggulan, hingga pemerintah meminta sekolah ini ikut serta menerima murid asimilasi konflik ras di Amerika : anak-anak yang terblok dalam geng AfroAmerica, Latin, dan Kamboja serta kebany akan "bermasalah" dalam keseharian hidupnya. Mereka ini, anak yang disebut "bermasalah", dikumpulkan dalam satu kelas. Kelas 203. Tak ada guru yang mau dan sanggup menangani, dan Erin diserahi kelas itu. Sekolah yang tadinya cemerlang, surut pamornya karena anak-anak kelas 203. Energi negatif itu merusak. Erin Gruwell, guru baru, alim, berkulit putih tentu tak diterima di kelas ini. Tapi dia tak menyerah. Erin percaya, tak cuma energi negatif yang menular, energi positif pun bisa menula

BETERNAK BEBEK

Buat teman yang sudah lama mengenal saya, pasti sudah tahu bahwa salah satu fase kehidupan saya adalah pernah menjadi peternak bebek petelur. Tahun 2002, selepas mendapat uang jasa dari Majalah Tempo, saya mencoba mencari usaha sampingan di luar jasa distribusi yang saya kelola (belakangan dua usaha itu bangkrut). Walaupun lulusan IPB saya nggak ngerti sama sekali soal bebek atau beternak bebek. Maka, selain membeli buku terkait ternak bebek petelur saya juga "nyantri" ke masternya Peternakan Bebek di desa Pesurungan Lor, Tegal. Di sana saya nyantri dari cara membuat pakan bebek, memberi makan bebek, membersihkan kandang sampai mendalami psikologi bebek. Dari master shifu bebek saya itu pula saya membeli bibit bebek yang dalam sebulan siap bertelur. Saya membeli 600 ekor bebek, membangun dua kandang : di Cibubur dan di Bogor, dekat rumah. Teorinya, dalam sehari apabila kondisinya ideal, 80% dari populasi bebek yang kita miliki akan bertelur. Sala

B 1568 UU

Saya menyebutnya dengan "Kijang Puyer", karena kalau Kijang Kapsul berkonotasi mewah. Mesinnya 1800cc teknologi lama boros pol, transmisi manual dan kursinya hanya dua baris (kursi baris paling belakang model hadap-hadapan dan bisa dilipat. Saya pakai mobil ini tahun 2007-2009, dibeli “second hand” dengan cara mencicil ke leasing. Alasan beli mobil ini supaya bisa tetap bawa keluarga, juga supaya tiap sabtu dan minggu bisa bawa gerobak buat dagang kopi dan burger ke event-event. Dua anak saya satu SD saat itu, sehingga mobil ini juga dipakai untuk antar jemput. Atas ide kreatif istri saya, dia tawarin tetangga yang anaknya kebetulan satu sekolah untuk ikut mobil kami itu, antar jemput. Kami tarik bayaran, sekedar untuk bensin dan jajan soto mie sopirnya. Siapa sopirnya? Saya sendiri. Saya teringat kisah ini karena tadi di jalan ditegur salah satu mantan penumpang angkutan antar jemput saya. Sekarang dia sudah SMA, dan mengendarai sendiri mob

PAK TUA DAN MAK ETEK LIS

Setelah diajak menempuh 3221 kilometer jalur mudik (bolak-balik) kemarin saya bawa kendaraan ke tempat cuci. Hingga ketemulah saya dengan bapak tua ini, penjaja sapu ijuk keliling. Usianya "baru" 64 tahun -setidaknya begitu pengakuannya- tapi fisiknya berbicara lain. Dia nampak lebih tua dari usia sebenarnya, setidaknya bisa saya bandingkan dengan penampilan gagah pak Rudy Habibie di Tivi, saat merayakan 80 tahun usianya. Dia menawarkan sapu ijuk yang dibawanya Rp 25.000 per buah, dan saya lihat sepuluh sapu ijuk yang dibawanya masih utuh, hari itu, belum ada yang terbeli. Dia berjalan kaki setiap hari dari rumahnya yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari tempat kami ketemu. Berjalan kaki. Sandal jepit yang dia kenakan sudah tipis karena mungkin sudah melahap ratusan kilometer jarak. Empat anaknya, tiga sudah menikah, tak jauh nasib darinya. Mereka tak sempat "mengunyah" bangku sekolah, dengan alasan klasik : biaya. Kemiskinan menuru

CERITA SI NUR

Ya, namanya Nur. Tokoh di balik keriuhan pagi di rumah kami yang mulai sepi ditinggal anak-anak yang satu per satu pergi sekolah dan kost di luar kota. Nur adalah anak Meghan, Asisten Rumah Tangga kami, yang pernah saya ceritakan saya dulu. Usia Nur baru berusia 7 bulan, skill-nya selain mulai ngerti lagu "Baby Shark" dari yutub juga mulai bisa merangkak. Kemarin lusa dia merangkak ke arah kursi makan kami. Dia berusaha berdiri, berpegangan pada kursi itu. Saya dan istri hanya memperhatikan dari jauh usahanya, dua tiga kali dia mencoba : mulai dari kepalanya kepentok, jatuh terduduk sampai akhirnya dia bisa "meraih" prestasi pertamanya : berdiri tanpa kami bantu. Tadi pagi, begitu diletakkan di lantai, di langsung merangkak menuju kursi dan meraih kursi, langsung berdiri. Tanpa bantuan, tanpa jatuh. Saya jadi ingat petuah guru saya ", Satu kali kamu bisa meraih sebuah prestasi, maka langkah selanjutnya kamu tinggal selalu menginga