Sepasang suami istri yang sederhana akan merayakan limapuluh tahun
usia perkawinan mereka. Tadinya mereka ingin merayakannya di rumah,
potong tumpeng seperti biasa.
Hingga datang anak-anak mereka yang sukses, membawa dua tiket naik kapal pesiar sebagai hadiah dan sejumlah uang sebagai uang saku. Sebagai orang tua, tentu mereka bersuka cita, tetap terselip rasa khawatir “Apakah uang saku yang diberikan anak kita cukup untuk biaya hidup sepanjang berada di kapal pesiar?”.
Hingga datang anak-anak mereka yang sukses, membawa dua tiket naik kapal pesiar sebagai hadiah dan sejumlah uang sebagai uang saku. Sebagai orang tua, tentu mereka bersuka cita, tetap terselip rasa khawatir “Apakah uang saku yang diberikan anak kita cukup untuk biaya hidup sepanjang berada di kapal pesiar?”.
Singkat cerita, suami istri itu naik kapal pesiar untuk perjalanan
sepuluh hari ke beberapa negara. Kapal pesiar yang mereka tumpangi
sangat mewah, semua fasilitas tersedia, termasuk berbagai macam pilihan
makanan dari tiga restoran mewah di atas kapal.
Namun, karena kerisauan atas jumlah uang yang mereka miliki, setiap kali datang waktu sarapan, makan siang dan makan malam; suami istri ini memilih berada di kamar, menyeduh mie instant yang mereka bawa sebagai bekal dari rumah.
Hingga datang hari ke delapan, sang Suami berkata pada Istrinya”,Istriku, besok adalah hari terakhir. Uang saku yang diberikan anak kita masih utuh. Mungkin sebaiknya kita pakai uang itu untuk menikmati makan malam terakhir di kapal ini di restoran yang baik”.
Sang istri setuju. Maka pada hari ke sembilan, tepat sebelum kapal bersandar esok pagi. Pagi dan siang mereka makan mie instan seperti sebelumnya malamnya mereka bergegas pergi ke restoran di lantai atas kapal. Merayakan malam terakhir di kapal pesiar mawah dengan menikmati “fine dining”.
Di depan pintu restoran, mereka menyerahkan kartu (kunci) kamar pada petugas restoran.

Petugas restoran menggesek kartu itu ke komputer, berpaling dan berkata dengan wajah keheranan “,Bapak dan Ibu, baru kali ini menggunakan fasilitas makan (pagi, siang, malam) gratis yang kami sediakan. Selama ini Bapak dan Ibu makan di mana?”.
Di pintu restoran, suami istri ini pingsan.
Bukankah banyak di dunia nyata orang-orang seperti suami istri pada cerita di atas?
Orang di sekitarnya ingin melihat mereka “lebih baik” dari kondisinya saat ini, memberikan kesempatan, namun mereka selalu berkubang dalam berbagai alasan : aku nggak bakat jualan, aku nggak bisa ngomong, aku repot ngurusin keluarga dan berbagai alasan lain.
Orang-orang seperti ini, berkubang dalam “Self Image” bahwa diri mereka adalah “orang yang tidak bisa, karena keterbatasan-keterbatasan”. Mereka lupa, bahwa kita ini dilahirkan sebagai pemenang, dan diberi “bekal” yang lebih dari cukup untuk menjadi pemenang.
Biasanya orang seperti ini kalau kita berikan visi soal prestasi selalu bilang “,Aku mah da apa atuh, cuma remah-remah rempeyek”.
Dan benar, karena itu yang dia tanamkan di pikirannya, sepanjang hidupnya dia menjadi remah-remah rempeyek.
Namun, karena kerisauan atas jumlah uang yang mereka miliki, setiap kali datang waktu sarapan, makan siang dan makan malam; suami istri ini memilih berada di kamar, menyeduh mie instant yang mereka bawa sebagai bekal dari rumah.
Hingga datang hari ke delapan, sang Suami berkata pada Istrinya”,Istriku, besok adalah hari terakhir. Uang saku yang diberikan anak kita masih utuh. Mungkin sebaiknya kita pakai uang itu untuk menikmati makan malam terakhir di kapal ini di restoran yang baik”.
Sang istri setuju. Maka pada hari ke sembilan, tepat sebelum kapal bersandar esok pagi. Pagi dan siang mereka makan mie instan seperti sebelumnya malamnya mereka bergegas pergi ke restoran di lantai atas kapal. Merayakan malam terakhir di kapal pesiar mawah dengan menikmati “fine dining”.
Di depan pintu restoran, mereka menyerahkan kartu (kunci) kamar pada petugas restoran.

Petugas restoran menggesek kartu itu ke komputer, berpaling dan berkata dengan wajah keheranan “,Bapak dan Ibu, baru kali ini menggunakan fasilitas makan (pagi, siang, malam) gratis yang kami sediakan. Selama ini Bapak dan Ibu makan di mana?”.
Di pintu restoran, suami istri ini pingsan.
Bukankah banyak di dunia nyata orang-orang seperti suami istri pada cerita di atas?
Orang di sekitarnya ingin melihat mereka “lebih baik” dari kondisinya saat ini, memberikan kesempatan, namun mereka selalu berkubang dalam berbagai alasan : aku nggak bakat jualan, aku nggak bisa ngomong, aku repot ngurusin keluarga dan berbagai alasan lain.
Orang-orang seperti ini, berkubang dalam “Self Image” bahwa diri mereka adalah “orang yang tidak bisa, karena keterbatasan-keterbatasan”. Mereka lupa, bahwa kita ini dilahirkan sebagai pemenang, dan diberi “bekal” yang lebih dari cukup untuk menjadi pemenang.
Biasanya orang seperti ini kalau kita berikan visi soal prestasi selalu bilang “,Aku mah da apa atuh, cuma remah-remah rempeyek”.
Dan benar, karena itu yang dia tanamkan di pikirannya, sepanjang hidupnya dia menjadi remah-remah rempeyek.
Comments
Post a Comment