
Dia menawarkan sapu ijuk yang dibawanya Rp 25.000 per buah, dan saya lihat sepuluh sapu ijuk yang dibawanya masih utuh, hari itu, belum ada yang terbeli. Dia berjalan kaki setiap hari dari rumahnya yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari tempat kami ketemu. Berjalan kaki. Sandal jepit yang dia kenakan sudah tipis karena mungkin sudah melahap ratusan kilometer jarak.
Empat anaknya, tiga sudah menikah, tak jauh nasib darinya. Mereka tak sempat "mengunyah" bangku sekolah, dengan alasan klasik : biaya. Kemiskinan menurunkan kemiskinan, apakah selalu begitu ?
Saya teringat dr. Roni. Anak Mak Etek Lis tetangga kami di Padang. Mak Etek Lis berdagang Lotek di depan rumah untuk membantu menopang ekonomi keluarga, karena suaminya -hanya- tukang bangunan yang bekerja serabutan. Anaknya tiga orang, tapi Ronal -anak pertamanya- meninggal dunia di masa remajanya. Roni, anak kedua Mak Etek, bercita-cita menjadi "orang". Ya, dia bercita-cita, hal kecil yang jarang dimiliki anak keluarga yang tak berpunya.
Mak Etek bekerja sangat keras, dan kami melihat komitmennya membantu anak-anaknya keluar dari lingkaran kesulitan hidupnya. Roni juga kami lihat sebagai anak yang berbeda, dia juga berusaha dengan sangat keras. Pagi sekolah, siang dan malam bekerja membantu emaknya di kedai, kadang hingga tengah malam.
Kemarin, lebaran, Roni datang ke rumah. Mak Etek Lis sudah meninggal delapan tahun lalu. Roni, sudah menjadi dr Roni, spesialis Paru yang kini bertugas di Sebuah RSUD Kabupaten. Dia datang selain ingin berlebaran, juga berpamitan serta mohon doa restu, awal bulan Agustus 2016 ditugaskan menjadi tim medis Jemaah Haji Indonesia ke Mekkah.
Bagaimana kontras hasil akhir yang dicapai oleh anak pak Tukang sapu dibandingkan Roni-nya Mak Etek Lis. Mereka tadinya berasal dari lingkaran kesultan yang sama, tapi "pola pikir" yang dibangun oleh Mak Etek Lis pada Roni membuat hasil akhirnya berbeda. Saya tak setuju ini soal keberuntungan belaka.
Lalu masih belum percaya bahwa "pola pikir" adalah gelombang penggerak dukungan alam semesta. Menjadi kaya itu bukan karena memiliki banyak harta saja. Kaya adalah soal pola pikir.
Banyak juga orang kaya yang pola pikirnya miskin, sering sesak hatinya melihat kebahagiaan orang. Sesak nafas, karena takut uangnya berkurang atau habis. Sesak nafas, melihat teman-temannya tersenyum di facebook. Sesak nafas, karena merasa selalu tak punya waktu untuk dinikmati karena waktu adalah (semata hanya untuk mencari) uang.
Kami anak-anak wonodri krajan, yang tersenyum di bawah ini, belajar banyak dari itu. Belajar memiliki pola pikir kaya.
Comments
Post a Comment