
Tahun 2002, selepas mendapat uang jasa dari Majalah Tempo, saya mencoba mencari usaha sampingan di luar jasa distribusi yang saya kelola (belakangan dua usaha itu bangkrut).
Walaupun lulusan IPB saya nggak ngerti sama sekali soal bebek atau beternak bebek. Maka, selain membeli buku terkait ternak bebek petelur saya juga "nyantri" ke masternya Peternakan Bebek di desa Pesurungan Lor, Tegal.
Di sana saya nyantri dari cara membuat pakan bebek, memberi makan bebek, membersihkan kandang sampai mendalami psikologi bebek.
Dari master shifu bebek saya itu pula saya membeli bibit bebek yang dalam sebulan siap bertelur. Saya membeli 600 ekor bebek, membangun dua kandang : di Cibubur dan di Bogor, dekat rumah.
Teorinya, dalam sehari apabila kondisinya ideal, 80% dari populasi bebek yang kita miliki akan bertelur. Salah satu penentu kondisi itu adalah pakan yang baik.
Pakan yang baik harus mengandung protein yang cukup, di samping karbohidrat memadai. Di Tegal, di tempat saya nyantri, pakan bebek adalah campuran dari dedak, nasi basi dan limbah Pelelangan ikan : kulit, ikan, jeroan dan kepala ikan. Itulah sumber proteinnya.
Di Bogor dan Cibubur tentu setengah mati cari limbah ikan. Maka untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, bebek harus diberi pakan yang dicampur Tepung Ikan.
Tepung ikan harus dibeli. Dan dari dialog saya dengan penjual Tepung ikan di Pasar Parung, sebagian besar tepung ikan (waktu itu) masih diimpor. Malah katanya, dibuat di Indonesia lalu dikirim ke Thailand dan Malaysia untuk dikirim lagi ke Indonesia.
Nah, karena mekanisme dagang tepung ikan yang seperti itu, harganya tidak stabil. Tiap kali dollar menguat, harga tepung ikan langsung naik.
Jalur dagang telur bebek, berbeda dengan telur ayam. Kami, peternak bebek petelur, rata-rata menjual telur ke tukang martabak dan tukang jamu ...yang tidak mungkin sering menaikkan harga dagangannya.
Bayangkan, biaya produksi naik (karena harga pakan naik terus) tapi telurnya tak bisa dinaikkan harga jualnya. Tekor.
Belum lagi bebek ada masanya harus apkir, karena produktivitas telurnya habis. Bebek yang apkir harus dijual murah (dipakai bebek goreng di warung bebek goreng) dan -idealnya- diganti bebek baru. Namun tak semua peternak punya likuiditas bagus dalam kondisi seperti itu, bisa jadi jual 10 bebek apkir, namun hanya kebeli 5 bebek baru. Apalagi kalau modalnya didapat dari pinjam duit bank.
Maka saya membayangkan keriuhan hari ini saat harga telur naik... Saya tak tahu apakah emak-emak keren yang kemarin demo tahu soal ini.
Kadang sekedar menuntut memang mudah. Dan menyenangkan semua orang itu sulit... Apalagi menyenangkan hati orang-orang yang melakukan sesuatu sekedar karena tidak suka.
Bebekku, aku rindu kalian. Karena walau bebek, tapi kalian tak suka membebek ...
Comments
Post a Comment