Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

INTERMEZZO : Engkau adalah Hayati yang beruntung, aku adalah Zainuddin yang berhasil (Catatan dari Film tenggelamnya kapal van der Wijck)

Menulis catatan ini , saya mencoba merekonstruksi imajinasi saat membaca Novel ini, kira-kira tigapuluh tahun lalu. Sewaktu saya masih duduk di bangku kelas dua SMP.  Membaca novel ini, sekali lahap, di perpustakaan Gereja, di dalam kompleks SMA Sedes Sapientiae dekat rumah. Tempat anak-anak kecil haus bacaan berkumpul siang hari -yang selalu gerah menekan- sepulang sekolah.  Perpustakaan yang adem, tak memungut biaya dengan koleksi bacaan anak yang komplit adalah surga. Dengan syarat kami tak berisik, saya diperbolehkan melumat buku-buku yang ada di sana.  Syarat yang mudah kami patuhi, saat itu. Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang ditulis Hamka tahun 1938 dan diterbitkan sebagai buku tahun 1939, entah karena untain bahasanya yang indah atau sampulnya yang bagus -gambar kapal tenggelam- menenggelamkan sore saya, hingga perpustakaan hampir tutup waktu itu. Saya masih ingusan, belum tahu apa itu cinta dan dimana itu nagari Andalas. Buku itu membawa imajinasi

Harta karun dalam Jajaran Keranjang (Perasan dari buku 6 Keranjang, 7 Langkah-Lim Tung Ning)

Buku ini sebenarnya sudah terbit tahun 2012 lalu, tapi saya baru saja menemukannya.  Ibarat harta karun, saya melihat isi buku ini begitu berkilau seperti emas dan permata dalam kotak baja.  Terimakasih pak Lim Tung Ning, penulis buku ini, yang -karena kesederhanaannya- buku ini menjadi sangat bisa dimengerti dan terlalu berharga untuk sekedar disimpan. Penulis adalah seorang eksekutif IT di sebuah perusahaan tambang kelas dunia yang beroperasi di Timika (pasti ketebak, perusahaan apa itu).  Hidupnya gilang gemilang, hingga tiba saat dia dipindahkan di Jakarta.  gaji yang (super) besar bahkan tak bisa membuatnya bisa memiliki rumah di Jakarta.  Dia bercerita banyak soal jebakan-jebakan hutang konsumtif lain yang memenjaranya, hingga dia menjadi orang yang "gagal secara finansial".   Perjalanan hidup membawanya pada banyak pelajaran, hingga dia tertambat menjadi "double jobber" sebuah perusahaan Asuransi menjadi agen asuransi dan Finansial Planner.  Disinila

Alqalinisi dan Gajah : Sebuah Kisah Lama dengan Inspirasi

Sambil menikmati kopi pagi di kedai, saya membaca sebuah kisah lama : Alqalinisi dan Gajah. Tersebutlah pada suatu masa, Alqalinisi hidup di sebuah kampung beserta beberapa tetangganya yang beriman di desa tepat di kaki sebuah gunung berapi.  Gunung berapi sedang batuk-batuk waktu itu, dan siap meluapkan amukannya.  Dengan bercanda, para tetangga saling melontar nadzar, apabila -misal- terjadi bencana gunung meletus mereka bisa selamat mereka akan melakukan apa.  Tadinya, Alqalinisi menolak menyampaikan nadzarnya."Aku tak terbiasa menyampaikan nadzar, karena nadzar wajib hukumnya untuk dipenuhi." kilah Alqalinisi.  tapi para tetangganya tetap memaksa.  Hingga dia bernadzar", aku tak akan memakan daging gajah". Tetangganya tertawa, sebuah nadzar yang aneh Hingga amukan itu terjadi, Alqalinisi beserta tetangganya mengungsi ke sebuah tempat yang aman, dan mereka terisolasi di sana. Di tempat pengungsian itu makanan sulit didapat, syuran habis dilibas awan

Anak Bawang Pergi ke Shanghai

Ketika menulis artikel ini, saya jadi teringat ketika tahun 2006 saya memutuskan pensiun sebagai orang kantoran.  Banyak teman yang berkenyit heran, tak sedikit yang mencibir ketika saya sampaikan keputusan saya untuk menanggalkan jabatan yang "maknyus" dan memilih jadi entrepreneur kelas kaki lima. Saya bisa mengerti, karena sebelumnya saya pernah mencoba beberapa usaha dan selalu Gagal (gagalnya pakai total).  Tapi bukankah kegagalan itu asyik?  kegagalan membuat kita makin pintar : tapi itu pendapat saya. Dalam perjalanan, tentu tak mulus, diantara teman-teman ada yang bersimpati dengan menawarkan bantuan atau sekedar informasi agar saya kembali bekerja di kantor.  Mereka iba, melihat kondisi saya yang balik lagi berjuang bersama "smash davidson", tiap hari bermuka setengah monyet karena asap knalpot, mengumpulkan omzet 100-200ribu dari konter burger di emper-emper ruko  dan sekolah. Kini, kejadian itu berulang.  Bulan Mei 2013 lalu, saya memutuskan b

Uang Rp 1 Milyar untuk anda

Di pertengahan tahun 2002, saat memutuskan mengundurkan diri dari TEMPO, saya mendapatkan "uang jasa".  Seingat saya nilainya sekitar Rp 55 juta.  Saat ini saya bingung uang itu mau saya pakai apa, dan walhasil uang itu habis tak bersisa tanpa ada jejaknya. Maka, bayangkan, bila hari ini ada rezeki nomplok, anda menerima uang Rp 1 milyar.  Mau dipakai apa uang itu. Ada yang berfikir, belikan rumah buat investasi.  Boleeeh...itu kan uang anda.  Tapi beli rumah di jabotabek, yang masuk ukuran layak dan bisa dijadikan investasi tentu tak cukup Rp 200-300 juta kan.  Belum lagi kalau rumah itu kosong, perlu biaya untuk mengurusinya, listrik, air, perawatan.    Dikontrakkan?  banyak cerita yang beredar, mengontrakkan rumah justru langkah untuk merusak rumah secara pelan-pelan.  pengalaman saya, rumah saya justru rusak ketika dikontrakkan, belum lagi tagihan listri dan air yang dijebol tidak dibayar...fiiiuhhhh. Ada yang berfikir, belikan mobil.  Wah, ini agak repot.  De

Bukan Soal "Cost Benefit"

Minggu lalu, saya menyetir mobil -sendiri- dari Bogor ke Semarang. Dua belas jam perjalanan bukan waktu yang pendek.  Jumat berangkat ke Semarang, Minggu saya sudah kembali lagi ke Bogor. Beberapa teman yang tahu saya pergi ke Semarang, pasti mengira saya sedang memeriahkan liburan panjang Idul Adha.  Bukan sebenarnya. Illustrasi dari KOMPAS Pergi ke Semarang, bisa jadi menjadi perjalanan sakral buat saya, semacam ritual : karena itu waktunya menengok ibu, satu-satunya orangtua yang miliki saat ini setelah Bapak saya meninggal dunia 2006 lalu.  Beberapa teman dengan kritis bilang, kenapa nggak pakai telepon saja? atau SMS, BBM, Whatsapp? Mengunjungi orangtua bukanlah bisnis yang pantas kita hitung "cost benefit"nya.  Mungkin sekali perjalanan ke Semarang -via darat, nyetir sendiri- bisa menghabiskan 2-3 juta untuk bensin dan akomodasi.  Dibandingkan dengan pulsa telepon tentu jauh lebih besar, tapi bayangkan bagaimana bahagianya orangtua melihat anaknya pulang menya

Seandainya Saya Carter Chamber ...

Ya, seandainya saya Charter Chambers yang bertemu Edward Cole di Film The Bucket List (2007).  Carter diperankan dengan brillian oleh Morgan Freeman, dan Edward yang dijiwai oleh akting ciamik Jack Nicholson, sungguh menggugah urat menulis saya untuk membuat Notes hari ini. Bagi anda yang sudah menonton filmnya, simpan pengetahuan anda dulu.  Adalah Carter yang bekerja sebagai montir, karena sakitnya bertemu dengan Edward -jutawan kesepian yang pongah- sehingga termakan aturan main yang dibautnya sendiri : di sebuah rumah sakit, milik Edward.  Tadinya Edward menolak dirawat berbagi ruangan dengan Carter yang disebutnya "sudah setengah hidup".  Tapi dia termakan aturan yang dibuatnya sendiri.  Satu orang miskin ketemu satu orang kaya. Hampir putus asa karena penyakitnya,  Carter sempat menulis "daftar keinginan terakhir" atau The Bucket List , hal-hal yang ingin dia lakukan sebelum dia mati.  Tapi Carter tak cukup punya nyali untuk menyimpan (apalagi

Karena SMS seorang Teman

Siang belum lagi genap, saat pesan pendek (SMS) itu masuk ke ponsel saya.  Pengirimnya seorang teman, yang belum lama berselang saya presentasikan perlunya asuransi kesehatan buat dirinya, apalagi karena profesinya, sang teman ini lebih banyak berada di jalanan dan bekerja hingga larut malam, rentan resiko kecelakaan atau sakit. Dia sudah mengerti isi presentasi saya, karena saya sudah mengulangnya hingga tiga kali. tapi dia memilih menunda. Dan SMS itu berbunyi, dia perlu pinjaman uang untuk membayar biaya obat istrinya yang terbaring sakit.  Saya, terus terang tak terbiasa dengan mudah meminjamkan uang.  Sebagian bilang pelit, tapi -buat saya- pengalaman sudah banyak berbicara, sehingga saya sangat berhati-hati dalam hal meminjamkan uang.  Tapi, dalam hati saya sangat menyesalkan, mengapa saya tak bisa me mbantu dia.  Bukan...bukan dengan meminjamkan uang, tapi "memaksanya" mengambil program asuransi kesehatan yang sudah tiga kali saya presentasikan.  kalau saja, dia m

Belajar Strategi dari Pengemis Jakarta

Ini mengutip dari sebuah situs berita :” Petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan. Dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. "Kalau yang segitu biasanya didapat pengemis dengan tingkat kekasihanan yang sangat sangat kasihan. Seperti pengemis kakek-kakek atau ibu-ibu yang mengemis dengan membawa anaknya," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda saat ditemui di kantornya, Selasa (25/6)”. Berita yang saya kutip cukup menohok akal sehat kita.   Bahkan ada sebuah investigasi yang melaporkan , saat bulan ramadhan, seorang pengemis di daerah Blok M bisa meraup pendapatkan sampai Rp 1.7 juta sehari.   Lalu apa hebatnya? Dalam hidup, terutama saat kita berbisnis, ada saat-saat dimana semangat dan motivasi menjadi sedemikian rendah. Omzet penjualan turun, stok bahan baku tipis, banyak hutang jatuh tempo, piutang lambat tertagih.   Tapi pada saat

Mengapa Asuransi (2)

Kalau kemarin kita berdiskusi dengan Stefani, kini saatnya kita berdiskusi dengan Ida Farida, yang akrab disapa Ida.   Dalam kesehariannya, Profesional Financial Planner ini banyak memberikan tips-tips praktis soal asuransi dan Investasi.   Menurut Ida, saat jaman makin modern, semua dituntut serba cepat, gaya hidup juga ikut menyesuaikan.   Termasuk gaya mengatur keuangan. Ida bertutur, dulu mungkin jaman orangtua kita tak memerlukan asuransi pendidikan, karena –pada jamannya- pendidikan masih murah, tuntutan gaya hidup juga rendah.   Berbeda dengan kini. Dulu kita beli pulsa handphone hanya untuk telepon dan SMS saja, kini harus membeli lebih banyak pulsa untuk mengakses fitur berbasis internet.   Kebutuhan yang diciptakan oleh gaya hidup makin banyak.   Dan ida pun berbagi, mejawab pertanyaan Mengapa Asuransi ? Asuransi Jaminan Dana Pensiun .   Semoga umur kita panjang, demikian doa semua orang.   Kita merintis karir saat usia kita muda, dan pension pada –setidaknya- us