INTERMEZZO : Engkau adalah Hayati yang beruntung, aku adalah Zainuddin yang berhasil (Catatan dari Film tenggelamnya kapal van der Wijck)

Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang ditulis Hamka tahun 1938 dan diterbitkan sebagai buku tahun 1939, entah karena untain bahasanya yang indah atau sampulnya yang bagus -gambar kapal tenggelam- menenggelamkan sore saya, hingga perpustakaan hampir tutup waktu itu.
Saya masih ingusan, belum tahu apa itu cinta dan dimana itu nagari Andalas. Buku itu membawa imajinasi saya jauh melayang ke alam Batipuh, Padang Panjang dan Padang. Bayangan sosok Hayati, Zainuddin dan Azis tergambar dalam sosok-sosok imajiner membawa saya jauh berkhayal tentang alam Sumatera Barat dan adat istiadatnya. Tanah Air, yang kelak saat dewasa menjadi separoh tanah air saya sebagai "urang sumando" : seorang laki-laki -jawa- yang datang sebagai suami, "tamu" keluarga besar istri saya yang Minang asli.
Dan hari ini, tadi sore -bersama istri- saya menonton Novel Mega Best Seller yang sudah berkali-kali cetak ini menjadi sebuah film dengan judul yang sama : "Tenggelamnya Kapan Van der Wijck".
Dan saya berusaha keras merekonstruksi -dan mencocokkan- imajinasi saat saya membaca novel ini dulu, dengan visualisasi film ini.
Tokoh Hayati yang diperankan oleh Pevita Pearce terlalu bule dan kurang cocok dengan imajinasi saya. Tapi, melihat istri saya, barangkali memang seperti inilah tipikal gadis Minang yang menjadi buah mulut dan pujian. Akting Herjunot yang memerankan Zainuddin juga cukup memuaskan, walau juga jauh dari bayangan saya dari sosok pemuda Bugis yang hidup cergas ditimpa banyak kesulitan hidup : Herjunot terlalu "halus". Tapi tak apa, sosok Azis yang diperankan oleh Reza Rahadian cukuplah jadi pelipur lara, walau dia tampil minim dialog.
Cerita mengalir sesuai harapan, cocok dengan imajinasi saya saat membaca novel ini. Alam Sumatra Barat yang sudah saya akrabi 14 tahun belakangan, digambarkan dengan sangat indah, sesuai aslinya. Gambaran adat istiadat yang menggenggam aturan ninik mamak -pada jaman itu- divisualisasikan dengan baik lewat serangkaian illustrasi rapat-rapat adat ninik mamak lengkap dengan pepatah-petitihnya.
Maka, menonton film ini, emosi serada diaduk-aduk, sebagaimana saat membaca novelnya. Penggambaran adegannya runut sesuai novelnya, bahkan dalam beberapa scene : dialognya persis sebagaimana dialog dalam novel aslinya. Salut.
Beberapa nilai yang patut diserap (dari novel dan) film ini seperti kesetiakawakanan, jangan larut dalam kesedihan dan keterpurukan, kesuksesan akan datang pada mereka yang bersungguh-sungguh dan bercita-citalah setinggi langit.
Saya teringat salah satu dialog yang disampaikan Bang Muluk pada Zainuddin, "Janganlah kesedihan menjadi awal dari kejatuhan. Namun bila kejatuhan itu datang juga, maka yang harus kita lakukan adalah bangkit dan bangkit lagi".
Film ini -menurut saya- pantas untuk ditonton, dia tak sekedar film soal kasih tak sampai, tapi sebuah visi, yang disampaikan pada era 1938 : tentang nasionalisme dan toleransi keberagaman budaya. Sebuah film tentang cita-cita yang tinggi. Dan soal itu, saya teringat kata-kata pada halaman terakhir Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", kata-kata yang disampaikan bang Muluk setelah Zainuddin meninggal karena sakit merana :
"Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi,; kesenangannya buat orang lain. Buat diri sendirinya tidak. Sesudah menutup mata, barulah orang akan insyaf siapa sebetulnya dia..."
Sesaat meninggalkan gedung bioskop, saya berbisik pada istri saya," Kamu Minang, dan aku Jawa. Maka engkau adalah Hayati yang beruntung, dan aku adalah Zainuddin yang berhasil".
Basri Adhi - http://goo.gl/IQGQgC
Comments
Post a Comment