Skip to main content

INTERMEZZO : Engkau adalah Hayati yang beruntung, aku adalah Zainuddin yang berhasil (Catatan dari Film tenggelamnya kapal van der Wijck)

Menulis catatan ini , saya mencoba merekonstruksi imajinasi saat membaca Novel ini, kira-kira tigapuluh tahun lalu. Sewaktu saya masih duduk di bangku kelas dua SMP.  Membaca novel ini, sekali lahap, di perpustakaan Gereja, di dalam kompleks SMA Sedes Sapientiae dekat rumah. Tempat anak-anak kecil haus bacaan berkumpul siang hari -yang selalu gerah menekan- sepulang sekolah.  Perpustakaan yang adem, tak memungut biaya dengan koleksi bacaan anak yang komplit adalah surga. Dengan syarat kami tak berisik, saya diperbolehkan melumat buku-buku yang ada di sana.  Syarat yang mudah kami patuhi, saat itu.

Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang ditulis Hamka tahun 1938 dan diterbitkan sebagai buku tahun 1939, entah karena untain bahasanya yang indah atau sampulnya yang bagus -gambar kapal tenggelam- menenggelamkan sore saya, hingga perpustakaan hampir tutup waktu itu.

Saya masih ingusan, belum tahu apa itu cinta dan dimana itu nagari Andalas. Buku itu membawa imajinasi saya jauh melayang ke alam Batipuh, Padang Panjang dan Padang.  Bayangan sosok Hayati, Zainuddin dan Azis tergambar dalam sosok-sosok imajiner membawa saya jauh berkhayal tentang alam Sumatera Barat dan adat istiadatnya.  Tanah Air, yang kelak saat dewasa menjadi separoh tanah air saya sebagai "urang sumando" : seorang laki-laki -jawa- yang datang sebagai suami,  "tamu" keluarga besar istri saya yang Minang asli.  

Dan hari ini, tadi sore -bersama istri- saya menonton Novel Mega Best Seller yang sudah berkali-kali cetak ini menjadi sebuah film dengan judul yang sama : "Tenggelamnya Kapan Van der Wijck".

Dan saya berusaha keras merekonstruksi -dan mencocokkan-  imajinasi saat saya membaca novel ini dulu, dengan visualisasi film ini.

Tokoh Hayati yang diperankan oleh Pevita Pearce terlalu bule dan kurang cocok dengan imajinasi saya.  Tapi, melihat istri saya, barangkali memang seperti inilah tipikal gadis Minang yang menjadi buah mulut dan pujian. Akting Herjunot yang memerankan Zainuddin juga cukup memuaskan, walau juga jauh dari bayangan saya dari sosok pemuda Bugis yang hidup cergas ditimpa banyak kesulitan hidup : Herjunot terlalu "halus".  Tapi tak apa, sosok Azis yang diperankan oleh Reza Rahadian cukuplah jadi pelipur lara, walau dia tampil minim dialog.

Cerita mengalir sesuai harapan, cocok dengan imajinasi saya saat membaca novel ini.  Alam Sumatra Barat yang sudah saya akrabi 14 tahun belakangan, digambarkan dengan sangat indah, sesuai aslinya.  Gambaran adat istiadat yang menggenggam aturan ninik mamak -pada jaman itu- divisualisasikan dengan baik lewat serangkaian illustrasi rapat-rapat adat ninik mamak lengkap dengan pepatah-petitihnya.  

Maka, menonton film ini, emosi serada diaduk-aduk, sebagaimana saat membaca novelnya.  Penggambaran adegannya runut sesuai novelnya, bahkan dalam beberapa scene : dialognya persis sebagaimana dialog dalam novel aslinya.  Salut.

Beberapa nilai yang patut diserap (dari novel dan) film ini seperti kesetiakawakanan, jangan larut dalam kesedihan dan keterpurukan, kesuksesan akan datang pada mereka yang bersungguh-sungguh dan bercita-citalah setinggi langit.  

Saya teringat salah satu dialog yang disampaikan Bang Muluk pada Zainuddin, "Janganlah kesedihan menjadi awal dari kejatuhan.  Namun bila kejatuhan itu datang juga, maka yang harus kita lakukan adalah bangkit dan bangkit lagi".

Film ini -menurut saya-  pantas untuk ditonton, dia tak sekedar film soal kasih tak sampai, tapi sebuah visi, yang disampaikan pada era 1938 : tentang nasionalisme dan toleransi keberagaman budaya.  Sebuah film tentang cita-cita yang tinggi.  Dan soal itu, saya teringat kata-kata pada halaman terakhir Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", kata-kata yang disampaikan bang Muluk setelah Zainuddin meninggal karena sakit merana :

"Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi,; kesenangannya buat orang lain.  Buat diri sendirinya tidak.  Sesudah menutup mata, barulah orang akan insyaf siapa sebetulnya dia..."

Sesaat meninggalkan gedung bioskop, saya berbisik pada istri saya," Kamu Minang, dan aku Jawa.  Maka engkau adalah Hayati yang beruntung, dan aku adalah Zainuddin yang berhasil".    

Basri Adhi - http://goo.gl/IQGQgC

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG