Sambil menikmati kopi pagi di kedai, saya membaca sebuah kisah lama : Alqalinisi dan Gajah.
Tersebutlah pada suatu masa, Alqalinisi hidup di sebuah kampung beserta beberapa tetangganya yang beriman di desa tepat di kaki sebuah gunung berapi. Gunung berapi sedang batuk-batuk waktu itu, dan siap meluapkan amukannya. Dengan bercanda, para tetangga saling melontar nadzar, apabila -misal- terjadi bencana gunung meletus mereka bisa selamat mereka akan melakukan apa. Tadinya, Alqalinisi menolak menyampaikan nadzarnya."Aku tak terbiasa menyampaikan nadzar, karena nadzar wajib hukumnya untuk dipenuhi." kilah Alqalinisi. tapi para tetangganya tetap memaksa. Hingga dia bernadzar", aku tak akan memakan daging gajah".
Tetangganya tertawa, sebuah nadzar yang aneh
Hingga amukan itu terjadi, Alqalinisi beserta tetangganya mengungsi ke sebuah tempat yang aman, dan mereka terisolasi di sana. Di tempat pengungsian itu makanan sulit didapat, syuran habis dilibas awan panas dari gunung berapi, daging apalagi.

Tak lama setelah mereka tertidur, datangnlah sang Induk Gajah yang mencari anaknya yang hilang. Dia mencium bau anaknya di sekitar tenpat pengungsian, dan dengan nalurinya dia tahu telah terjadi sesuatu pada anaknya. Diendusnya satu demi satu tetangga Alqalinisi yang sedang tertidur lelap. ketika tercium olehnya bau anaknya, maka diinjaknya satu per satu tetangga itu hingga mati. Tersisa Alqalinisi yang akhirnya dibangunkan oleh sang Induk gajah. dalam kondisi bingung, dia membaca induk gajah mengisyaratkan agar Alqalinisi menaiki punggungnya. Dengan sigap, setelah Alqalinisi berada punggung, gajah itu sigap berlari membawa Alqalinisi ke sebuah pinggir kampung : yang di sana dia mendapatkan pertolongan.
Kisah lama -yang barangkali cuma fiksi ini - menuturkan kepada kita, kadang-kadang janji kita atau cita-cita kita dipandang aneh oleh orang di sekeliling kita. Tak jarang mereka akan mentertawakan, bahkan meninggalkan kita karena menganggap kita orang yang aneh (dengan cita-cita kita).
Tapi belajarlah dari Alqalinisi, dia konsisten dengan janjinya (atau cita-citanya). Dia setia walau harus menerima resiko kelaparan, kesulitan. Tapi sebuah cita-cita yang dipertahankan dengan konsisten, dengan segala resiko, akan membawa kita pada kemenangan yang gilang gemilang.
Semoga menjadi inspirasi.
Comments
Post a Comment