Ya, seandainya saya Charter Chambers yang bertemu Edward Cole di Film
The Bucket List (2007). Carter diperankan dengan brillian oleh Morgan
Freeman, dan Edward yang dijiwai oleh akting ciamik Jack Nicholson,
sungguh menggugah urat menulis saya untuk membuat Notes hari ini.
Bagi anda yang sudah menonton filmnya, simpan pengetahuan anda dulu. Adalah Carter yang bekerja sebagai montir, karena sakitnya bertemu dengan Edward -jutawan kesepian yang pongah- sehingga termakan aturan main yang dibautnya sendiri : di sebuah rumah sakit, milik Edward. Tadinya Edward menolak dirawat berbagi ruangan dengan Carter yang disebutnya "sudah setengah hidup". Tapi dia termakan aturan yang dibuatnya sendiri. Satu orang miskin ketemu satu orang kaya.
Hampir putus asa karena penyakitnya, Carter sempat menulis "daftar keinginan terakhir" atau The Bucket List, hal-hal yang ingin dia lakukan sebelum dia mati. Tapi Carter tak cukup punya nyali untuk menyimpan (apalagi mewujudkan daftar keinginannya itu). Dan memilih meremas kertas dan membuangnya di tempat sampah. Hingga tanpa sengaja, daftar itu ditemukan oleh Edward.

Hidup kadang penuh kejutan, Tuhan memberi kejutan, manusia menyebutnya keajaiban. Hingga Edward dengan gigih, meyakinkan Carter untuk segera mewujudkan daftar keinginan itu -mereka berdua- dengans segala biaya ditanggung oleh si jutawan. Ditentang oleh sang istri, Carter memilih keputusan "melakukan hal gila yang diimpikannya" bersama Cole. Now or Never, mungkin itu pikirnya.
Hingga jadilah mereka berkeliling dunia, mengerjakan hal paling gila, yang barangkali Carter bahkan takut untuk memimpikannya. Melalui Edward, mimpi itu terwujud.
Namun, nasib berbicara lain, Carter keburu meninggal saat belum semua keinginannya tercapai : 1. Mencium gadis paling cantik se dunia 2. Memberi kebaikan pada orang yang "complete stranger" dan 3. Menyaksikan hal paling luar biasa dalam hidup.

Tapi, bukankah hidup selalu begitu. Tanpa sadar, mimpi besar kita terhubung-hubung dengan mimpi kecil orang lain di sekitar kita. Dan alam akan berusaha menggenapkan mimpi kita, lewat orang lain yang kita cintai. Mimpi Carter digenapkan oleh Edward. Hingga Edward akhirnya mencium cucunya (dari anak perempuan yang lama tak dia temui) yang disebutnya "gadis paling cantik se dunia"; bisa mengantar Carter hingga ke pemakaman dan mewujudkan bucket list-nya, walau Carter adalah perfect stranger. Endingnya, abu mereka mereka disimpan dalam kaleng kopi luwak, di puncak Himalaya, di bawah sebuah gua batu yang menghadap pemandangan paling luar biasa.
Saya -mungkin- tak seberuntung Carter Chambers yang bertemu Edward Cole, hingga "bucket list" nya bisa terwujud sebelum hayatnya. Tapi saya juga memliki "bucket List", dan saya bekerja keras untuk itu. Membantu orang di sekitar saya mewujudkan mimpi mereka, barangkali itu hal paling sederhana yang bisa saya lakukan. Tapi bukankah mimpi mereka juga pasti terhubung dengan mimpi kita ?
Dan saya akan tetap bekerja keras untuk itu, semoga juga Anda begitu.
Bagi anda yang sudah menonton filmnya, simpan pengetahuan anda dulu. Adalah Carter yang bekerja sebagai montir, karena sakitnya bertemu dengan Edward -jutawan kesepian yang pongah- sehingga termakan aturan main yang dibautnya sendiri : di sebuah rumah sakit, milik Edward. Tadinya Edward menolak dirawat berbagi ruangan dengan Carter yang disebutnya "sudah setengah hidup". Tapi dia termakan aturan yang dibuatnya sendiri. Satu orang miskin ketemu satu orang kaya.
Hampir putus asa karena penyakitnya, Carter sempat menulis "daftar keinginan terakhir" atau The Bucket List, hal-hal yang ingin dia lakukan sebelum dia mati. Tapi Carter tak cukup punya nyali untuk menyimpan (apalagi mewujudkan daftar keinginannya itu). Dan memilih meremas kertas dan membuangnya di tempat sampah. Hingga tanpa sengaja, daftar itu ditemukan oleh Edward.

Hidup kadang penuh kejutan, Tuhan memberi kejutan, manusia menyebutnya keajaiban. Hingga Edward dengan gigih, meyakinkan Carter untuk segera mewujudkan daftar keinginan itu -mereka berdua- dengans segala biaya ditanggung oleh si jutawan. Ditentang oleh sang istri, Carter memilih keputusan "melakukan hal gila yang diimpikannya" bersama Cole. Now or Never, mungkin itu pikirnya.
Hingga jadilah mereka berkeliling dunia, mengerjakan hal paling gila, yang barangkali Carter bahkan takut untuk memimpikannya. Melalui Edward, mimpi itu terwujud.
Namun, nasib berbicara lain, Carter keburu meninggal saat belum semua keinginannya tercapai : 1. Mencium gadis paling cantik se dunia 2. Memberi kebaikan pada orang yang "complete stranger" dan 3. Menyaksikan hal paling luar biasa dalam hidup.

Tapi, bukankah hidup selalu begitu. Tanpa sadar, mimpi besar kita terhubung-hubung dengan mimpi kecil orang lain di sekitar kita. Dan alam akan berusaha menggenapkan mimpi kita, lewat orang lain yang kita cintai. Mimpi Carter digenapkan oleh Edward. Hingga Edward akhirnya mencium cucunya (dari anak perempuan yang lama tak dia temui) yang disebutnya "gadis paling cantik se dunia"; bisa mengantar Carter hingga ke pemakaman dan mewujudkan bucket list-nya, walau Carter adalah perfect stranger. Endingnya, abu mereka mereka disimpan dalam kaleng kopi luwak, di puncak Himalaya, di bawah sebuah gua batu yang menghadap pemandangan paling luar biasa.
Saya -mungkin- tak seberuntung Carter Chambers yang bertemu Edward Cole, hingga "bucket list" nya bisa terwujud sebelum hayatnya. Tapi saya juga memliki "bucket List", dan saya bekerja keras untuk itu. Membantu orang di sekitar saya mewujudkan mimpi mereka, barangkali itu hal paling sederhana yang bisa saya lakukan. Tapi bukankah mimpi mereka juga pasti terhubung dengan mimpi kita ?
Dan saya akan tetap bekerja keras untuk itu, semoga juga Anda begitu.
Comments
Post a Comment