Suatu kali, seorang saudara datang bertamu ke rumah, beserta keluarganya. Tepat sebelum kami berangkat ke Jepang.
Melihat ada empat koper di ruang tengah (sebenarnya tak tepat benar disebut ruang tengah, karena di rumah kami tak ada sekat yang memisahkan antar ruangan, alias blong-blongan) dia bertanya kami mau pergi mana?
"Ke Jepang, kata kami. Semacam backpacking-an",Jawab saya.
Dia heran. "Kenapa uang nggak dipakai buat benerin rumah, mengadakan perabotan yang bagus atau lebih baik lagi untuk beli rumah baru lagi ketimbang "dibuang-buang" buat jalan-jalan.
Saya tertawa. "Di rumah ini kami hanya bertiga, tadinya berempat tapi si sulung sudah kost di lain kota. Sebentar lagi mungkin si bungsu juga akan keluar dari rumah pergi kuliah ke luar kota, kami akan tinggal berdua".
Kami hanya berada di rumah tak lebih 12 jam per hari. Fungsi rumah buat kami adalah tempat kami berteduh, dan menemukan kehangatan. Dengan bentuk serta kondisi yang coreng-moreng penuh bopeng seperti saat ini, fungsi itu sudah sangat terpenuhi.
"Malah suatu saat nanti, kalau saya tinggal berdua dengan istri saya, semua perabot akan kami jual, kecuali buku-buku beserta rak-nya",kata saya.
Nampak tak menemukan kesepahaman, kami sama-sama diam.
Semalam, saya menerima buku ini, Soliloqui Sepeda yang ditulis oleh kakak Senior saya di Republika dan Tempo, mas Purwanto Setiadi.
Ini adalah, mas Pur menyebutnya, rampaian catatan pengalaman, kesan dan angan-angan dari seorang yang jatuh cinta lagi pada sepedanya.
Tepat empat tahun sebelum pensiun, mas Pur memutuskan menjual mobilnya dan pergi kemana-mana dengan sepeda.
Tak makan waktu lama, dari jam 7 hingga 11 malam saya kunyah buku yang renyah ini, enak dibaca dan perlu sebagaimana slogan kantor tempat kami bekerja dulu.
Di halaman 33-34 saya menemukan serangkaian kalimat yang pas banget dengan argumentasi saya pada saudara yang bertamu tempo hari.
Kalimat bagaimana mas Pur menikmati (fungsi) sepedanya, saya kutipkan :
"... Secara realistis, untuk sepeda yang saya punya, saya toh sudah menggesernya ke urutan kedua dan seterusnya. Saya justru menemukan kenyamanan dalam ketidakrapian, ketidaksempurnaannya.
Saya merasa di situlah tanda bahwa saya tak membiarkan sepeda saya lebih banyak menganggur, atau hanya berfungsi sebagai pajangan. Seperti politikus yang dipuja-puja dan dipromosikan sebagai pemimpin, sedangkan yang dia lakukan untuk membuktikan hal itu sangat sedikit-kalaupun nihil sama sekali. Atau seperti seseorang yang ditahbiskan sebagai ulama, padahal tindak-tanduknya sama sekali tak mencerminkan watak yang melekat pada sebutan itu..."
Hidup dengan pendekatan fungsi, itu yang saya tangkap. Dan saya setuju.
Terima kasih mas Pur, bukunya sangat mencerahkan dan menguatkan.
Melihat ada empat koper di ruang tengah (sebenarnya tak tepat benar disebut ruang tengah, karena di rumah kami tak ada sekat yang memisahkan antar ruangan, alias blong-blongan) dia bertanya kami mau pergi mana?
"Ke Jepang, kata kami. Semacam backpacking-an",Jawab saya.
Dia heran. "Kenapa uang nggak dipakai buat benerin rumah, mengadakan perabotan yang bagus atau lebih baik lagi untuk beli rumah baru lagi ketimbang "dibuang-buang" buat jalan-jalan.
Saya tertawa. "Di rumah ini kami hanya bertiga, tadinya berempat tapi si sulung sudah kost di lain kota. Sebentar lagi mungkin si bungsu juga akan keluar dari rumah pergi kuliah ke luar kota, kami akan tinggal berdua".
Kami hanya berada di rumah tak lebih 12 jam per hari. Fungsi rumah buat kami adalah tempat kami berteduh, dan menemukan kehangatan. Dengan bentuk serta kondisi yang coreng-moreng penuh bopeng seperti saat ini, fungsi itu sudah sangat terpenuhi.
"Malah suatu saat nanti, kalau saya tinggal berdua dengan istri saya, semua perabot akan kami jual, kecuali buku-buku beserta rak-nya",kata saya.
Nampak tak menemukan kesepahaman, kami sama-sama diam.
Semalam, saya menerima buku ini, Soliloqui Sepeda yang ditulis oleh kakak Senior saya di Republika dan Tempo, mas Purwanto Setiadi.
Ini adalah, mas Pur menyebutnya, rampaian catatan pengalaman, kesan dan angan-angan dari seorang yang jatuh cinta lagi pada sepedanya.
Tepat empat tahun sebelum pensiun, mas Pur memutuskan menjual mobilnya dan pergi kemana-mana dengan sepeda.
Tak makan waktu lama, dari jam 7 hingga 11 malam saya kunyah buku yang renyah ini, enak dibaca dan perlu sebagaimana slogan kantor tempat kami bekerja dulu.
Di halaman 33-34 saya menemukan serangkaian kalimat yang pas banget dengan argumentasi saya pada saudara yang bertamu tempo hari.
Kalimat bagaimana mas Pur menikmati (fungsi) sepedanya, saya kutipkan :
"... Secara realistis, untuk sepeda yang saya punya, saya toh sudah menggesernya ke urutan kedua dan seterusnya. Saya justru menemukan kenyamanan dalam ketidakrapian, ketidaksempurnaannya.
Saya merasa di situlah tanda bahwa saya tak membiarkan sepeda saya lebih banyak menganggur, atau hanya berfungsi sebagai pajangan. Seperti politikus yang dipuja-puja dan dipromosikan sebagai pemimpin, sedangkan yang dia lakukan untuk membuktikan hal itu sangat sedikit-kalaupun nihil sama sekali. Atau seperti seseorang yang ditahbiskan sebagai ulama, padahal tindak-tanduknya sama sekali tak mencerminkan watak yang melekat pada sebutan itu..."
Hidup dengan pendekatan fungsi, itu yang saya tangkap. Dan saya setuju.
Terima kasih mas Pur, bukunya sangat mencerahkan dan menguatkan.
Comments
Post a Comment