
Dzul meneruskan bengkel sepeda yang didirikan kakaknya bentuknya lebih mirip bedeng : rasanya sejak tahun 2009-2010 an. Posisinya pas di seberang gerbang kompl...eks tempat saya tinggal. Karyawan bengkelnya ada tiga, semua lelaki setengah baya yang "lebih tua" darinya.
Sabtu kemarin, seperti biasa, ada duit lebih buat "ngoprek" sepeda, saya menyambanginya. Sambil "ndeprok" beralas kardus bekas di depan etalase kami ngobrol.
Dia sedang mengerjakan proyek : bikin sepeda MTB untuk seorang pelanggan yang tinggal tak jauh dari kompleks saya. Ya bikin sepeda. Dia rakit rangka dari pipa "seamless", mengelas dan mengecatnya dengan (sangat) rapi. Dari ceritanya, semua dilakukan secara otodidak. "Bujetnya lima juta (rupiah) pak. Tapi sama saya, ini bisa dibikin kayak sepeda yang harga sepuluh juta di toko",klaimnya.
Bedengnya tempatnya bekerja, saya lihat tak pernah sepi. Setidaknya satu setengah jam saya ada di situ, keluar masuk pelanggan dari sekedar benerin rem, servis sampai pasang aksesori sepeda. Dari interaksinya dengan para pelanggan, dia seperti sudah akrab dengan mereka.
"Ini lagi bangun rumahnya Abah di belakang pak",jawabnya saat saya tanya duit hasil ngebengkel buat apa.
Seminggu sebelumnya, saya ketemu Dzal (sebut saja begitu). Sarjana S-2 dari Universitas tempat saya belajar dulu. Dia melamar pekerjaan setelah melihat ada lowongan kerja di tempat saya.
Dzal tadinya mengambil program D-3, memutuskan mengambil S-1 karena melihat peluang sarjana S-1 lebih bisa bersaing di dunia kerja. Lulus S-1 dia mencari pekerjaan, dan karena tak kunjung dapat kerja, dia memutuskan meneruskan studi S-2.
Kisahnya tak berhenti sampai di situ. Lulus S-2 dia mencoba mencari pekerjaan ke sana-kemari, ikut pelatihan sana-sini. Hingga ketemu saya siang itu.
"Saya mau coba-coba dulu di sini pak. Sambil menunggu panggilan lamaran saya untuk jadi dosen di Universitas XXXX",katanya. Dan saya putuskan tak menerima dia di tempat saya, karena memang tak tempat buat orang coba-coba.
Dzul dan Dzal tentu tak pantas dibandingkan seperti apel dengan apel. Hanya mereka berdua sama-sama manusia yang kebetulan berbeda cara memandang hidup.
Yang satu menciptakan "Titik (tidak bisa) Balik"-nya, yang satu (sekedar) menyimpan harapan besar dengan tidak melakukan apa-apa.
Comments
Post a Comment