Skip to main content

DZUL dan DZAL

Kenalkan, namanya Dzul. Nomor teleponnya ada di nota yang saya foto itu. Umurnya belum genap 19 tahun, pendidikan tak beres SMA. Tapi -saya kira- goweser alias pesepeda yang biasa melewati trek Cimahpar, Sentul atau Bukit Pelangi tahu namanya, minimal tahu dimana letak bengkel sepeda yang dimilikinya.

Dzul meneruskan bengkel sepeda yang didirikan kakaknya bentuknya lebih mirip bedeng : rasanya sejak tahun 2009-2010 an. Posisinya pas di seberang gerbang kompl...eks tempat saya tinggal. Karyawan bengkelnya ada tiga, semua lelaki setengah baya yang "lebih tua" darinya.

Sabtu kemarin, seperti biasa, ada duit lebih buat "ngoprek" sepeda, saya menyambanginya. Sambil "ndeprok" beralas kardus bekas di depan etalase kami ngobrol.

Dia sedang mengerjakan proyek : bikin sepeda MTB untuk seorang pelanggan yang tinggal tak jauh dari kompleks saya. Ya bikin sepeda. Dia rakit rangka dari pipa "seamless", mengelas dan mengecatnya dengan (sangat) rapi. Dari ceritanya, semua dilakukan secara otodidak. "Bujetnya lima juta (rupiah) pak. Tapi sama saya, ini bisa dibikin kayak sepeda yang harga sepuluh juta di toko",klaimnya.

Bedengnya tempatnya bekerja, saya lihat tak pernah sepi. Setidaknya satu setengah jam saya ada di situ, keluar masuk pelanggan dari sekedar benerin rem, servis sampai pasang aksesori sepeda. Dari interaksinya dengan para pelanggan, dia seperti sudah akrab dengan mereka.
"Ini lagi bangun rumahnya Abah di belakang pak",jawabnya saat saya tanya duit hasil ngebengkel buat apa.

Seminggu sebelumnya, saya ketemu Dzal (sebut saja begitu). Sarjana S-2 dari Universitas tempat saya belajar dulu. Dia melamar pekerjaan setelah melihat ada lowongan kerja di tempat saya.

Dzal tadinya mengambil program D-3, memutuskan mengambil S-1 karena melihat peluang sarjana S-1 lebih bisa bersaing di dunia kerja. Lulus S-1 dia mencari pekerjaan, dan karena tak kunjung dapat kerja, dia memutuskan meneruskan studi S-2.

Kisahnya tak berhenti sampai di situ. Lulus S-2 dia mencoba mencari pekerjaan ke sana-kemari, ikut pelatihan sana-sini. Hingga ketemu saya siang itu.

"Saya mau coba-coba dulu di sini pak. Sambil menunggu panggilan lamaran saya untuk jadi dosen di Universitas XXXX",katanya. Dan saya putuskan tak menerima dia di tempat saya, karena memang tak tempat buat orang coba-coba.

Dzul dan Dzal tentu tak pantas dibandingkan seperti apel dengan apel. Hanya mereka berdua sama-sama manusia yang kebetulan berbeda cara memandang hidup.
Yang satu menciptakan "Titik (tidak bisa) Balik"-nya, yang satu (sekedar) menyimpan harapan besar dengan tidak melakukan apa-apa.

Yang satu membuat terobosan, yang satu menunggu di perempatan.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG