“Saya mulai tadinya bertanya-tanya, mengapa kebanyakan
mantan karyawan atau teman sejawat saya, setelah pensiun tak lama kemudian
meninggal dunia. Padahal mereka dulu
orang-orang yang giat, yang sehat hidupnya,”begitu saja dia membuka
pembicaraan.
Tadi pagi, saat cericip burung meramaikan halaman belakang sebuah
hotel di Bogor, yang sekaligus sebuah restoran taman, begitu saja kami bertemu
dan berbincang panjang. Pak Gunawan,
usianya 67 tahun, baru dua tahun lalu pensiun dan memilih tak tinggal diam saja
di rumah. Pagi itu, kami dikumpulkan
oleh sebuah perusahaan Asuransi asing yang menjadi mitra kami untuk diberikan
banyak pencerahan. Matahari masih belum
garang, saat beliau melanjutkan ceritanya.
“Saya percaya, bahwa lahir, jodoh dan mati sudah ada yang
menggariskan. Tapi saya percaya, walau
sudah digariskan, kita harus selalu mempersiapkan,”terangnya dengan serius.
Sambil menyendok nasi, saya mendengarkan cerita hidupnya.
DIA, PAK GUN
Dia, pak Gun : saya kemudian memanggilnya begitu, adalah
ayah dari empat orang anak laki-laki.
Tigapuluh tahun karirnya dihabiskan di dunia farmasi, dia bekerja untuk
sebuah perusahaan farmasi yang berkantor pusat di Milan, Italia. Sebelum pensiun, dia memimpin operasional
marketing perusahaan itu dan membawahi delapan negara di region Asia
Pasifik. Sebuah jabatan yang bukan
main-main. Tapi wajahnya, saya lihat,
datar saja seolah tak ingin membanggakan masa lalunya. Seolah itu sudah lewat, dan biasa saja. Dia sejenis makhluk internasional, yang
mungkin karena tuntutan pekerjaan, dia menjadi tak jenak hanya berada di negara
kelahirannya : Indonesia.
Anaknya empat orang.
Tiga orang bersekolah dan bekerja di Amerika, dan si bungsu di
Australia. Istrinya adalah wanita aktif
di lingkungannya. Senam, pengajian,
organisasi sosial adalah cara istrinya membunuh waktu. Menjadi agen asuransi, di usianya ini, adalah
cara pak Gun membunuh waktu.
“Anda tahu, mana negara di Asia Tenggara ini yang paling
banyak dikunjungi turis,” tanyanya mengagetkan saya. Tak siap dengan pertanyaan mendadak itu, saya
gelalagapan. “Singapura,”dia menjawab sendiri pertanyaannya. Singapura setiap tahun dikunjungi tak kurang
dari 25 juta wisatawan mancanegara, jauh lebih banyak dari penduduknya
sendiri. Singapura tak punya pantai yang
indah, dia tak punya pulau-pulau yang eksotis, tak punya akar budaya dan bahasa
yang beraneka rupa, tak punya batik, tak punya ukiran, tak punya apa-apa. Bandingkan dengan Indonesia, negara kita
tercinta, dengan ribuan pulau plus beraneka ragam kelebihan yang dimiliki yang
“hanya” dikunjungi tak sampai sepuluh juta wisman.
Singapura tak punya apa-apa, dulu. Tapi, kata dia, Singapura punya visi. Mentalnya sebagai bangsa ‘kecil” adalah
mental pemenang. Dia tahu, bahwa air
yang dia pakai harus dia beli dari negara tetangganya. Mengikat kontrak hingga tahun 2064, Sebuah
pipa raksasa mengalirkan berjuta galon air dari Johor Baru ke negeri kecil
ini. Tapi Singapura tak berhenti, dia
ciptakan instalasi-instalasi pemurnian air dari air laut dan air limbah menjadi
air yang layak konsumsi.

Mereka tak punya pabrik, tapi dia tahu, tetangganya yang
penduduknya banyak, membutuhkan aneka ragam barang dari luar negeri. Maka dia ciptakan pelabuhan yang terbesar,
paling ramai, dengan sistem paling canggih di dunia. Dia tahu, dengan pelabuhan yang ramai, maka
bisnis akan banyak bergerak, Singapura cipatakan bank-bank yang sangat hebat, kelas dunia. Dia ciptakan bandara paling hebat, dengan
maskapai penerbangan nomor wahid, karena bisnis yang cepat membutuhkan mobilisasi
yang cepat, efisien dan nyaman.
Saat orang datang berbisnis, mereka akan mendapatkan
pengalaman berada di Singapura. Dan
Singapura menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Diciptakannya rasa aman dan nyaman dengan
berbagai macam peraturan dan denda.
Berjalan kaki di Orchard saat tengah malam tak akan menjadi sebuah perjalanan
untuk “olahraga jantung”, yang menakutkan karena takut ditodong, atau
dibegal. Aman adalah kata kunci. Maka, para pebisnis merasa harus kembali ke
negeri “sebesar kutu” ini lagi dan lagi, malahan beserta keluarga.
Sambil menyeruput air kepala muda, menyendok potongan
potongan kelapanya, pak Gun meneruskan.
“Bila anda seorang pemimpin negara yang dihadapkan pada kenyataan di
atas, apa yang akan anda lakukan. Para pebisnis : membawa uang dan keluarganya datang, maka
anda harus membuat uang mereka keluar dari kantong dan masuk ke kantong
anda. Betul?”tanyanya tiba-tiba. Maka di lahannya yang terbatas, mereka buat
kebun raya yang rapi, apik, bersih.
Mereka urug laut untuk membangun wahana permainan kelas dunia. Mereka gencar promosikan kebun binatang, yang
luasnya bahkan bila dibandingkan ragunan, tak ada apa-apanya.
Maka bayangkan, sebuah negara yang berhasil “menyedot” uang
dari berbagai sudut : pelabuhan, penerbangan, pariwisata dan pasti
...belanja.
WARGA DUNIA KELAS DUA
“Saya sudah berkeliling dunia, saya bekerja di delapan
negara yang berbeda. Dan saya sedih
terus merasakan sebagai warga negara dunia kelas dua,”keluhnya. Bayangkan, turis “backpacker” dengan kaos dan
celana pendek lusuh kita terima di bandara negara kita dengan suka cita. Mereka tak perlu antre berpanas mengurus
visa. Cukup keluar duit Rp 250 ribu,
mereka sudah bisa leluasa mencicipi Indonesia.
Di saat orang kita sendiri belum pernah pergi kemana-mana, bahkan di
pantai yang jaraknya paling 100 kilometer dari rumah kita. Sedangkan kita, bila
ingin ke Eropa harus berpeluh melalui berbagai wawancara untuk mendapatkan
visa, melampirkan copy isi kocek (rekening) kita, hingga Paspor yang tak boleh
enam bulan menjelang kedaluarsa. Belum lagi, kadang-kadang, karena melihat penampilan
dan muka kita (plus sebagian karena : nama), kita harus menjalani pemeriksaan
ekstra, seolah kita teroris atau orang miskin yang mau minta uang ke sana.
Pak Gun berhenti, tercenung. “Kita dididik untuk salah
memahami arti bersyukur,”katanya. Bersyukur
sering diartikan pasrah dan tak melakukan apa-apa. Kita kurang terbiasa bicara VISI. Kira sering menertawakan orang yang kita
anggap “MIMPI”-nya tinggi. Kita
dibiasakan bahwa berfikir “luar biasa” adalah sesuatu yang aneh, bahkan
tabu. Bayangkan, saya membaca sebuah
perdebatan di sosial media, ketika ada sesorang memposting foto pemuda bertato
sedang sholat di masjid. Komentar yang
muncul bukan dukungan atas kegiatanya melakukan sholat, tapi lebih banyak
menggunjingkan tatonya. Bukan pahala yang
kita dapatkan, paling tidak dari bergunjing saja kita sudah berdosa.
Mengerikan, ketika orang lain sudah berfikir apa yang ingin
mereka buat untuk anak dan cucu mereka, kita masih berkutat pada pergunjingan,
penghakiman...atau paling ringan berdebat, bersilat kata hanya untuk
menunjukkan “saya benar, dia salah”.
Saking sibuknya berdebat, mereka lupa melihat betapa hebatnya apa yang
telah mereka miliki. Mereka tidak
piknik, tidak membuka pikiran.
Alasannya, tak punya cukup uang untuk melakukannya. Sementara, anak-anak muda “gembel” berkulit
bule datang dari negaranya ke sini, hanya bermodal peta, sedikit uang dan rasa
ingin tahu yang besar. Kita dibesarkan
dengan “Mental Kalah, Mental Miskin”.
“Maka saya mulai tahu mengapa kebanyakan orang setelah
pensiun hidupnya tak lama. Mereka
terlalu lama hidup dalam rutinitas yang sama.
Saat pensiun, mereka menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Mereka tak siap untuk sesuatu yang
berbeda-sesuatu yang di luar kebiasaan dan secara mental kalah. Mungkin, selain urusan ajal, itulah yang
mempercepat proses menjadi uzur, pikun
dan sirna”,kata Pak Gun, sebelum kami bergegas masuk mengikuti sesi training
berikutnya.
Cericip burung sudah tak lagi terdengar mungkin mereka sudah
sibuk mencari makanannya, matahari sudah gagah memancarkan sinarnya. Embun sudah mulai sirna, saya berkeringat
mendengar pak Gun bercerita .*)Dimuat di Majalah Quantum Health, September 2015
Comments
Post a Comment