Suara ketawa keras, rambut sudah memutih, tapi kerasnya jabatan tangan tak bisa menyembunyikan semangatnya. Logat jawanya yang "medhok" tak bisa menutupi keramahannya pada setiap pembeli ban di tokonya, tak terkecuali saya.
Kemarin, saya ketemu om Benny (begitu dia biasa disapa oleh pelanggannya) di toko bannya di Serpong. Dari ceritanya, lebih separuh usia dia habiskan di toko ban ini. Seorang padagang sejati. Tentu, masa manis dan pahit sudah dilewatinya, jalan menanjak dan menurun tajam.
Kemarin dia bercerita pada saya, seorang pelanggan baru yang seolah sudah lama diakrabinya. Bahwa dunia sudah berubah sedemikian pesatnya. Bisnis ban yang digelutinya sudah tak lagi manis sebagaimana dulu ketika mobil tak sebanyak sekarang. Persaingan ketat, keuntungan makin tak seberapa. "Yang penting buat om, barang bisa keluar cepat dalam jumlah banyak, margin kecil tak apa-apa," ujarnya, dan ini juga pelajaran sering saya dengar dari kebanyakan pedagang yang sudah malang melintang di dunianya.
Cerita dari Toko Ban |
"Sepuluh tahun lalu, keuntungan menjual satu ban bisa sampai Rp 100.000,-, kini tak bisa lagi. Harga ban makin mahal, keuntungan makin ciut. Yang penting perjuangan saya tiap hari adalah : bisa menutup bunga bank (atas pinjaman modal yang dia ambil), membayar gaji karyawan dan untuk makan," katanya sambil tetap tersenyum. Dia meneruskan cerita,"Dalam perjalanan waktu, saya mulai mengenal asuransi. Semua barang, termasuk toko, saya dan istri , saya asuransikan. Saya tak ingin kalau ada apa-apa, seperti kemalingan, kebakaran atau saya sakit jadi menyusahkan anak-anak saya".
Stok ban di tokonya nilainya mencapai Rp 1.5 Milyar, katanya kemarin. Saya percaya dia jujur bila melihat tumpukan ban di dalam tokonya. "Saya sisihkan Rp 5 juta sebulan untuk membayar semua premi asuransi, supaya pengorbanan saya sepadan," ujarnya. Dia lanjutkan,"Rasanya agak konyol saya bertaruh "uang besar" saya hanya untuk berhemat "uang kecil". Itu kira-kira kata yang saya ingat darinya kemarin.
Hanya saja, ketika saya ajak ngobrol soal karyawannya yang hanya 4 orang, dia berubah sendu. Dia bilang," Itulah yang kadang saya tak mengerti, om baru saja "kehilangan" dua karyawan. satu orang "dibajak" toko baru di sebelah dengan iming-iming gaji naik Rp 200ribu, satu lagi memilih nganggur saat proposal kenaikan gajinya (Rp 1 juta sebulan) saya tolak". Sambil melihat ban mobil saya terpasang, dia melanjutkan,"Saya memikirkan mereka, saya pengen menaikkan gaji mereka, tapi situasinya memang tak bisa. Saya harus memikirkan dan menyelamatkan banyak hal : bisnis saya, toko saya, pelanggan saya, keluarga saya dan mereka..karyawan saya. Tapi mereka sulit mengerti. Mereka memilih mengambil resiko yang pasti."
Pungkasnya, sambil menghela nafas," Begitulah manusia.".
Om Benny, apa yang kita hadapi sama. Sayang ban mobil saya cuma empat, saya tak bisa sering-sering ganti ban untuk belajar lagi dari Om Benny.
Comments
Post a Comment