Skip to main content

Dia berkaos lusuh... (Inspirasi dari Cianjur)

Cuaca tak bersahabat senin lalu, hujan terus menerus turun menjelang tahun baru. Hawa yang tercium adalah hawa liburan, rencana saya pagi itu menuju Cianjur harus ditata ulang, karena jalur puncak sudah mulai macet total.

Saya mengambil jalur Jonggol-Cariu menuju Cianjur. Lebih jauh, lebih menantang.

Pak Wahyu (namanya saya samarkan saja seperti itu) belum pernah saya kenal sebelumnya. Kami hanya berkirim e-mail untuk bertukar sapa. Dia hanya sampaikan di emailnya pertama, bahwa dia ingin mengikutsertakan istri dan dua anaknya dalam program asuransi kesehatan syariah. Dia juga sampaikan, dia sudah berkirim e-mail ke lima perusahaan asuransi lain yang menyediakan layanan produk syariah sebagai pembanding. Saya pun merespon keinginan beliau dengan baik.

Perjalanan Jonggol-Cariu-Cikalong tak terlalu lancar. Jalan licin karena hujan dan sisa lempung yang ditumpahkan truk-truk tanah raksasa, ditambah lubang sepanjang jalan membuat perjalanan menjadi seperti dua kali lipat lebih panjang. Tapi, perjalanan untuk sebuah misi bukankah selalu menyenangkan ? Rinai gerimis seperti denting perkusi, dan suara wiper mobil ibarat gesekan biola.

Saat saya membalas emailnya, saya berikan penawaran paket fasilitas keluarga, sehingga tak perlu anak-anak membayar biaya kontribusi asuransi syariah kesehatannya. Cukup ditanggung orangtua, sang anak langsung ikut menikmati fasilitasnya. Biaya kontribusi yang saya tawarkan cukup besar, setidaknya untuk ukuran teman-teman saya yang kerja di kantor dan sudah tawarkan program yang sama sebelumnya tapi belum bisa ikut karena belum punya bujetnya, tapi dia tak keberatan. Dia ingin memberikan fasilitas terbaik untuk anak dan istrinya, serta mengajak bertemu saya di Cianjur.

Dalam perjalanan, di mobil, saya pikir akan menemui sebuah seorang bos besar di rumah gedong besar (mengingat dia langsung setuju biaya kontribusi asuransi syariah yang "besar" itu). Alamatnya saya simpan, lengkap dengan ancar-ancarnya. Belakang stadion.

Betapa kagetnya saya, rumah yang tertera dalam alamat, mungkin hanya mirip rumah kontrakan kelas Rp 500ribuan per bulan di bogor. Timbul syak wasangka dalam hati, tapi karena sudah terlanjur sampai Cianjur tak mungkinlah saya balik lagi.

Pak Wahyu menyambut saya di depan pintu, di ruang tamu yang tanpa perabotan tapi berisi tumpukan dokumen yang disusun rapi hingga menyentuh atap. Lalu dia bercerita, bahwa dia menjalani bisnis yang orang lain malas untuk mengerjakannya, karena terlalu sepele, terlalu mudah. Mengisi kolom-kolom isian sebuah dokumen milik sebuah kantor swasta dan mendaftarkannya ke sebuah instansi pemerintah. Hanya perlu kesabaran, ketelitian karena saking sepele dan mudahnya.

Tapi, satu bulan, dia harus membereskan ribuan dokumen, dengan pembayaran -yang belakangan dia sebut OMZET USAHA - Rp 600juta per bulan.

Wah.

Pak Wahyu seumur saya, empatpuluhan tahun. Penampilannya dibawah level biasa-biasa saja, kaosnya cenderung lusuh, sama seperti celana jins yang dipakainya. Sejak SMA sudah tak mau bekerja ikut orang jadi pegawai. Dia memilih mencoba-coba berbagai macam usaha. Dia belajar ekspor impor dari seorang mentor orang India, belajar soal seluk beluk pengurusan dokumen dari seorang notaris. Belajar soal cetak mencetak, hingga akhirnya punya percetakan sendiri. Belajar tentang cara memasang kabel telepon rumah, hingga bisa mengakuisisi sebuah perusahaan kontraktor pemasangan kabel telepon rumah.

Tapi hidup adalah perjalanan pencarian, demikian juga pak Wahyu. Semua usahanya sempat moncer, namun karena kebosanan dan lemahnya pengawasan, satu demi satu usahanya redup dan tutup. Hingga ketemulah usaha yang satu ini : bisnis mengisi dokumen.

Pencariannya, melewati satu usaha dan usaha lainnya, membawa hasil.

Maka senin yang gerimis kemarin, pak Wahyu menandatangani Surat Keikusertaan Program Asuransi Kesehatan Syariah untuk istri dan kedua anaknya. Biaya Kontribusinya per tahun senilai dua motor matic baru.

Dia hanya bilang, bahwa hidupnya adalah untuk belajar. Belajar adalah bagian dari pencarian. Dia belajar bahwa tak semua uang yang diperolehnya hari ini harus dihabiskan besok. Ikut serta dalam program ini, adalah bagian dari tanggung jawab dia untuk keluarga, dan untuk menabung.

Dia -pria berkaos lusuh ini - bilang,"Kelak dengan tabungan ini, saya lebih konsentrasi belajar dan melakukan pencarian-pencarian lain. Pencarian dan ketidakpastianlah yang menghidupkan obor semangat saya, namun memberi jaminan biaya bila keluarga saya sakit haruslah sebuah kepastian".

Maka saya terperangah. Teman-teman saya yang berdasi saja tak berfikir sampai sejauh itu.

Pak Wahyu, terimakasih kerendahan hatinya.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG