Skip to main content

"Mengapa" itu menjadi Sekop, "Mengapa Tidak" itu menjadi pisau

"...saat itu, lepas subuh,  saya terbaring lemas di tempat tidur setelah semalam divonis kanker kelenjar getah bening di tulang balakang akan "mematikan" kemungkinan untuk bisa berjalan dan berlari sebagaimana anak sebaya yang lain.  Hidup akan kuhabiskan di atas kursi roda.  
Saat itu saya baru menginjak 17 tahun, sedang hobi mendaki gunung dan menangkapi kupu-kupu untuk koleksi. Masa depan terasa gelap, hingga masuklah ayahku ke dalam kamar, dan duduk di pinggir tempat tidurku. Beliau hanya bilang," Karena sakitmu ini, pilihanmu hanya ada DUA.  Kamu berhenti, tidak melakukan apa-apa dan mungkin umurmu akan habis di kamar ini.  Kami orangtua tak bisa memaksa, kami akan menjalankan kewajiban kami agar kau tak kelaparan dan kehausan.
Tapi, engkau punya pilihan lain, kamu bisa terus menikmati hidupmu, dengan segala kesulitan yang mungkin akan kau alami.  Barangkali begitulah semua kehidupan, semua memiliki kesulitannya sendiri.  Ibarat kesulitan adalah mobil yang mogok di tanjakan, maka harus kau lakukan hanya mendorong, mendorong, dan mendorong mobil mogok itu hingga sampai ke tujuan... menikmati mendorong se-inci demi se-inci itulah yang harus kamu nikmati dan syukuri.   Dan Sekali lagi itu soal pilihan.
Maka, pagi itu, saya putuskan untuk bangun...saya dorong mobil mogok itu se-inci demi se-inci, dan di usia 41 tahun saya bisa menjadi CEO General Electric Indonesia, sebuah perusahaan kelas dunia..."

---------------

Kami semua, peserta Kick Off Meeting, tercenung dan serasa "tertampar" mendengar epilog dari Sharing yang disampaikan Dr Handry Satriago.  Dia masih muda, berkursi roda dan menjadi pimpinan termuda dalam sejarah  perusahaan multinasional papan atas : general Electric.  Dia, barangkali telah menelan segala kesulitan hidup sebagai orang yang "tak bisa leluasa melakukan aktivitas fisik" sebagaimana orang kebanyakan.

Maka lihatlah kita, kadang kita sering berkeluh kesah karena kesulitan hidup.  Mobil kita mogok, barangkali di lereng yang tak securam dialami Handry.  Sering keluh kesah itu kita "bagi-bagikan" di media sosial, seolah-olah kitalah orang paling susah sedunia.  

Bersama Dr Handry Satriago
Belajar Handry, cara dia mengeksplorasi dunia lah yang membuatnya "tetap hidup".  Dia dengan kritis selalu bertanya "mengapa" dan "mengapa tidak".  "Mengapa" ibarat sekop, dia adalah alat untuk menggali.  Dia akan menghidupkan daya kritis.  "Mengapa tidak" ibarat pisau, dia akan membantu mengupas, menciptakan sisi-sisi lain yang berbeda, dia menghidupkan kreativitas.

Hidup berorientasi pada penyelesaian masalah.  Menjadi kreatif.  Dalam segala pencarian jawaban itu, dipungutnya berbagai ilmu baru yang terus dibagikan, dalam forum-forum sharing seperti tadi pagi.  Itu menjadi ilmu yang bermanfaat, yang pahalanya tak akan putus walau kita sudah tak ada nyawa.

Maka, saya teringat catatan saya dulu soal Handry, dia seperti hidup dalam film Oblivion.  Dia semacam Dom Cobb, tapi dia bukan pencuri mimpi.   Maka, pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan pada hidup ini ?  Meratapi segala kesulitan dan tak melakukan apa-apa...ATAU tetap menggantung impian setinggi langit dengan kaki tetap berpijak bumi sehingga impian itu akan menjadi kenyataan dengan bekerja, bekerja dan bekerja...mendorong, mendorong dan mendorong.

Pertanyaannya, apa yang sudah kita bagikan pada ummat : keluh kesah atau inspirasi hidup ?  Itu soal pilihan.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG