CATATAN PERJALANAN. Selesai sudah satu perjalanan. Kami singgah di 12 kota, melintasi tujuh propinsi dan melahap 3270 kilometer. Kami mencatat, karena kami menolak lupa.
Ini bukan kali pertama kami "pulang" ke Padang, tepatnya ini adalah perjalanan kali ke tujuh. Tapi perjalanan kali ini sangat istimewa. Pertama, karena anak-anak sudah cukup besar untuk bisa mulai mencatat dan mencerna apa yang mereka temui di sawah, di pasar dan manusia dengan berbagai bahasanya. Kedua, karena kami sukses berkeliling sebagian sumatera barat, hampir 400 kilometer.
Tahun ini, kami menyambangi Padang, Bukittinggi -dan sempat menikmati kehangatan kota dingin ini tanpa macet, melintasi perbukitan Baso menuju Batusangkar. Berputar melalui Padang Panjang untuk kembali ke Padang. Kami tak melintasi Pariaman dn Danau Maninjau, karena sudah kami jelajahi du tahun lalu.
Kesimpulannya, Indonesia itu indah. Dan Kaya.
Sepanjang jalan, kami bercanda, berdialog dengan anak-anak. Mereka kini lebih terasa menjadi teman ketika mereka sudah bisa berdebat soal presiden baru dan bercerita soal Syahrino dengan baju model "tenda" dan adegan "I Feel Free"-nya. Mereka sudah fasih bicara soal sejarah Palestin, sebagaimana yang mereka baca di internet dan baca di google.
Mereka sudah makin dewasa. Di sepanjang kota-kota yang kami sempt berhenti, kami belajar sejarahnya. Kami melihat dan kami membaca.
Di Lampung mereka bertanya soal lambang daerah yang mirip ikat kepala, di Baturaja kami menyambangi sebuah masjid tua dengan menara buatan Belanda, di Bangko kami bertmu seorang tua dari Jawa yang sukses menjadi transmigran di sana, di Padang kami makan soto di Pasar dengan sepasang kakek nenek yang 45 tahun berdagang dengan cinta.
Di Bukittinggi, kami belajar bahwa "Bahagia itu Sederhana", menemukan kehangatan kota di bawah Jam Gadang : tanpa biaya, melewati Batusangkar kami harus berulangkali mengucap hamdallah melihat sungai yang bersih, sawah yang padinya menguning sepanjang garis cakrawala dan bukit-bukit yang berwibawa.
Sepotong mozaik yang luar biasa indahnya.
Dari perjalanan ini meeka belajar, bahwa kehidupan yang berdenyut tak hanya ada di Hongkong, Shanghai, Vietnam atau kota-kota di Jawa. Kami mencecap denyut kota Lahat, menyesap riuh Lubuk Linggau serta menikmati kemacetan panjang di Bandar Jaya. Tuhan secara adil membagi potensi rezekinya bahkan hingga menjadi kehidupan yang hangat di sebuah rumah bilik di tepi hutan Tebing Tinggi.
Perjalanan ini selain merekatkan, juga harus membuat "kaya". Dunia tak selebar pulau Jawa.
Tentu, perjalanan semacam ini memakan waktu dan biaya, itu karenanya kami mencatatnya. Kami percaya, kami tak akan jatuh miskin karenanya. Kami mencatat, supaya suatu saat kami bisa sedikit berhitung dan bersyukur, bagaimana Tuhan bekerja dengan tangan Nya memberikan rezeki lebih buat kami sekeluarga selain Uang : Waktu untuk belajar soal dunia.
Saya, dan istri akan segera beranjak tua. Kami tak bisa menolaknya. Tapi, anak-anak kami akan segera dewasa dan harus menaklukan dunia. Kami, barangkali bukan orangtua yang sanggup meninggalkan kekayaan super tambun sebagai warisan untuk mereka. Tapi kami ingin menjadikan mereka anak-anak yang tangguh dan bisa berkompetisi nanti di jamannya, dengan catatan-catatan perjalanan yang mereka buat bersama kami -orang tuanya.
Kami akan beranjak tua, tapi kami tak ingin berhenti melakukan perjalanan-perjalanan selanjutnya, dan membuat catatan bersama mereka : anak-anak yang beranjak dewasa.
Buku catatan perjalanan ini masih banyak lembaran kosongnya, segea kami isi drngan catatan berikutnya. Bismillah.
Ini bukan kali pertama kami "pulang" ke Padang, tepatnya ini adalah perjalanan kali ke tujuh. Tapi perjalanan kali ini sangat istimewa. Pertama, karena anak-anak sudah cukup besar untuk bisa mulai mencatat dan mencerna apa yang mereka temui di sawah, di pasar dan manusia dengan berbagai bahasanya. Kedua, karena kami sukses berkeliling sebagian sumatera barat, hampir 400 kilometer.
Tahun ini, kami menyambangi Padang, Bukittinggi -dan sempat menikmati kehangatan kota dingin ini tanpa macet, melintasi perbukitan Baso menuju Batusangkar. Berputar melalui Padang Panjang untuk kembali ke Padang. Kami tak melintasi Pariaman dn Danau Maninjau, karena sudah kami jelajahi du tahun lalu.
Kesimpulannya, Indonesia itu indah. Dan Kaya.
Sepanjang jalan, kami bercanda, berdialog dengan anak-anak. Mereka kini lebih terasa menjadi teman ketika mereka sudah bisa berdebat soal presiden baru dan bercerita soal Syahrino dengan baju model "tenda" dan adegan "I Feel Free"-nya. Mereka sudah fasih bicara soal sejarah Palestin, sebagaimana yang mereka baca di internet dan baca di google.
Mereka sudah makin dewasa. Di sepanjang kota-kota yang kami sempt berhenti, kami belajar sejarahnya. Kami melihat dan kami membaca.
Di Lampung mereka bertanya soal lambang daerah yang mirip ikat kepala, di Baturaja kami menyambangi sebuah masjid tua dengan menara buatan Belanda, di Bangko kami bertmu seorang tua dari Jawa yang sukses menjadi transmigran di sana, di Padang kami makan soto di Pasar dengan sepasang kakek nenek yang 45 tahun berdagang dengan cinta.
Di Bukittinggi, kami belajar bahwa "Bahagia itu Sederhana", menemukan kehangatan kota di bawah Jam Gadang : tanpa biaya, melewati Batusangkar kami harus berulangkali mengucap hamdallah melihat sungai yang bersih, sawah yang padinya menguning sepanjang garis cakrawala dan bukit-bukit yang berwibawa.
Sepotong mozaik yang luar biasa indahnya.
Dari perjalanan ini meeka belajar, bahwa kehidupan yang berdenyut tak hanya ada di Hongkong, Shanghai, Vietnam atau kota-kota di Jawa. Kami mencecap denyut kota Lahat, menyesap riuh Lubuk Linggau serta menikmati kemacetan panjang di Bandar Jaya. Tuhan secara adil membagi potensi rezekinya bahkan hingga menjadi kehidupan yang hangat di sebuah rumah bilik di tepi hutan Tebing Tinggi.
Perjalanan ini selain merekatkan, juga harus membuat "kaya". Dunia tak selebar pulau Jawa.
Tentu, perjalanan semacam ini memakan waktu dan biaya, itu karenanya kami mencatatnya. Kami percaya, kami tak akan jatuh miskin karenanya. Kami mencatat, supaya suatu saat kami bisa sedikit berhitung dan bersyukur, bagaimana Tuhan bekerja dengan tangan Nya memberikan rezeki lebih buat kami sekeluarga selain Uang : Waktu untuk belajar soal dunia.
Saya, dan istri akan segera beranjak tua. Kami tak bisa menolaknya. Tapi, anak-anak kami akan segera dewasa dan harus menaklukan dunia. Kami, barangkali bukan orangtua yang sanggup meninggalkan kekayaan super tambun sebagai warisan untuk mereka. Tapi kami ingin menjadikan mereka anak-anak yang tangguh dan bisa berkompetisi nanti di jamannya, dengan catatan-catatan perjalanan yang mereka buat bersama kami -orang tuanya.
Kami akan beranjak tua, tapi kami tak ingin berhenti melakukan perjalanan-perjalanan selanjutnya, dan membuat catatan bersama mereka : anak-anak yang beranjak dewasa.
Buku catatan perjalanan ini masih banyak lembaran kosongnya, segea kami isi drngan catatan berikutnya. Bismillah.
Comments
Post a Comment