Ini adalah sepuluh bulan yang menantang, sejak saya memutuskan masuk dunia asuransi akhir Mei 2013 lalu. Hingga saya membaca status seorang teman di media sosial tadi pagi.
Dengan bahasa -yang menurut saya - sinis dan sarkas, dia menceritakan kesuksesannya menolak seorang agen asuransi yang menawarinya sebuah produk asuransi syariah. Dengan lugas, dia menyebut agen asuransi itu sudah mendoakan dia celaka dan mati. Apa yang terjadi sebenarnya, wallahu'alam.
Tapi, saya saat ini berada di dunia itu. Dunia orang menerangkan dan menjual "manfaat" asuransi. Dan, belum pernah saya "diajarin" mendoakan calon klien celaka atau mati. Tak pernah. Kami -para financial consultant, demikian nama keren profesi keren ini - hanya diajari mengingatkan dan menerangkan.
.jpg)
Penolakan, itu wajar saja.
Bisa karena orang yang kita ingatkan tak bisa menerima kenyataan (terutama soal kenyataan bahwa dia pasti mati, dan saat dia mati dia harus meninggalkan warisan yang layak buat ahli warisnya). Bisa juga karena orang kita ingatkan tak cukup punya pengetahuan soal bagaimana memandang masa depan, bagaimana membaca data inflasi, bagaimana menghitung "nilai" dirinya di masa depan : di saat anak-anaknya membutuhkannya. Orang seperti ini biasanya tampil dalam bentuk, dia akan menjelma sebagai orang paling pandai sedunia (untuk menutupi ketidaktahuannya) atau dia tampil sebagai seorang tegas, yang selalu menjawab dengan gelelngan kepala.
Mungkin, bisa juga karena orang itu sudah sadar, tapi pendapatannnya sungguh tak mencukupi bahkan untuk memenuhi kebutuhan primernya. Jangan lagi berfikir asuransi, makan tiga kali sehari saja hanya dengan mie instant.
Maka, inilah jalan yang saya pilih. Saya memilih berbagi banyak cerita saja untuk anda. Karena saya percaya kata mentor dalam pelatihan setahun lalu," Banyak orang menolak asuransi saat dia (merasa) tak membutuhkan, tapi saat dia (sudah benar-benar membutuhkan) justru asuransi yang menolaknya". Saya ingat beliau dulu mengajak saya field training ke sebuah rumah sakit. Di sana, dia menunjukkan begitu banyak orang yang terlantar karena tak mampu membayar biaya rumah sakit. Di sana, saya menyaksikan bahwa saat sakit tanpa uang yang "banyak", rasanya sulit kita menjadi sehat kembali. Di rumah sakit, beliau juga menunjukkan bagaimana seorang istri histeris ditinggal mati suaminya. Bukan sekedar karena kematiannya, tapi kehidupannya bersama anak-anak tanpa warisan yang cukup dari orang yang mencari nafkah.
Tapi sudahlah, mungkin cerita ini terlalu romantis, mendayu-dayu. Bagaimana lagi, itu yang sebenarnya terjadi.
Dengan bahasa -yang menurut saya - sinis dan sarkas, dia menceritakan kesuksesannya menolak seorang agen asuransi yang menawarinya sebuah produk asuransi syariah. Dengan lugas, dia menyebut agen asuransi itu sudah mendoakan dia celaka dan mati. Apa yang terjadi sebenarnya, wallahu'alam.
Tapi, saya saat ini berada di dunia itu. Dunia orang menerangkan dan menjual "manfaat" asuransi. Dan, belum pernah saya "diajarin" mendoakan calon klien celaka atau mati. Tak pernah. Kami -para financial consultant, demikian nama keren profesi keren ini - hanya diajari mengingatkan dan menerangkan.
.jpg)
Penolakan, itu wajar saja.
Bisa karena orang yang kita ingatkan tak bisa menerima kenyataan (terutama soal kenyataan bahwa dia pasti mati, dan saat dia mati dia harus meninggalkan warisan yang layak buat ahli warisnya). Bisa juga karena orang kita ingatkan tak cukup punya pengetahuan soal bagaimana memandang masa depan, bagaimana membaca data inflasi, bagaimana menghitung "nilai" dirinya di masa depan : di saat anak-anaknya membutuhkannya. Orang seperti ini biasanya tampil dalam bentuk, dia akan menjelma sebagai orang paling pandai sedunia (untuk menutupi ketidaktahuannya) atau dia tampil sebagai seorang tegas, yang selalu menjawab dengan gelelngan kepala.
Mungkin, bisa juga karena orang itu sudah sadar, tapi pendapatannnya sungguh tak mencukupi bahkan untuk memenuhi kebutuhan primernya. Jangan lagi berfikir asuransi, makan tiga kali sehari saja hanya dengan mie instant.
Maka, inilah jalan yang saya pilih. Saya memilih berbagi banyak cerita saja untuk anda. Karena saya percaya kata mentor dalam pelatihan setahun lalu," Banyak orang menolak asuransi saat dia (merasa) tak membutuhkan, tapi saat dia (sudah benar-benar membutuhkan) justru asuransi yang menolaknya". Saya ingat beliau dulu mengajak saya field training ke sebuah rumah sakit. Di sana, dia menunjukkan begitu banyak orang yang terlantar karena tak mampu membayar biaya rumah sakit. Di sana, saya menyaksikan bahwa saat sakit tanpa uang yang "banyak", rasanya sulit kita menjadi sehat kembali. Di rumah sakit, beliau juga menunjukkan bagaimana seorang istri histeris ditinggal mati suaminya. Bukan sekedar karena kematiannya, tapi kehidupannya bersama anak-anak tanpa warisan yang cukup dari orang yang mencari nafkah.
Tapi sudahlah, mungkin cerita ini terlalu romantis, mendayu-dayu. Bagaimana lagi, itu yang sebenarnya terjadi.
Comments
Post a Comment