Skip to main content

Catatan dari derai hujan

Setiap pagi, suara gerbang pagar dibuka tepat pukul 04.50 pagi.  Kadang fajar di Bogor belum genap, sisa malam belum habis, matahari belum berniat muncul menjalankan tugasnya.  Setelah bergegas, terdengar suara mobil distarter, pintunya ditutup dan pergi : menuju kantor di Jakarta.  Senin hingga Jumat.  Dan itu, suara datang dari tetangga depan rumah saya.  Sebuah rutinitas yang mengagumkan

Ingatan saya bagai dilemparkan pada periode 1998-2006.  Itu rutinitasku juga saat itu.  Hidup itu harus bekerja, dan bekerja itu bangun jam empat pagi, bergegas mengejar kereta menuju kantor untuk bergegas lagi malam harinya menuju rumah.  Besok, sama saja.  Kalau mendengar cerita bahwa di neraka ada yang disiksa hingga luka-luka, kemudian luka itu sembuh untuk kemudian disiksa lagi dan seterusnya dan seterusnya... maka saya pernah berkesimpulan bekerja dengan rutinitas "edan" seperti itu seperti dicemplungkan di neraka.  Tapi itu pendapat saya.

Saya tulis catatan ini saat rehat siang menjelang sore di teras belakang rumah yang adem ditiup angin.  Anak-anak sedang tidur siang, sebentar lagi mereka akan mulai bangun, berisik dan berangkat les.  Mereka sudah tumbuh besar, dan alhamdulillah, saya ikut mendampingi mereka.  Saya mendampingi mereka sebagai Bapak, bukan sebagai sekedar pengamat atau kritikus mereka yang hadir "setengah lengkap" saat akhir minggu (oya, separuhnya biasanya disita oleh gajet).  Dan saya pikir, momen itu tak banyak dimiliki oleh "bapak-bapak" yang lain.  Saya beruntung, alhamdulillah.

Saya sudah tak lagi "bekerja ala disiksa di neraka".  Bila suka dikerjakan, jika tak suka ditinggalkan dulu.  Sederhana.

Saya tulis catatan ini sambil memikirkan langkah lanjut sebuah "pekerjaan besar" yang sedang saya kerjakan bersama istri .  "Pekerjaan besar"  yang kami ambil selagi kami masih punya cadangan nyali sebagai modal.  Sebentar lagi, mungkin, saat anak-anak mulai tumbuh dewasa, saat anak-anak membutuhkan banyak biaya untuk sekolahnya : nyali itu sudah tak lagi ada.  Kini masih ada, maka kami genjot tenaga.  Pekerjaan besar ini, tentu memerlukan pengorbanan besar.  Itu biasa.  Hal sulit adalah, meyakinkan diri bahwa keluar sementara dari zona nyaman untuk memulai "perjuangan baru".  Bukankan namanya "zona nyaman" selalu enak?

Persiapan pekerjaan besar ini hampir usai.  Beberapa saat ke depan pekerjaan besar ini sudah akan menggelinding dengan deras.  Harapanku, dia akan memberikan lebih banyak "bekal" buat "perjalanan" berikutnya.

Dan entah mengapa, saat menulis catatan ini : saya merasa mimpi sudah hampir selesai dan sisa waktu saya tak lagi banyak.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG