Kisah ini saya tuturkan seizin nasabah saya, Bapak R. Beliau adalah
seorang pengusaha kelas menengah, ‘single income’ artinya hanya dari
usahanya lah beliau mendapatkan income. Atau pendapatan.
Tahun lalu seperti tahun-tahun sebelumnya, pak R melakukan pengisian Form SPT 1770 untuk melaporkan Pajak Penghasilannya. Bedanya, tahun-tahun sebelumnya beliau tak mengisi sendiri SPT nya, namun meminta bantuan konsultan pajak. Dan di garis akhirnya selalu : nihil.
Tahun lalu, setelah mendapat penyuluhan dari Kantor Pajak, dia mengisi sendiri SPT nya secara elektronik. Dia laporkan semua harta, kewajiban, pajak yang telah disetor termasuk isi rekeningnya. Ternyata di garis akhir hasilnya : beliau ada kelebihan bayar pajak (karena ada pengurangan dari norma profesi dan PTKP).
Beberapa bulan lalu dia diminta hadir ke kantor pajak untuk klarifikasi atas permohonan restitusi pajaknya. Dan saat sesi klarifikasi, beliau diminta menyerahkan -salah satunya- print out buku rekening tabungannya.
Pak R memiliki beberapa rekening tabungan selain rekening yang dipakai untuk usaha. Uang dari pendapatan usaha dia pecah dalam tiga rekening terpisah. Untuk keperluan pribadi, tabungan pendidikan anak dan tabungan persiapan pensiun (hari tua)nya.
Dan petugas pajak meminta pak R print out uraian GTU (Gabungan Transaksi Umum) yang ada di semua rekening itu. Pak R tadinya menyanggupi, namun akhirnya batal karena biaya untuk cetak uraian GTU empat rekening itu mahal sekali. Di Bank Mandiri Rp 25.000 per lembar dan di BCA Rp 2.500 per lembar, dan dari empat rekening itu ada ratusan lembar.
Pak R sampaikan keberatannya ini pada petugas pajak, dan petugas pajak menyetujui pak R tak menyerahkan uraian GTU dengan syarat beliau setuju atas hasil pemeriksaan berdasar GTU yang ada di buku rekening.
Walhasil, beberapa bulan setelah itu, datang email dari petugas pajak yang menginformasikan bahwa alih-alih ada restitusi atas kelebihan bayar pajak, yang ada malahan pak R justru berhutang pajak dan mulai dikenakan denda 2% per bulan (sesuai Pasal 19 Ayat 1, UU no 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan).
Mengapa bisa begitu?
Ternyata, petugas pajak berpatokan bahwa setiap UANG yang MASUK ke rekening (di illustrasi : rekening A, B, C dan D) DIANGGAP sebagai PENDAPATAN. Tak melihat bahwa itu hanya perpindahan dari rekening lain yang dimiliki pak R (karena pak R belum bisa menjelaskan dengan data asal uang yang masuk ke Rekening B,C, dan D tersebut).
Jadi setiap GTU di kolom uang masuk
dianggap sebagai pendapatan yang harus dikenakan PPh. Kewajiban pak R
yang tadinya hanya membayar PPh berdasar GTU A (karena incomenya ya
hanya itu), menjadi berlipat karena ditambahkan GTU B, GTU C dan GTU D
yang notabene bukan income/penghasilan, hanya pemindahan dana.
Pak R sedang melakukan upaya banding. Tapi dari kasus beliau kita bisa belajar :
1. Pastikan bila memiliki banyak rekening, kita punya rincian transaksi atau uraian GTU nya. Sehingga mudah melakukan tracking dan penjelasan asal datangnya uang. Apakah itu memang pendapatan atau hanya pemindahan dana saja dari rekening pribadi lainnya.
2. Untuk para koordinator arisan atau pelaku bisnis JASTIP (Jasa Titip) juga makin bijak menggunakan rekeningnya untuk transit dana, apalagi bila jumlahnya sangat besar. Yang (berpotensi) dikenakan PPh adalah uang yang masuk ke rekening, dan bila sudah mulai berbunga maka bunganya akan kena PPh final 20% dari bunga tersebut.
3. Bijak memilih instrumen investasi. Menyimpan dana jangka panjang baik itu untuk pendidikan anak atau pensiun -salah satunya- bisa menggunakan instrumen Asuransi. Mengapa? Karena menurut pasal 4 ayat 3 UU no 36 tahun 2008 tentang PPh : pencairan dari klaim asuransi bukan merupakan penghasilan yang terkena pajak penghasilan.
Itu mengapa setelah mendengar penjelasan saya, pak R memindahkan rekening tabungan pendidikan anak dan jaminan hari tuanya ke produk Asuransi yang saya tawarkan sebagai asset baru perolehan tahun 2017. Tidak perlu biaya pencetakan uraian GTU, Bebas PPh atas bunga, dan bebas PPh saat pencairan.
Jadi, punya banyak rekening juga bisa bikin pening.
Tahun lalu seperti tahun-tahun sebelumnya, pak R melakukan pengisian Form SPT 1770 untuk melaporkan Pajak Penghasilannya. Bedanya, tahun-tahun sebelumnya beliau tak mengisi sendiri SPT nya, namun meminta bantuan konsultan pajak. Dan di garis akhirnya selalu : nihil.
Tahun lalu, setelah mendapat penyuluhan dari Kantor Pajak, dia mengisi sendiri SPT nya secara elektronik. Dia laporkan semua harta, kewajiban, pajak yang telah disetor termasuk isi rekeningnya. Ternyata di garis akhir hasilnya : beliau ada kelebihan bayar pajak (karena ada pengurangan dari norma profesi dan PTKP).
Beberapa bulan lalu dia diminta hadir ke kantor pajak untuk klarifikasi atas permohonan restitusi pajaknya. Dan saat sesi klarifikasi, beliau diminta menyerahkan -salah satunya- print out buku rekening tabungannya.
Pak R memiliki beberapa rekening tabungan selain rekening yang dipakai untuk usaha. Uang dari pendapatan usaha dia pecah dalam tiga rekening terpisah. Untuk keperluan pribadi, tabungan pendidikan anak dan tabungan persiapan pensiun (hari tua)nya.
Dan petugas pajak meminta pak R print out uraian GTU (Gabungan Transaksi Umum) yang ada di semua rekening itu. Pak R tadinya menyanggupi, namun akhirnya batal karena biaya untuk cetak uraian GTU empat rekening itu mahal sekali. Di Bank Mandiri Rp 25.000 per lembar dan di BCA Rp 2.500 per lembar, dan dari empat rekening itu ada ratusan lembar.
Pak R sampaikan keberatannya ini pada petugas pajak, dan petugas pajak menyetujui pak R tak menyerahkan uraian GTU dengan syarat beliau setuju atas hasil pemeriksaan berdasar GTU yang ada di buku rekening.
Walhasil, beberapa bulan setelah itu, datang email dari petugas pajak yang menginformasikan bahwa alih-alih ada restitusi atas kelebihan bayar pajak, yang ada malahan pak R justru berhutang pajak dan mulai dikenakan denda 2% per bulan (sesuai Pasal 19 Ayat 1, UU no 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan).
Mengapa bisa begitu?
Ternyata, petugas pajak berpatokan bahwa setiap UANG yang MASUK ke rekening (di illustrasi : rekening A, B, C dan D) DIANGGAP sebagai PENDAPATAN. Tak melihat bahwa itu hanya perpindahan dari rekening lain yang dimiliki pak R (karena pak R belum bisa menjelaskan dengan data asal uang yang masuk ke Rekening B,C, dan D tersebut).

Pak R sedang melakukan upaya banding. Tapi dari kasus beliau kita bisa belajar :
1. Pastikan bila memiliki banyak rekening, kita punya rincian transaksi atau uraian GTU nya. Sehingga mudah melakukan tracking dan penjelasan asal datangnya uang. Apakah itu memang pendapatan atau hanya pemindahan dana saja dari rekening pribadi lainnya.
2. Untuk para koordinator arisan atau pelaku bisnis JASTIP (Jasa Titip) juga makin bijak menggunakan rekeningnya untuk transit dana, apalagi bila jumlahnya sangat besar. Yang (berpotensi) dikenakan PPh adalah uang yang masuk ke rekening, dan bila sudah mulai berbunga maka bunganya akan kena PPh final 20% dari bunga tersebut.
3. Bijak memilih instrumen investasi. Menyimpan dana jangka panjang baik itu untuk pendidikan anak atau pensiun -salah satunya- bisa menggunakan instrumen Asuransi. Mengapa? Karena menurut pasal 4 ayat 3 UU no 36 tahun 2008 tentang PPh : pencairan dari klaim asuransi bukan merupakan penghasilan yang terkena pajak penghasilan.
Itu mengapa setelah mendengar penjelasan saya, pak R memindahkan rekening tabungan pendidikan anak dan jaminan hari tuanya ke produk Asuransi yang saya tawarkan sebagai asset baru perolehan tahun 2017. Tidak perlu biaya pencetakan uraian GTU, Bebas PPh atas bunga, dan bebas PPh saat pencairan.
Jadi, punya banyak rekening juga bisa bikin pening.
Comments
Post a Comment