Sebut saja namanya Budi, dia teman satu kelas waktu Tingkat Persiapan di kampus dulu. Budi adalah salah satu teman jaman susah : kamar kosnya sama dengan kamar kos saya, murah, sempit dan bau apak baju tak kering. Karena itulah kami suka “sok natural” : belajar di Taman. Padahal, karena memang sulit juga belajar di kamar kos yang pengap dan bau apak.
Mulai masuk jurusan di tingkat dua, kami sudah tak lagi pernah ketemu, sampai sekarang. Artinya sudah 27 tahun.
“Bagaimanakabar YYYYYY”, tanya saya sambil menyebut nama “gebetan” dia dulu jaman kuliah). Saya pikir dia jadi menikah sama Gebetannya ini.
Dia tertawa ngakak, dan bilang sudah tak jadi menikah dengan gebetannya itu, setelah pacaran delapan tahun, sejak kuliah sampai lulus dan kerja. Orang tua gebetannya tak setuju anaknya menikah dengan orang luar jawa. Ending yang tragis.
Lalu Budi bercerita satu demi satu penaklukannya, hingga bertemu dengan istri yang bisa memberinya dua anak yang keren-keren (saya lihat fotonya, untung anaknya ‘ikut genetik’ ibunya, kalau ikut gen bapaknya... repot).
“Dari sejak ditolaknya aku sama orangtua YYYYYY itu aku belajar Bas, bahwa ada ‘segmen’ yang memang bukan target marketku”.
Lalu dalam pencarian itu, aku mulai menemukan siapa sebenarnya “target marketku”. Kita tak bisa ‘membidik’ target kita hanya berdasar pandangan sekilas, perasaan... namun juga harus melibatkan sedikit saja logika.
Mendengar kisah Budi, saya teringat dalam beberapa kejadian dalam pekerjaan saya sebagai ‘agen asuransi’.
Kadang kita membidik target market kita hanya berdasar kriteria : kelihatannya dia perlu, kelihatannya dia mampu, kelihatannya dia cocok. Tapi kita tak mendalami benar-benar siapa target market kita itu, kebutuhan dan problema dia.
Pernah saya ketemu
calon nasabah : anaknya banyak dan masih kecil-kecil, kondisi ekonomi biasa saja, cicilannya banyak. Saya lihat dia adalah orang yang memerlukan ‘jaring pengaman’ bernama Asuransi. Bolak-balik saya datangi, saya tak habis bercerita soal manfaat namun dia tak bergeming. Belakangan saya tahu, dia memiliki keyakinan bahwa memiliki asuransi itu haram.
Sutu kali lagi ada calon nasabah. Di rumahnya, setiap kamar terpasang AC. Mobil ada dua untuk dia dan istrinya, pekerjaan juga kelihatannya mapan sebagai General Manager di sebuah perusahaan barang konsumer. Beberapa pertemuan pendekatan saya traktir dia, sampai habis jutaan (maklum ngajak makan GM kan nggak mungkin di warteg pinggir jalan,kan). Tapi sama juga dia tak bergeming, dan setelah saya telisik walau gajinya super besar, cicilan hutangnya juga lebih besar. Minus.
Dan, sama seperti Budi, saya berusaha belajar menentukan target market yang pas, minim penolakan. Dan walaupun sulit, alhamdulillah, tahun ini bisa bertemu dengan nasabah-nasabah yang pas. Yang bisa menghantar saya masuk kriteria sebagai agen MDRT (Million Dollar Round Table).
“Aku sekarang tinggal di Sydney, Bas. Istriku orang Ostrali”, Katanya. “Aku tahu, orang bule suka sama lelaki berkulit eksotik kayak KITA”, sambungnya. Kulit eksotik kayak kita : kurang ajar betul, dia cuma mau bilang kami berdua ini berkulit hitam muda.
Belajar dari Budi, ditolak bukanlah indikasi bahwa kita yang buruk saat menjual atau produk kita jelek. Ditolak itu, karena orang yang kita tawarin BELUM jadi target market yang pas. Berita baiknya, di negeri ini ada 280 juta orang. Ditolak satu orang, masih ada 279.999.999 orang lagi menunggu ditawari.
Jadi ditolak bukan berarti dukun harus bertindak. Ditolak, itu artinya kita musti lebih banyak bergerak.
Mulai masuk jurusan di tingkat dua, kami sudah tak lagi pernah ketemu, sampai sekarang. Artinya sudah 27 tahun.
“Bagaimanakabar YYYYYY”, tanya saya sambil menyebut nama “gebetan” dia dulu jaman kuliah). Saya pikir dia jadi menikah sama Gebetannya ini.
Dia tertawa ngakak, dan bilang sudah tak jadi menikah dengan gebetannya itu, setelah pacaran delapan tahun, sejak kuliah sampai lulus dan kerja. Orang tua gebetannya tak setuju anaknya menikah dengan orang luar jawa. Ending yang tragis.
Lalu Budi bercerita satu demi satu penaklukannya, hingga bertemu dengan istri yang bisa memberinya dua anak yang keren-keren (saya lihat fotonya, untung anaknya ‘ikut genetik’ ibunya, kalau ikut gen bapaknya... repot).
“Dari sejak ditolaknya aku sama orangtua YYYYYY itu aku belajar Bas, bahwa ada ‘segmen’ yang memang bukan target marketku”.
Lalu dalam pencarian itu, aku mulai menemukan siapa sebenarnya “target marketku”. Kita tak bisa ‘membidik’ target kita hanya berdasar pandangan sekilas, perasaan... namun juga harus melibatkan sedikit saja logika.
Mendengar kisah Budi, saya teringat dalam beberapa kejadian dalam pekerjaan saya sebagai ‘agen asuransi’.
Kadang kita membidik target market kita hanya berdasar kriteria : kelihatannya dia perlu, kelihatannya dia mampu, kelihatannya dia cocok. Tapi kita tak mendalami benar-benar siapa target market kita itu, kebutuhan dan problema dia.
Pernah saya ketemu

Sutu kali lagi ada calon nasabah. Di rumahnya, setiap kamar terpasang AC. Mobil ada dua untuk dia dan istrinya, pekerjaan juga kelihatannya mapan sebagai General Manager di sebuah perusahaan barang konsumer. Beberapa pertemuan pendekatan saya traktir dia, sampai habis jutaan (maklum ngajak makan GM kan nggak mungkin di warteg pinggir jalan,kan). Tapi sama juga dia tak bergeming, dan setelah saya telisik walau gajinya super besar, cicilan hutangnya juga lebih besar. Minus.
Dan, sama seperti Budi, saya berusaha belajar menentukan target market yang pas, minim penolakan. Dan walaupun sulit, alhamdulillah, tahun ini bisa bertemu dengan nasabah-nasabah yang pas. Yang bisa menghantar saya masuk kriteria sebagai agen MDRT (Million Dollar Round Table).
“Aku sekarang tinggal di Sydney, Bas. Istriku orang Ostrali”, Katanya. “Aku tahu, orang bule suka sama lelaki berkulit eksotik kayak KITA”, sambungnya. Kulit eksotik kayak kita : kurang ajar betul, dia cuma mau bilang kami berdua ini berkulit hitam muda.
Belajar dari Budi, ditolak bukanlah indikasi bahwa kita yang buruk saat menjual atau produk kita jelek. Ditolak itu, karena orang yang kita tawarin BELUM jadi target market yang pas. Berita baiknya, di negeri ini ada 280 juta orang. Ditolak satu orang, masih ada 279.999.999 orang lagi menunggu ditawari.
Jadi ditolak bukan berarti dukun harus bertindak. Ditolak, itu artinya kita musti lebih banyak bergerak.
Comments
Post a Comment