Seperti biasa pak Minto, Loper koran sepuh yang sudah mengirim koran ke rumah saya sejak 2004, mengangsurkan koran dan majalah yang saya langgani.
Saya lihat keranjangnya makin tipis. " Tinggal Bapak yang langganan koran di kompleks ini",Jawabnya kok korannya makin sedikit. "Untungnya saya sudah punya kambing buat persiapan pensiun, pak",Imbuhnya. Ya, tiap Idul Adha saya selalu memesan kambing dari peternakan pak Minto.
Saya sudah melihat gejala bahwa bisnis koran (dan majalah) makin sulit tahun 2005.
Ketika itu, stasiun KRL mulai banyak dilakukan penertiban, loper tak bisa bergerak sebebas akhir tahun 90-an. Perempatan jalan protokol juga mulai dijaga Satpol PP, tiap hari ada saja pengasong (termasuk loper koran) yang kena garuk.
Di tingkat agen koran, bisnisnya juga makin tua, karena anak agen koran tak mau meneruskan bisnisnya. Kerjanya berat, harus bangun tiap pagi tanpa ada libur, untung kecil tapi risiko bisnis tinggi karena penerbit semakin ketat membuat aturan serta pengasong yang bisa pergi kapan saja (bahkan karena dibajak oleh penerbit!).
Plus, kala itu saya melihat di rumah anak saya y ang masih SD tak mau lagi meyentuh koran. Maka saya bayangkan ketika dia tumbuh menjadi remaja dan dewasa dia tak akan lagi familiar dengan produk pemberitaan bernama koran (dan majalah).
Maka, tahun 2006 saya memutuskan keluar dari zona nyaman saya sebagai "pegawai" perusahaan koran. Memulai bisnis baru : jualan kopi, karena saat itu hanya Starbucks yang berjaya sendiri.
Tahun 2013, setelah tujuh tahun bergelut di perkopian, saya melihat ada gejala yang sama seperti industri koran dulu. Bedanya, "jualan kopi" makin sesak. Siapa punya modal, dia bisa dengan sangat mudah masuk di bisnis kopi. Makin besar modalnya,makin besar kemungkinannya berjaya.
Maka di tahun 2015 saya mengubah pola bisnis kopi saya, yang tadinya membuka outlet dan menjual hak franchise dengan hanya memasok bahan baku. Mengambil keuntungan jauh lebih sedikit, tapi tak terlalu menguras tenaga dan pikiran memikirkan SDM dan persaingan outlet.
Dan saya masuk ke bisnis baru : agency asuransi. Dan terus saya amati perkembangan serta tantangannya.
Tahun depan, tahun 2020, saya berniat memulai bisnis yang sesuai dengan hobi dan " passion" saya : Learning Centre dan Publishing (Penerbitan). Apakah ini akan jadi langkah yang tepat, saya tidak tahu.
Tapi, paling tidak, saya berusaha "mengganggu" zona nyaman saya terus. Supaya tidak terlena dan dilibas zaman.
Merasa sudah kerja keras kayak orang gila, begitu sudah tua cuma bongkok dan rematik saja hasilnya. Dan pada anak cucu hanya bisa berbagi cerita, tapi tak kelihatan ada buktinya...
Dari pak Minto, loper koran, saya belajar : kerja keras tidak pernah cukup tanpa kerja cerdas.
Saya lihat keranjangnya makin tipis. " Tinggal Bapak yang langganan koran di kompleks ini",Jawabnya kok korannya makin sedikit. "Untungnya saya sudah punya kambing buat persiapan pensiun, pak",Imbuhnya. Ya, tiap Idul Adha saya selalu memesan kambing dari peternakan pak Minto.
Saya sudah melihat gejala bahwa bisnis koran (dan majalah) makin sulit tahun 2005.
Ketika itu, stasiun KRL mulai banyak dilakukan penertiban, loper tak bisa bergerak sebebas akhir tahun 90-an. Perempatan jalan protokol juga mulai dijaga Satpol PP, tiap hari ada saja pengasong (termasuk loper koran) yang kena garuk.
Di tingkat agen koran, bisnisnya juga makin tua, karena anak agen koran tak mau meneruskan bisnisnya. Kerjanya berat, harus bangun tiap pagi tanpa ada libur, untung kecil tapi risiko bisnis tinggi karena penerbit semakin ketat membuat aturan serta pengasong yang bisa pergi kapan saja (bahkan karena dibajak oleh penerbit!).
Plus, kala itu saya melihat di rumah anak saya y ang masih SD tak mau lagi meyentuh koran. Maka saya bayangkan ketika dia tumbuh menjadi remaja dan dewasa dia tak akan lagi familiar dengan produk pemberitaan bernama koran (dan majalah).
Maka, tahun 2006 saya memutuskan keluar dari zona nyaman saya sebagai "pegawai" perusahaan koran. Memulai bisnis baru : jualan kopi, karena saat itu hanya Starbucks yang berjaya sendiri.
Tahun 2013, setelah tujuh tahun bergelut di perkopian, saya melihat ada gejala yang sama seperti industri koran dulu. Bedanya, "jualan kopi" makin sesak. Siapa punya modal, dia bisa dengan sangat mudah masuk di bisnis kopi. Makin besar modalnya,makin besar kemungkinannya berjaya.
Maka di tahun 2015 saya mengubah pola bisnis kopi saya, yang tadinya membuka outlet dan menjual hak franchise dengan hanya memasok bahan baku. Mengambil keuntungan jauh lebih sedikit, tapi tak terlalu menguras tenaga dan pikiran memikirkan SDM dan persaingan outlet.
Dan saya masuk ke bisnis baru : agency asuransi. Dan terus saya amati perkembangan serta tantangannya.
Tahun depan, tahun 2020, saya berniat memulai bisnis yang sesuai dengan hobi dan " passion" saya : Learning Centre dan Publishing (Penerbitan). Apakah ini akan jadi langkah yang tepat, saya tidak tahu.
Tapi, paling tidak, saya berusaha "mengganggu" zona nyaman saya terus. Supaya tidak terlena dan dilibas zaman.
Merasa sudah kerja keras kayak orang gila, begitu sudah tua cuma bongkok dan rematik saja hasilnya. Dan pada anak cucu hanya bisa berbagi cerita, tapi tak kelihatan ada buktinya...
Dari pak Minto, loper koran, saya belajar : kerja keras tidak pernah cukup tanpa kerja cerdas.
Comments
Post a Comment