Setahun sebelum MISTERBLEK coffee berdiri, saya dan istri pernah mencoba peruntungan dengan berjualan Produk Jelly dan Nata de Coco.
Nama perusahaan ala-ala yang kami dirikan : Cahaya Sinar Esok. Saat itu saya masih bekerja di harian Seputar Indonesia, sebagai buntut Naga.
Nama Cahaya Sinar Esok itu kami pilih, karena kami berharap usaha ini bisa menjadi cahaya di masa depan, sebagai pengganti mata pencaharian saya yang sudah merasa jenuh kerja kantoran serta melihat bahwa masa depan usaha media massa (tempat saya bekerja waktu itu) bakal surut seiring zaman.
Apa yang kami lakukan?
Kami mendapatkan produk dari seorang teman yang kebetulan memiliki pabrik pengolahan produk ini. Polanya konsinyasi : kami ambil barang, distribusikan ke warung-toko-pasar, menagih yang laku dan meretur barang yang tak laku.
Setiap Sabtu dan Minggu, saya dan istri (kadang anak-anak ikut) kanvassing ke warung-warung bahkan sampai ke Pasar Ciawi dan Pasar Leuwiliang. Bagasi mobil penuh dus minuman jelly.
Hal paling menyakitkan ketika menawarkan barang dagangan adalah ditolak oleh orang yang kita tawari.
Saat itu, saya sering kanvassing memakai mobil jatah dari kantor koran tempat saya kerja : Honda Civic VTIs tahun 2004. Sedan kinclong yang waktu itu harganya sudah Rp 300 jutaan lebih.
Datang ke warung pinggir jalan pakai sedan keren, menawarkan produk dan... Ditolak oleh tukang warung yang sepeda saja nggak punya. Sakit. Karena sebagai "buntut naga" saya tak pernah ditolak. "Anak buah" saya di kantor, apapun perintah saya akan nurut. Sebagaimana saya nurut perintah perintah bos saya. Kata "ditolak" tak ada dalam kamus saya.
Lebih sakit lagi, ketika menagih. Sudah janjian uang mau diambil (dan itu paling hitungan puluhan ribu), eh sampai warung yang kita tagih kita dimarahin, karena barang yang tak laku dianggap menuh-menuhin toko. Uang tagihan dibawa kabur jangan pula ditanya. Sering.
Usaha dagang minuman ini berakhir sekitar Maret 2006, setelah berjalan sekitar delapan bulan.
Tagihan macet saya tutup pakai gaji dari kerja kantoran. Dan Juni 2006 saya memulai jualan MISTERBLEK coffee yang bertahan hingga sekarang.
Menyadari bahwa ditolak itu menyakitkan buat saya, MISTERBLEK coffee saya kembangkan dengan cara yang berbeda. Pemasaran dilakukan online (melalui sosial media dan website) hingga pada masa puncaknya (tahun 2010-2014) pernah menjangkau 23 kabupaten kota dengan 308 outlet.
Dari segala perjalanan hidup itu, saya belajar bahwa tidak semua yang kita harapkan bisa kita raih dengan mudah. Ketidakmudahan itu ujian. Ujian itu indikasi kita harus belajar lebih tekun agar bisa naik kelas.
Satu hal lagi : kita musti tahu kelemahan kita, tapi sadar kelebihan kita juga.
Jangan fokus pada kelebihan saja, karena cenderung menjadikan kita "ujub" atau sombong. Jangan juga fokus pada kelemahan, yang akan mendorong ke titik rendah diri atau minder akut.
Kelebihan itu yang kita 'utilisasi', dan cari orang yang bisa menutupi kelemahan kita : bisa pasangan, guru atau partner bisnis.
Jadi, nggak ada dalam kamus : aku gagal, karena aku nggak bisa. Yang ada adalah : aku gagal, karena aku belagu!
Nama perusahaan ala-ala yang kami dirikan : Cahaya Sinar Esok. Saat itu saya masih bekerja di harian Seputar Indonesia, sebagai buntut Naga.
Nama Cahaya Sinar Esok itu kami pilih, karena kami berharap usaha ini bisa menjadi cahaya di masa depan, sebagai pengganti mata pencaharian saya yang sudah merasa jenuh kerja kantoran serta melihat bahwa masa depan usaha media massa (tempat saya bekerja waktu itu) bakal surut seiring zaman.
Apa yang kami lakukan?
Kami mendapatkan produk dari seorang teman yang kebetulan memiliki pabrik pengolahan produk ini. Polanya konsinyasi : kami ambil barang, distribusikan ke warung-toko-pasar, menagih yang laku dan meretur barang yang tak laku.
Setiap Sabtu dan Minggu, saya dan istri (kadang anak-anak ikut) kanvassing ke warung-warung bahkan sampai ke Pasar Ciawi dan Pasar Leuwiliang. Bagasi mobil penuh dus minuman jelly.
Hal paling menyakitkan ketika menawarkan barang dagangan adalah ditolak oleh orang yang kita tawari.
Saat itu, saya sering kanvassing memakai mobil jatah dari kantor koran tempat saya kerja : Honda Civic VTIs tahun 2004. Sedan kinclong yang waktu itu harganya sudah Rp 300 jutaan lebih.
Datang ke warung pinggir jalan pakai sedan keren, menawarkan produk dan... Ditolak oleh tukang warung yang sepeda saja nggak punya. Sakit. Karena sebagai "buntut naga" saya tak pernah ditolak. "Anak buah" saya di kantor, apapun perintah saya akan nurut. Sebagaimana saya nurut perintah perintah bos saya. Kata "ditolak" tak ada dalam kamus saya.
Lebih sakit lagi, ketika menagih. Sudah janjian uang mau diambil (dan itu paling hitungan puluhan ribu), eh sampai warung yang kita tagih kita dimarahin, karena barang yang tak laku dianggap menuh-menuhin toko. Uang tagihan dibawa kabur jangan pula ditanya. Sering.
Usaha dagang minuman ini berakhir sekitar Maret 2006, setelah berjalan sekitar delapan bulan.
Tagihan macet saya tutup pakai gaji dari kerja kantoran. Dan Juni 2006 saya memulai jualan MISTERBLEK coffee yang bertahan hingga sekarang.
Menyadari bahwa ditolak itu menyakitkan buat saya, MISTERBLEK coffee saya kembangkan dengan cara yang berbeda. Pemasaran dilakukan online (melalui sosial media dan website) hingga pada masa puncaknya (tahun 2010-2014) pernah menjangkau 23 kabupaten kota dengan 308 outlet.
Dari segala perjalanan hidup itu, saya belajar bahwa tidak semua yang kita harapkan bisa kita raih dengan mudah. Ketidakmudahan itu ujian. Ujian itu indikasi kita harus belajar lebih tekun agar bisa naik kelas.
Satu hal lagi : kita musti tahu kelemahan kita, tapi sadar kelebihan kita juga.
Jangan fokus pada kelebihan saja, karena cenderung menjadikan kita "ujub" atau sombong. Jangan juga fokus pada kelemahan, yang akan mendorong ke titik rendah diri atau minder akut.
Kelebihan itu yang kita 'utilisasi', dan cari orang yang bisa menutupi kelemahan kita : bisa pasangan, guru atau partner bisnis.
Jadi, nggak ada dalam kamus : aku gagal, karena aku nggak bisa. Yang ada adalah : aku gagal, karena aku belagu!
Comments
Post a Comment