Laporan Indeks Kesenjangan Ekonomi yang dirilis oleh Oxfam, dan
dikutip oleh Kompas 10/10/2018 (hal. 5), menyatakan bahwa Kesenjangan
Ekonomi Global berada di tingkat kritis.
Hal itu tergambar melalui fakta bahwa hanya sekitar 1 persen warga dari total populasi global menguasai empat perlima kekayaan global.
Orang kaya itu menikmati peningkatan harta secara gradual, bahkan tanpa mereka sadari, sementara -ironisnya- separuh warga termiskin di dunia tidak menikmati peningkatan harta walaupun sudah bekerja dengan sangat keras.
Bagaimana di Indonesia, sebenarnya sama saja, walau tak separah Singapura (lho...), Nigeria dan India.
Kita adalah negara yang sedang menggeliat, tumbuh orang-orang kaya baru. Katanya krisis? Sementara ini -menurut saya- krisis adalah (sebatas) komoditi jualan para politikus yang diamini pengikutnya.
Salah satu indikatornya adalah Laju pertumbuhan penjualan mobil dan motor baru (https://www.cnnindonesia.com/…/penjualan-sepeda-motor-sepan…) dan mobil (https://www.cnnindonesia.com/…/20-mobil-terlaris-semester-i…).
Menariknya, Yamaha membukukan penjualan tertingginya justru dari motor varian NMAX yang notabene harganya di atas 25 jutaan rupiah.
Bahkan khusus mobil, tahun 2018 adalah tahun pemecahan rekor penjualan mobil terbanyak di Indonesia sepanjang sejarah (https://www.cnbcindonesia.com/…/penjualan-mobil-juli-2018-t…).
Di saat orang bilang kondisi krisis seperti ini, banyak orang yang mendorong (atau didorong secara sukarela oleh iklan, situs belanja online) nyaris semua uangnya untuk membeli barang konsumtif. Pernah saya cerita di salah satu artikel, tentang tukang yang bekerja di rumah. Dia menukar Mio-nya yang masih bagus dengan Nmax baru agar terlihat "bonafid" di mata tetangganya.
Motor atau mobilnya baru, tapi
ditawari Program Saving-Investment- Protection (S- I - P) selalu menolak
dengan dalih ", Maaf cicilan saya masih banyak".
Bagaimana orang-orang itu bisa kaya (dan tanpa sadar makin kaya). Kuncinya bukan pendapatan yang besar, orang kaya bisa MENGELOLA UANGNYA DENGAN BAIK.
Gambar yang saya sertakan dalam postingan ini adalah berita yang dicapture dari situs marketplace reksadana Bareksa.com.
Bayangkan bila ada dua orang yang sama-sama memiliki uang Rp 200 juta.
Orang pertama, memilih menggunakan menggunakan uangnya untuk membeli Avanza (yang mungkin hanya dipakai saat week end, atau dari rumah ke stasiun). Tiga tahun nilai uangnya (dalam bentuk Avanza bekas) paling hanya sekitar Rp 170 jutaan.
Orang kedua, memilih mengalokasikan uangnya ke Reksadana. Dalam tiga tahun, nilai uangnya menjadi lebih dari Rp 260 jutaan, tanpa dia harus kerja sampai "botak".
Namun, alih-alih memberikan edukasi yang benar agar rakyat memiliki literasi keuangan yang baik, memiliki kesadaran memperkecil kesenjangan secara mandiri dengan program "S - I - P" : para politisi justru menggoreng isu ini dengan sangat renyah.
Maka, kalau ketemu calon nasabah yang bilang "Maaf, cicilan saya masih banyak", jangan ditinggal.
Justru itu saat yang tepat untuk kita memaksa mereka, jangan sampai cicilan yang belum lunas jadi beban anak istrinya.
Mewariskan harta jauh lebih utama ketimbang mewariskan hutang. Dan itu tak sulit, ada strategi dan caranya.
Hal itu tergambar melalui fakta bahwa hanya sekitar 1 persen warga dari total populasi global menguasai empat perlima kekayaan global.
Orang kaya itu menikmati peningkatan harta secara gradual, bahkan tanpa mereka sadari, sementara -ironisnya- separuh warga termiskin di dunia tidak menikmati peningkatan harta walaupun sudah bekerja dengan sangat keras.
Bagaimana di Indonesia, sebenarnya sama saja, walau tak separah Singapura (lho...), Nigeria dan India.
Kita adalah negara yang sedang menggeliat, tumbuh orang-orang kaya baru. Katanya krisis? Sementara ini -menurut saya- krisis adalah (sebatas) komoditi jualan para politikus yang diamini pengikutnya.
Salah satu indikatornya adalah Laju pertumbuhan penjualan mobil dan motor baru (https://www.cnnindonesia.com/…/penjualan-sepeda-motor-sepan…) dan mobil (https://www.cnnindonesia.com/…/20-mobil-terlaris-semester-i…).
Menariknya, Yamaha membukukan penjualan tertingginya justru dari motor varian NMAX yang notabene harganya di atas 25 jutaan rupiah.
Bahkan khusus mobil, tahun 2018 adalah tahun pemecahan rekor penjualan mobil terbanyak di Indonesia sepanjang sejarah (https://www.cnbcindonesia.com/…/penjualan-mobil-juli-2018-t…).
Di saat orang bilang kondisi krisis seperti ini, banyak orang yang mendorong (atau didorong secara sukarela oleh iklan, situs belanja online) nyaris semua uangnya untuk membeli barang konsumtif. Pernah saya cerita di salah satu artikel, tentang tukang yang bekerja di rumah. Dia menukar Mio-nya yang masih bagus dengan Nmax baru agar terlihat "bonafid" di mata tetangganya.

Bagaimana orang-orang itu bisa kaya (dan tanpa sadar makin kaya). Kuncinya bukan pendapatan yang besar, orang kaya bisa MENGELOLA UANGNYA DENGAN BAIK.
Gambar yang saya sertakan dalam postingan ini adalah berita yang dicapture dari situs marketplace reksadana Bareksa.com.
Bayangkan bila ada dua orang yang sama-sama memiliki uang Rp 200 juta.
Orang pertama, memilih menggunakan menggunakan uangnya untuk membeli Avanza (yang mungkin hanya dipakai saat week end, atau dari rumah ke stasiun). Tiga tahun nilai uangnya (dalam bentuk Avanza bekas) paling hanya sekitar Rp 170 jutaan.
Orang kedua, memilih mengalokasikan uangnya ke Reksadana. Dalam tiga tahun, nilai uangnya menjadi lebih dari Rp 260 jutaan, tanpa dia harus kerja sampai "botak".
Namun, alih-alih memberikan edukasi yang benar agar rakyat memiliki literasi keuangan yang baik, memiliki kesadaran memperkecil kesenjangan secara mandiri dengan program "S - I - P" : para politisi justru menggoreng isu ini dengan sangat renyah.
Maka, kalau ketemu calon nasabah yang bilang "Maaf, cicilan saya masih banyak", jangan ditinggal.
Justru itu saat yang tepat untuk kita memaksa mereka, jangan sampai cicilan yang belum lunas jadi beban anak istrinya.
Mewariskan harta jauh lebih utama ketimbang mewariskan hutang. Dan itu tak sulit, ada strategi dan caranya.
Comments
Post a Comment