Tadi malam, saya menghadiri resepsi pernikahan salah satu teman baik kami di kota Kupang, NTT.
Sebuah resepsi pernikahan paling meriah yang pernah saya hadiri seumur hidup. Tolong garis bawahi meriah, bukan mewah.
Sebuah resepsi pernikahan paling meriah yang pernah saya hadiri seumur hidup. Tolong garis bawahi meriah, bukan mewah.
Banyak resepsi mewah, namun "dingin". Tamu datang, bersalaman, makan
dan pulang. Tadi malam, suasana gedung aula hangat sejak pukul 19.30
hingga pukul 2 dini hari... ya pukul 2 !
Semua orang berdansa, menari riang dengan iringan lagu-lagu daerah riang dari Maumere, Atambua, Ende dan beberapa wilayah lain yang semalam baru saya dengar namanya.
Tidak ada perintah, tidak ada ajakan. Begitu musik berbunyi, mereka ikut menari. Larut dalam kegembiraan keluarga mempelai.
Tidak ada kesusahan terpancar dari wajah ratusan tamu yang hadir semalam.
Pada Ari, pengemudi yang mengantar jemput kami semalam, kami
bertanya"Apakah kegembiraan ini hanya ada dalam pesta-pesta di kota
Kupang?".
"Tidak pak, di kampung saya, di pelosok Atambua, kami berpesta sampai jam enam pagi, hari berikutnya",kata Ari.
Menghadiri pernikahan itu, saya menjadi teringat dialog dalam novel yang sedang saya baca. Novel tulisan Daniel Lapierre, City of Joy (hal. 299-300).
Dialog ini terjadi antara seorang polisi kota Kalkutta yang heran dengan kehidupan Stevan Kovalski, paderi Perancis yang memilih "sengsara" tinggal di Anand Nagar, distrik paling sengsara di kota Kalkutta.
"Tetapi tidakkah menurut Anda, negeri kami mempunyai hal-hal yang lebih indah untuk dinikmati oleh seorang tamu asing selain perkampungan-perkampungan kumuhnya",tanya si polisi.
"Tentu saja",jawab Kovalski. "Tetapi semua itu tergantung dari apa yang kita cari".
Kalau apa yang ada di pikiran kita hanya rasa curiga, ketidak puasan dan aneka hal buruk lainnya, maka apa yang akan kita temukan adalah aneka kabar buruk (bahkan sebagian besar kabar bohong) juga.
Pesta resepsi semalam semakin meyakinkan, bahwa negeri ini baik-baik saja. Tak seburuk postingan medsos para tim hore politisi yang sedang mabuk ingin berkuasa.
Apa yang kita cari, itu yang kita dapatkan. Semua baik-baik saja.
Semua orang berdansa, menari riang dengan iringan lagu-lagu daerah riang dari Maumere, Atambua, Ende dan beberapa wilayah lain yang semalam baru saya dengar namanya.
Tidak ada perintah, tidak ada ajakan. Begitu musik berbunyi, mereka ikut menari. Larut dalam kegembiraan keluarga mempelai.
Tidak ada kesusahan terpancar dari wajah ratusan tamu yang hadir semalam.

"Tidak pak, di kampung saya, di pelosok Atambua, kami berpesta sampai jam enam pagi, hari berikutnya",kata Ari.
Menghadiri pernikahan itu, saya menjadi teringat dialog dalam novel yang sedang saya baca. Novel tulisan Daniel Lapierre, City of Joy (hal. 299-300).
Dialog ini terjadi antara seorang polisi kota Kalkutta yang heran dengan kehidupan Stevan Kovalski, paderi Perancis yang memilih "sengsara" tinggal di Anand Nagar, distrik paling sengsara di kota Kalkutta.
"Tetapi tidakkah menurut Anda, negeri kami mempunyai hal-hal yang lebih indah untuk dinikmati oleh seorang tamu asing selain perkampungan-perkampungan kumuhnya",tanya si polisi.
"Tentu saja",jawab Kovalski. "Tetapi semua itu tergantung dari apa yang kita cari".
Kalau apa yang ada di pikiran kita hanya rasa curiga, ketidak puasan dan aneka hal buruk lainnya, maka apa yang akan kita temukan adalah aneka kabar buruk (bahkan sebagian besar kabar bohong) juga.
Pesta resepsi semalam semakin meyakinkan, bahwa negeri ini baik-baik saja. Tak seburuk postingan medsos para tim hore politisi yang sedang mabuk ingin berkuasa.
Apa yang kita cari, itu yang kita dapatkan. Semua baik-baik saja.
Comments
Post a Comment