"Obrigado Barak !",kata ku pada petugas imigrasi yang membubuhkan cap
masuk Timor Leste di paspor saya. Obrigado barak adalah bahasa Tetun
yang artinya : Terimakasih banyak.
Panas menyengat ketika kami mulai menyeberangi jembatan penyeberangan dari Pos Lintas Batas Matoain menuju Pos Imigrasi Batugade di Timor Leste. Kegiatan di Pos Imigrasi tak terlalu ramai siang itu, tak banyak orang yang datang dan pergi.
Perjalanan dari Batugade menuju Dili menyusuri garis pantai Selat Wetar yang berbatu karang.
Ini adalah negeri muda yang sedang berjuang dalam kemerdekaannya yang kedua. Kemerdekaan pertama mereka rebut tahun 1975 dari Portugis dan yang kedua dari Indonesia tahun 1999.
Penduduk Timor Leste tahun 2017 tercatat hanya sekitar 1,2 juta jiwa, yamg hidup di total area darat 14.874 km persegi. Maka jangan heran, selepas pukul 9 malam waktu Dili (atau pukul 7 malam waktu Jakarta) jalanan juga sudah mulai sepi.
Dari Batugade kami melewati Maubara dan Liquica. Jalanan relatif sepi, sebagian mulus (sekali) sebagian masih dibangun. Ini negeri yang sedang sibuk bebenah, seperti tetangga tuanya : Indonesia. Gorong-gorong diperbaiki, jalanan dibangun.
Salah satu pemandangan yang menarik adalah tambang garam di sepanjang pinggir jalan kota (atau desa) Liquica. Ya tambang garam. Baik yang diusahakan oleh pemerintah, maupun rakyat.
Sebagaimana di NTT, garam adalah komoditi ekspor penting mereka. Pemerintah dan rakyatnya bahu membahu mengusahakan garam mereka menjadi penghasil devisa, selain minyak bumi, marmer dan tentu saja...kopi timor yang terkenal itu. Untuk diketahui, kopi Timor menghasilkan ekspor rata-rata US$10 juta per tahun, dan anda tahu siapa pembeli utama kopi Timor? Ya, Starbucks.

Para petani garam di Liquica menggunakan air laut sebagai bahan baku, dan merebus air laut itu hingga garamnya tersisa. Ini membuat kebersihan garam mereka cukup baik, minim bercampur lumpur atau tanah.
Lebih unik lagi adalah garam yang diprodukai di daerah Laga. Garam ini bukan dibuat dari air laut, namun dipanen dari sebuah danau.
Sehingga tak memerlukan proses perebusan. Setiap tahun tak kurang 100 ton garam bebas karbon (karena tak melalui proses perebusan) dihasilkan dari danau ini. Menjadikan garam Laga adalah garam yang paling dicari oleh chef-chef terbaik dunia.
Membaca cerita Timor yang berjuang dengan kopi dan garamnya, saya teringat nasehat guru saya dulu.
Saya dulu pernah ditanya,"Basri, kalau kamu sedang kemping di tengah
hutan dan malam hari yang gelap pekat, kamu akan menjerang air untuk
kopi. Saat kamu menyusun kayu bakar, kamu baru sadar bahwa kayu bakarmu
kurang. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Guru, saya akan masuk ke hutan, mengambil kayu bakar tambahan",Jawab saya.
"Banyak orang berfikir begitu. Walau itu keliru",kata guru saya. Sebaiknya, buang sedikit air di cerekmu, supaya kayu bakarmu cukup.
Kebanyakan orang fokus pada kekurangan mereka, tidak melihat dalam diri mereka banyak sekali kelebihan.
Mengingat kisah guru saya itu, saya jadi tahu bahwa -setidaknya- untuk rakyat Timor Leste, mereka tahu di mana kelebihan mereka. Buat mereka garam tak selalu asin.
Panas menyengat ketika kami mulai menyeberangi jembatan penyeberangan dari Pos Lintas Batas Matoain menuju Pos Imigrasi Batugade di Timor Leste. Kegiatan di Pos Imigrasi tak terlalu ramai siang itu, tak banyak orang yang datang dan pergi.

Ini adalah negeri muda yang sedang berjuang dalam kemerdekaannya yang kedua. Kemerdekaan pertama mereka rebut tahun 1975 dari Portugis dan yang kedua dari Indonesia tahun 1999.
Penduduk Timor Leste tahun 2017 tercatat hanya sekitar 1,2 juta jiwa, yamg hidup di total area darat 14.874 km persegi. Maka jangan heran, selepas pukul 9 malam waktu Dili (atau pukul 7 malam waktu Jakarta) jalanan juga sudah mulai sepi.
Dari Batugade kami melewati Maubara dan Liquica. Jalanan relatif sepi, sebagian mulus (sekali) sebagian masih dibangun. Ini negeri yang sedang sibuk bebenah, seperti tetangga tuanya : Indonesia. Gorong-gorong diperbaiki, jalanan dibangun.
Salah satu pemandangan yang menarik adalah tambang garam di sepanjang pinggir jalan kota (atau desa) Liquica. Ya tambang garam. Baik yang diusahakan oleh pemerintah, maupun rakyat.
Sebagaimana di NTT, garam adalah komoditi ekspor penting mereka. Pemerintah dan rakyatnya bahu membahu mengusahakan garam mereka menjadi penghasil devisa, selain minyak bumi, marmer dan tentu saja...kopi timor yang terkenal itu. Untuk diketahui, kopi Timor menghasilkan ekspor rata-rata US$10 juta per tahun, dan anda tahu siapa pembeli utama kopi Timor? Ya, Starbucks.

Para petani garam di Liquica menggunakan air laut sebagai bahan baku, dan merebus air laut itu hingga garamnya tersisa. Ini membuat kebersihan garam mereka cukup baik, minim bercampur lumpur atau tanah.
Lebih unik lagi adalah garam yang diprodukai di daerah Laga. Garam ini bukan dibuat dari air laut, namun dipanen dari sebuah danau.
Sehingga tak memerlukan proses perebusan. Setiap tahun tak kurang 100 ton garam bebas karbon (karena tak melalui proses perebusan) dihasilkan dari danau ini. Menjadikan garam Laga adalah garam yang paling dicari oleh chef-chef terbaik dunia.


"Guru, saya akan masuk ke hutan, mengambil kayu bakar tambahan",Jawab saya.
"Banyak orang berfikir begitu. Walau itu keliru",kata guru saya. Sebaiknya, buang sedikit air di cerekmu, supaya kayu bakarmu cukup.
Kebanyakan orang fokus pada kekurangan mereka, tidak melihat dalam diri mereka banyak sekali kelebihan.
Mengingat kisah guru saya itu, saya jadi tahu bahwa -setidaknya- untuk rakyat Timor Leste, mereka tahu di mana kelebihan mereka. Buat mereka garam tak selalu asin.
Comments
Post a Comment