Setelah enam angkatan/batch Kelas Terbuka Perencanaan Waris yang secara rutin saya helat setiap bulan, Alhamdulillah, saya bisa berada dalam enam grup watsap alumni kelas tersebut. Total member bila dijumlah sekitar 80-an orang dari berbagai perusahaan asuransi di Indonesia.
Hal yang menyenangkan adalah para alumni saling bertukar kasus di grup tersebut.
Dan ini salah satu kasusnya.
Mawar (sebut saja begitu) adalah anak perempuan dari Bapak Kumbang yang baru saja dimakamkan enam bulan lalu. Mawar merasa semasa hidup, ayahnya ayah yang baik, hidupnya "wajar" dan keluarga mereka bahagia-bahagia saja.
Ibunya, atau istri pak Kumbang, sebut saja bu Melati sosialita di kota mereka. Apa yang ditampilkan di depan publik, adalah selalu yang terbaik. Baju, tas, perhiasan... Semua. Bu Melati merasa itulah wujud cinta dan kompensasi waktu dari suaminya yang selalu sibuk bekerja bahkan hingga sabtu dan minggu.
Mawar bercerita, Silih berganti agen asuransi datang ke bu Melati, selalu ditolaknya. "Buat apa asuransi, toh harta suamiku banyak",kata Mawar menirukan Bu Melati.
Hingga pak Kumbang meninggal dunia, gantung diri karena stress ditagih hutang.
Hutang usaha? Bukan! Ternyata ada "rumah" lain yang juga harus dibiayainya : Seorang wanita yang dinikah siri dan sudah memiliki anak lelaki.
Sejak itu, kehidupan Mawar berubah. Hidupnya yang tadinya serasa di surga, berubah menjadi neraka sejak Penagih Hutang meneror Ibunya atas hutang almarhum Bapaknya. Jangankan perhiasan atau tas mewah, Debt collector sampai memaksa mengambil baju-baju ibunya di lemaru, namun sisa hutang tetap masih banyak.
Sering para penagih hutang ini mempermalukan ibunya dengan sengaja berteriak-teriak di depan pagar rumah, atau sengaja membunyikan motor yang knalpotnya bising sehingga tetangga juga terganggu.
Itu saja? Tidak!
Enam bulan setelah ayahnya dimakamkan tadi itu, datang istri "siri" almarhum suaminya bersama orang yang dikenalkannya sebagai pengacara, membawa surat penetapan dari pengadilan yang bunyinya menetapkan anaknya sebagai "anak luar kawin diakui".
Mereka menuntut bagian warisan atas itu, anak yang tiba-tiba datang dari langit.
Pengacara mereka bilang, sesuai pasal 862 dan 864 KUHPerdata, anak (dari langit ini) memiliki hak waris dan haknya harus diberikan terlebih dahulu dibanding istri sah dan anak sah.
Proses penghitungan harta peninggalan almarhum dilakukan (termasuk sisa hutangnya). Dan istri siri menuntut hak anaknya segera dibayarkan.
Uang tak ada, usaha tak punya. Mawar dan Ibu Melati makin merana.
"Coba dulu ibu menerima tawaran Tante XXXXX (agen asuransi yang mengisahkan ini kepada saya) agar ayah bikin asuransi. Minimal ada uang tunai yang bisa kami pegang", Kenang Mawar. Belakangan Mawar baru paham, bahwa Uang Pertanggungan Asuransi BUKANLAH Obyek atau harta yang (pembagiannya) diatur oleh hukum waris.
Tapi apa daya, nasi sudah berubah menjadi kerak. Ternyata bukan cuma "Hartamu bukan Hartamu"... Ayahmu juga bukan Ayahmu.
----------------------
Catatan : ada unsur jualan di dalam status ini, tapi hanya 10%. Sisanya adalah Kisah Nyata yang bisa terjadi pada siapa saja.
Hal yang menyenangkan adalah para alumni saling bertukar kasus di grup tersebut.
Dan ini salah satu kasusnya.
Mawar (sebut saja begitu) adalah anak perempuan dari Bapak Kumbang yang baru saja dimakamkan enam bulan lalu. Mawar merasa semasa hidup, ayahnya ayah yang baik, hidupnya "wajar" dan keluarga mereka bahagia-bahagia saja.
Ibunya, atau istri pak Kumbang, sebut saja bu Melati sosialita di kota mereka. Apa yang ditampilkan di depan publik, adalah selalu yang terbaik. Baju, tas, perhiasan... Semua. Bu Melati merasa itulah wujud cinta dan kompensasi waktu dari suaminya yang selalu sibuk bekerja bahkan hingga sabtu dan minggu.
Mawar bercerita, Silih berganti agen asuransi datang ke bu Melati, selalu ditolaknya. "Buat apa asuransi, toh harta suamiku banyak",kata Mawar menirukan Bu Melati.
Hingga pak Kumbang meninggal dunia, gantung diri karena stress ditagih hutang.
Hutang usaha? Bukan! Ternyata ada "rumah" lain yang juga harus dibiayainya : Seorang wanita yang dinikah siri dan sudah memiliki anak lelaki.
Sejak itu, kehidupan Mawar berubah. Hidupnya yang tadinya serasa di surga, berubah menjadi neraka sejak Penagih Hutang meneror Ibunya atas hutang almarhum Bapaknya. Jangankan perhiasan atau tas mewah, Debt collector sampai memaksa mengambil baju-baju ibunya di lemaru, namun sisa hutang tetap masih banyak.
Sering para penagih hutang ini mempermalukan ibunya dengan sengaja berteriak-teriak di depan pagar rumah, atau sengaja membunyikan motor yang knalpotnya bising sehingga tetangga juga terganggu.
Itu saja? Tidak!
Enam bulan setelah ayahnya dimakamkan tadi itu, datang istri "siri" almarhum suaminya bersama orang yang dikenalkannya sebagai pengacara, membawa surat penetapan dari pengadilan yang bunyinya menetapkan anaknya sebagai "anak luar kawin diakui".
Mereka menuntut bagian warisan atas itu, anak yang tiba-tiba datang dari langit.
Pengacara mereka bilang, sesuai pasal 862 dan 864 KUHPerdata, anak (dari langit ini) memiliki hak waris dan haknya harus diberikan terlebih dahulu dibanding istri sah dan anak sah.
Proses penghitungan harta peninggalan almarhum dilakukan (termasuk sisa hutangnya). Dan istri siri menuntut hak anaknya segera dibayarkan.
Uang tak ada, usaha tak punya. Mawar dan Ibu Melati makin merana.
"Coba dulu ibu menerima tawaran Tante XXXXX (agen asuransi yang mengisahkan ini kepada saya) agar ayah bikin asuransi. Minimal ada uang tunai yang bisa kami pegang", Kenang Mawar. Belakangan Mawar baru paham, bahwa Uang Pertanggungan Asuransi BUKANLAH Obyek atau harta yang (pembagiannya) diatur oleh hukum waris.
Tapi apa daya, nasi sudah berubah menjadi kerak. Ternyata bukan cuma "Hartamu bukan Hartamu"... Ayahmu juga bukan Ayahmu.
----------------------
Catatan : ada unsur jualan di dalam status ini, tapi hanya 10%. Sisanya adalah Kisah Nyata yang bisa terjadi pada siapa saja.
Comments
Post a Comment