Skip to main content

MISKIN TAPI SEOLAH SEJAHTERA

Sebuah notifikasi dalam bahasa Korea masuk ke hape saya pukul 16.25 kemarin. Saat itu saya dan beberapa teman sedang ngobrol di kedai kopi Starbucks Jl. Sail-dong, seberang Lotte Young Plaza Daegu.

Penasaran, atas bantuan Google translate, kami buka pesan itu. Bunyinya :

"Peringatan, Departemen Urusan Cuaca mengindikasikan di udara kota Daegu sedang ada debu halus yang mengotori udara. Warga diminta mengenakan masker udara bila ingin beraktifitas di luar ruangan".

Saya duga, pesan itu masuk karena saya menggunakan Free Wifi-nya Korean Telecom di Starbucks.
Beberapa orang, anak-anak muda, bergegas keluar dari kedai dan mengenakan masker.

Taegu, atau dikenal -serta mudah dilafalkan- sebagai Daegu adalah kota Metropolitan terbesar ke 4 di Korea Selatan setelah Seoul, Busan dan Incheon. Terkenal sebagai kota Fashion dan Hi-Tech, banyak industri di kota ini.

Daegu -dalam bahasa Indonesia- berarti Bukit yang besar. Berada dalam "basin" dan dibelah oleh dua buah sungai : mengingatkan pada kota asal saya, Bogor.

Kalau Bogor punya aliran sungai Ciliwung yang mengalir dari arah puncak, membelah kota Bogor, Depok sampai Jakarta, dan juga sugai Cisadane yang mengalir dari arah Gunung Mandalawangi melewati Ciampea sampai Tangerang : maka Daegu punya sungai Nakdong dan Geumho.
Bedanya, dibanding Bogor, Daegu terasa lebih lengang. Maklum dengan luas wilayah 880 km2, penduduknya hanya 2,4 juta jiwa. Bandingkan dengan Bogor yang luasnya hnaya 118 km2 tapi dijejali 1 jutaan jiwa.

Di area perbelanjaan Dongseong-Ro ritme nampak berjalan cepat. Maklum, walau pendapatan per kapita penduduk Daegu masih terrendah dibandingkan penduduk kota lainnya di Korea, tapi besarnya masih USD 23.000.

Bandingkan dengan Pendapatan per Kapita penduduk Jawa Barat yang USD 2.780. Itu mengapa jangan heran, kalau di rumah makan atau lorong pusat perbelanjaan kita sering ketemu dua tiga lelaki bercakap dalam bahasa Indonesia. Mereka TKI yang bekerja di Korea.

Dengan UMR gross ekitar USD 1500, Korea adalah tujuan menarik untuk mengais rezeki.
Tentu tak elok membandingkan Daegu dan Bogor. Yang lebih elok untuk diamati adalah, kami datang ke Korea sebagai Turis pembelanja.

Itu sebuah "kebanggaan" tentunya. Ibarat kata, dalam hal kekuatan berbelanja : biarpun (lebih) miskin, kami bisa lebih sombong dari orang Korea.

Namanya juga orang Indonesia. Kita ini masih Miskin, tapi Sejahtera.

Comments

Popular posts from this blog

MAU JUAL GINJAL? BACA SAMPAI SELESAI !

Sudah dua tahun tak bertemu, seorang teman mengirimkan "broadcast message" (BM) di perangkat Blackberry saya. BM-nya agak mengerikan : dia mencari donor ginjal untuk saudaranya yang membutuhkan. Soal harga -bila pendonor bermaksud "menjual" ginjalnya bisa dibicarakan dengannya. Membaca BM itu, saya teringat kisah pak Dahlan Iskan dalam bukunya GANTI HATI. Dengan jenaka beliau bercanda, bahwa kini dia memiliki 2 bintang seharga masing-masing 1 milyar, satu bintang yang biasa dia kendarai kemana-mana (logo mobil Mercedez) dan satu bintang jahitan di perutnya hasil operasi transplatasi hati. Ya, hati pak Dahlan "diganti" dengan hati seorang anak muda dari Cina, kabarnya harganya 1 miliar. Lalu, iseng-iseng saya browsing, dan ketemulah data ini, Data Harga organ tubuh manusia di pasar gelap (kondisi sudah meninggal dibawah 10 jam, sumber :http://namakuddn.wordpress.com/2012/04/27/inilah-daftar-harga-organ-tubuh-manusia-di-pasar-gelap/) 1. Sepasang bola mata: U

KAN SAYA MASIH HIDUP ...

“Harta, sebenarnya belum bisa dikatakan pembagian harta karena saya masih hidup. Tetapi saya tetap akan membagikan hak mereka masing-masing sesuai dengan peraturan agama,” ujar ibu Fariani. Ibu Fariani adalah seorang ibu dengan empat orang anak yang baru saja ditinggalkan suaminya Ipda Purnawirawan Matta. Almarhum meninggalkan harta waris berupa tanah, rumah dan mobil senilai Rp 15 Miliar. Pada bulan Maret 2017, ketiga anak ibu Fariani mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Agama Kota Baubau, Sulawesi Tenggara dengan nomor 163/ptg/ 2013/PA/2017, yang inti gugatannya : Meminta bagian mereka selaku ahli waris yang sah atas harta waris almarhum ayah mereka. Dunia makin aneh? Anak kurang ajar? Tidak. Banyak orang yang memiliki pendapat seperti ibu Fariani, sebagaimana yang saya kutip di paragraf pertama di atas. Pendapat yang KELIRU. Begitu seorang suami meninggal dunia, maka hartanya tidak serta merta menjadi miliki istri atau anak-anaknya. Harta itu berubah menjadi h

CERITA 19 EKOR SAPI

Dul Kemit, Dede dan Khomsul datang ke rumah pak Lurah sambil bersungut-sungut. Mereka mencari orang yang bisa menyelesaikan masalah mereka. Pak Lurah menyambut mereka, dan tiga bersaudara ini menyampaikan masalahnya. Ayah Dul Kemit, Dede dan Khomsul baru saja meninggal seminggu lalu. Ceritanya, almarhum ayah meninggalkan WASIAT bahwa 19 ekor sapi yang ditinggalkan dibagi untuk mereka bertiga dengan porsi : Dul Kemit 1/2 bagian, Dede 1/4 bagian dan Khomsul 1/5 bagian. Pak Lurah pusing menghitung pembagiannya, karena pesan almarhum adalah saat membagi : sapi tidak boleh disembelih, dijual atau dikurangi. Untuk itu dia minta bantuan pak Bhabin dan Babinsa. Lalu pak Bhabin bilang", Sapi ada 19. Mau dibagi untuk Anak pertama 1/2, anak kedua 1/4 dan anak ketiga 1/5 tanpa menyembelih, tanpa mengurangi". Ketiga bersaudara itu menangguk-angguk. "Oke kalau begitu, supaya tidak berantem, saya akan sumbangkan satu ekor sapi milik saya untuk MENGG