Ini hanya cerita sederhana yang kebetulan terjadi di lingkungan saya.
Asisten rumah tangga kami, sebut saja namanya Meghan. Saya teringat nama ini karena kebetulan Rubrik Nama&Peristiwa harian Kompas menulis tentang Meghan Trainor, dan tak adil pula kalau asisten Rumah Tangga selalu disebut namanya Inem. Zaman sudah maju.
Oya, balik lagi ke Meghan. Meghan sudah lumayan lama bekerja di tempat kami, sejak belum punya anak sampai anaknya sudah dua. Setiap hari Rabu, dia selalu minta izin ikut Majelis ibu-ibu di Pesantren Ash Shogiri dekat rumah kami, pukul 8-12 siang.
Pesantren ini pesantren besar, jamaahnya ada di mana-mana. Tanah Kavling buat bikin rumah, kami beli Ajengan Pimpinan Pesantren ini, itu mengapa "kompleks" tanah kavlingan kami dinamai "Nurul Ikhwan".
Setiap Rabu pula, Meghan tampil
dengan outfit, dresscode terbaiknya. Kadang pakai sepatu kulit ala-ala
wanita karir, dan yang jelas tas coklat Michael Kors tak pernah
ketinggalan. (Walau dari istri, saya baru tahu kalau tas itu imitasi).
Pengajiannya sebenarnya tak lama, paling sejam. Tapi acara paska pengajian yang lama : mulai foto bareng (anak saya suka kepo, dan skrinsut-in status watsapnya Meghan), dan tentu saja belanja di pasar kaget yang selalu bikin macet jalan raya Tanah Baru tiap rabu.
Pulang dari pengajian, dia selalu membawa belanjaan. entah itu bando buat anak kedua, kotak pensil buat anak pertama dan...baju untuk melengkapi "dresscode" pengajian minggu depannya.
Pernah suatu kali iseng istri saya tanya, kenapa tampil seperti orang mau ke kantor (atau kondangan) saja layaknya.
"Ya kan bu, saya bisa pakai tas sama sepatu kan kalau ada pengajian aja. Nggak kayak ibu yang bisa pakai tiap hari ke kantor",Jawabnya.
Dan untuk belanja "outfit" termasuk sepatu dan tas Michael Kors itu tentu menguras uang gajinya. Buktinya, dia nyaris selalu minta kasbon kalau kalender "sudah miring".
Tapi, ternyata fenomena Meghan juga terjadi di level yang lebih "tinggi".
Banyak ibu-ibu rumah tangga, yang secara ekonomi tergantung pada suami, berkantor di rumah, merasa perlu menampilkan eksistensinya dengan event sejenis. Selayaknya Meghan.
Mereka berkumpul, mungkin mengaji barang sejam, lalu dilanjut acara foto, makan dan belanja dengan outfit maksimal. Dalam beberapa kasus yang saya amati, bahkan acara utama (mengaji) hanyalah justru acara sekunder bahkan tersier saja. Ikut-ikutan.
Saya melihat Meghan, dan ibu kelas menengah ini yang rentan pada "bencana keuangan" karena : Spending Power Tinggi, Earning Power Rendah (sekali). Belanjanya kuat, tapi bukan dari uang hasil keringat sendiri.
Repotnya lagi, mereka tak suka pengetahuan soal perencanaan keuangan karena dianggap berpotensi menghambat rencana mereka beli dresscode baru dan tas baru lagi.
Kemarin saya lihat Meghan mau berangkat ke pengajian bawa tas baru. Michael Kors lagi mereknya (fanatik rupanya).
Istri saya dengan iseng bertanya", Meghan, kamu sudah punya asuransi belum?".
"Asuransi kan haram bu",katanya meyakinkan.
"Lho, Bapak dan ibu ngegaji kamu pakai uang hasil kerja di asuransi lho, berarti haram juga dong",kata istri saya, melanjutkan keisengannya.
"Ah, kalau itu kan lain lagi bu",kata Meghan diplomatis, sambil sibuk dengan sepatu hak tinggi dan tas barunya.
Meghan dan tas Michael Kors imitasinya mengingatkan saya pada seorang istri yang "ribut" karena suaminya bayar premi asuransi, tapi menghiba datang ke kantor minta uang pencairan klaim asuransi yang dimiliki suaminya segera dicairkan dua hari setelah suaminya meninggal.
Bayar memang tak enak, terima duit itu jauh lebih enak. Meghan...Meghan... ada-ada saja.
Asisten rumah tangga kami, sebut saja namanya Meghan. Saya teringat nama ini karena kebetulan Rubrik Nama&Peristiwa harian Kompas menulis tentang Meghan Trainor, dan tak adil pula kalau asisten Rumah Tangga selalu disebut namanya Inem. Zaman sudah maju.
Oya, balik lagi ke Meghan. Meghan sudah lumayan lama bekerja di tempat kami, sejak belum punya anak sampai anaknya sudah dua. Setiap hari Rabu, dia selalu minta izin ikut Majelis ibu-ibu di Pesantren Ash Shogiri dekat rumah kami, pukul 8-12 siang.
Pesantren ini pesantren besar, jamaahnya ada di mana-mana. Tanah Kavling buat bikin rumah, kami beli Ajengan Pimpinan Pesantren ini, itu mengapa "kompleks" tanah kavlingan kami dinamai "Nurul Ikhwan".

Pengajiannya sebenarnya tak lama, paling sejam. Tapi acara paska pengajian yang lama : mulai foto bareng (anak saya suka kepo, dan skrinsut-in status watsapnya Meghan), dan tentu saja belanja di pasar kaget yang selalu bikin macet jalan raya Tanah Baru tiap rabu.
Pulang dari pengajian, dia selalu membawa belanjaan. entah itu bando buat anak kedua, kotak pensil buat anak pertama dan...baju untuk melengkapi "dresscode" pengajian minggu depannya.
Pernah suatu kali iseng istri saya tanya, kenapa tampil seperti orang mau ke kantor (atau kondangan) saja layaknya.
"Ya kan bu, saya bisa pakai tas sama sepatu kan kalau ada pengajian aja. Nggak kayak ibu yang bisa pakai tiap hari ke kantor",Jawabnya.
Dan untuk belanja "outfit" termasuk sepatu dan tas Michael Kors itu tentu menguras uang gajinya. Buktinya, dia nyaris selalu minta kasbon kalau kalender "sudah miring".
Tapi, ternyata fenomena Meghan juga terjadi di level yang lebih "tinggi".
Banyak ibu-ibu rumah tangga, yang secara ekonomi tergantung pada suami, berkantor di rumah, merasa perlu menampilkan eksistensinya dengan event sejenis. Selayaknya Meghan.
Mereka berkumpul, mungkin mengaji barang sejam, lalu dilanjut acara foto, makan dan belanja dengan outfit maksimal. Dalam beberapa kasus yang saya amati, bahkan acara utama (mengaji) hanyalah justru acara sekunder bahkan tersier saja. Ikut-ikutan.
Saya melihat Meghan, dan ibu kelas menengah ini yang rentan pada "bencana keuangan" karena : Spending Power Tinggi, Earning Power Rendah (sekali). Belanjanya kuat, tapi bukan dari uang hasil keringat sendiri.
Repotnya lagi, mereka tak suka pengetahuan soal perencanaan keuangan karena dianggap berpotensi menghambat rencana mereka beli dresscode baru dan tas baru lagi.
Kemarin saya lihat Meghan mau berangkat ke pengajian bawa tas baru. Michael Kors lagi mereknya (fanatik rupanya).
Istri saya dengan iseng bertanya", Meghan, kamu sudah punya asuransi belum?".
"Asuransi kan haram bu",katanya meyakinkan.
"Lho, Bapak dan ibu ngegaji kamu pakai uang hasil kerja di asuransi lho, berarti haram juga dong",kata istri saya, melanjutkan keisengannya.
"Ah, kalau itu kan lain lagi bu",kata Meghan diplomatis, sambil sibuk dengan sepatu hak tinggi dan tas barunya.
Meghan dan tas Michael Kors imitasinya mengingatkan saya pada seorang istri yang "ribut" karena suaminya bayar premi asuransi, tapi menghiba datang ke kantor minta uang pencairan klaim asuransi yang dimiliki suaminya segera dicairkan dua hari setelah suaminya meninggal.
Bayar memang tak enak, terima duit itu jauh lebih enak. Meghan...Meghan... ada-ada saja.
Comments
Post a Comment