Perhelatan kawinan anaknya setahun lalu rupanya meninggalkan luka-luka di catatan keuangan teman, yang akhirnya menjadi nasabah saya ini. Sebut saja namanya Budi.
Budi memulai bisnisnya dengan menjadi makelar jual beli motor. Hanya karena dia gigih, tak perlu waktu lama sampai akhirnya dia memiliki dealer motor bekas sendiri. Disusul dealer mobil bekas dan karena istrinya -konon- jago masak, dia membuat restoran kecil di sebuah kawasan ramai di kotanya : Karawang.
Sebagai orang yang mulai merasakan nikmatnya menjadi sukses secara finansial, Budi juga menikmati kenaikan gaya hidup.
Untuk beli tas dan jam tangan bermerek yang mulai digemarinya, dia menyediakan cukup waktu (dan uang) untuk berbelanja di Mall terbesar di Jakarta atau Bandung. Bila waktunya tak cukup, tak ragu dikeluarkannya uang untuk menginap di hotel yang "lumayan".
Sebenarnya margin penjualan motor dan mobilnya tak besar-besar amat. Restoran kecilnya juga belum menghasilkan banget. Tapi, Budi adalah tipe pengusaha yang hidupnya menumpang omzet (belakangan saya ketahui ketika kami mulai diskusi intens soal keuangan keluarganya, walau dia selalu ngeledek, ketawa-ketawa kalau ditawari produk asuransi).
Apa itu pengusaha yang hidupnya menumpang omzet? Ini adalah tipe pengusaha yang menikmati gaya hidup dari perputaran omzet usahanya, bukan dari keuntungan. Budi, sebagaimana pengusaha tipe ini selalu berpikir bisnis itu akan lancar-lancar saja.

Hari ini satu motor laku, omzet Rp 15 juta (marginnya Rp 1 juta), namun dia belanjakan Rp 15 juta karena berpikir besok akan ada satu motor laku yang hasil penjualannya bisa untuk menutup uang yang terpakai belanja. Begitu seterusnya, gali lubang-tutup lubang sebenarnya.
Tapi bukankah roda tak selalu bisa berputar dengan lancar ? Ketika satu roda gigi macet, maka macetlah semua. Roda gigi bisnis restorannya macet. Dan "luka dompet" nya menjadi menganga ketika perkawinan anaknya menyedot biaya hingga Rp 600 juta.
Budi rada terlambat ketika ketemu saya untuk berdiskusi soal rencana keuangannya ke depan.
Yang saya sarankan hanya satu : siapkan Program Jaring Pengaman Risiko Bisnis, bila kondisinya tak kunjung membaik. Program ini memastikan bahwa dia cukup punya warisan untuk keluarganya melunasi hutang -menyembuhkan luka keuangan - juga melanjutkan hidup.
Asset berupa rumah, ruko dan barang dagangan tak akan bunyi. Selain butuh WAKTU untuk 'mencairkannya' juga butuh BIAYA (yang tak kecil) untuk pajak dan legalitasnya.
"Jadi bagaimana Bas",tanyanya.
"Jangan jadi pengusaha penumpang omzet, hiduplah dari margin -jangan dari omzet. Dan jangan lagi ketawa ketika aku cerita soal Program Asuransi. Karena sekarang ini -hanya program Asuransi ini - yang bisa membantu menyelamatkan keluargamu dari Jerat Risiko Bisnismu",kata saya.
Dia manggut-manggut saja dan tanda tangan di form yang saya sodorkan. menunggang kuda bisa jadi berbahaya, namun menunggang omzet jauh lebih berbahaya.
Budi memulai bisnisnya dengan menjadi makelar jual beli motor. Hanya karena dia gigih, tak perlu waktu lama sampai akhirnya dia memiliki dealer motor bekas sendiri. Disusul dealer mobil bekas dan karena istrinya -konon- jago masak, dia membuat restoran kecil di sebuah kawasan ramai di kotanya : Karawang.
Sebagai orang yang mulai merasakan nikmatnya menjadi sukses secara finansial, Budi juga menikmati kenaikan gaya hidup.
Untuk beli tas dan jam tangan bermerek yang mulai digemarinya, dia menyediakan cukup waktu (dan uang) untuk berbelanja di Mall terbesar di Jakarta atau Bandung. Bila waktunya tak cukup, tak ragu dikeluarkannya uang untuk menginap di hotel yang "lumayan".
Sebenarnya margin penjualan motor dan mobilnya tak besar-besar amat. Restoran kecilnya juga belum menghasilkan banget. Tapi, Budi adalah tipe pengusaha yang hidupnya menumpang omzet (belakangan saya ketahui ketika kami mulai diskusi intens soal keuangan keluarganya, walau dia selalu ngeledek, ketawa-ketawa kalau ditawari produk asuransi).
Apa itu pengusaha yang hidupnya menumpang omzet? Ini adalah tipe pengusaha yang menikmati gaya hidup dari perputaran omzet usahanya, bukan dari keuntungan. Budi, sebagaimana pengusaha tipe ini selalu berpikir bisnis itu akan lancar-lancar saja.

Hari ini satu motor laku, omzet Rp 15 juta (marginnya Rp 1 juta), namun dia belanjakan Rp 15 juta karena berpikir besok akan ada satu motor laku yang hasil penjualannya bisa untuk menutup uang yang terpakai belanja. Begitu seterusnya, gali lubang-tutup lubang sebenarnya.
Tapi bukankah roda tak selalu bisa berputar dengan lancar ? Ketika satu roda gigi macet, maka macetlah semua. Roda gigi bisnis restorannya macet. Dan "luka dompet" nya menjadi menganga ketika perkawinan anaknya menyedot biaya hingga Rp 600 juta.
Budi rada terlambat ketika ketemu saya untuk berdiskusi soal rencana keuangannya ke depan.
Yang saya sarankan hanya satu : siapkan Program Jaring Pengaman Risiko Bisnis, bila kondisinya tak kunjung membaik. Program ini memastikan bahwa dia cukup punya warisan untuk keluarganya melunasi hutang -menyembuhkan luka keuangan - juga melanjutkan hidup.
Asset berupa rumah, ruko dan barang dagangan tak akan bunyi. Selain butuh WAKTU untuk 'mencairkannya' juga butuh BIAYA (yang tak kecil) untuk pajak dan legalitasnya.
"Jadi bagaimana Bas",tanyanya.
"Jangan jadi pengusaha penumpang omzet, hiduplah dari margin -jangan dari omzet. Dan jangan lagi ketawa ketika aku cerita soal Program Asuransi. Karena sekarang ini -hanya program Asuransi ini - yang bisa membantu menyelamatkan keluargamu dari Jerat Risiko Bisnismu",kata saya.
Dia manggut-manggut saja dan tanda tangan di form yang saya sodorkan. menunggang kuda bisa jadi berbahaya, namun menunggang omzet jauh lebih berbahaya.
Comments
Post a Comment