Dengan tergesa, setelah memarkir X-trail putihnya, ibu muda ini bergegas masuk kantor saya. Seperti biasa, Rindy, sekretaris kami menyilakan si Ibu duduk di depannya.
Namanya ibu Manurung. Dari namanya saya yakin ibu ini tidak berasal dari Boyolali. Suaminya baru saja sembuh dari sakit dan baru juga keluar dari sebuah Rumah Sakit di Bogor.
"Mbak, saya mau tanya. Ini saya punya tiga polis asuransi, tapi yang mengganti biaya perawatan hanya dari asuransi ini. Dan nomboknya juga lebih dari 50%",katanya agak bersungut-sungut. Wajahnya suntuk.
Saya lihat Rindy memeriksa tiga polis ibu Manurung, dari tiga perusahaan Asuransi yang berbeda. Semua atas nama suaminya, baik tertanggung maupun pemegang polis.
"Ibu, ini dari tiga asuransi ibu, hanya satu yang ada asuransi kesehatannya. Dua sisanya tidak ada", Terang Rindy.
"Wah, mana mungkin. Justru dua asuransi yang itu saya bayarnya mahal lho. Rp 60 juta per tahun", Sanggahnya.
Rindy dengan sabar menerangkan manfaat dari dua asuransi tersebut. dan bu Manurung kelihatan mulai manggut-manggut mengerti.
"Lalu kenapa dari Asuransi yang ini saya nomboknya banyak. saya sudah ikut selama lima tahun, dan baru kali ini 'pakai'. Rugi dong saya", Cecar bu Manurung.
Rindy membuka halaman 3 polis ibu Manurung. "Ibu, ini produk asuransi yang ibu miliki hanya memberi penggantian manfaat rawat inap dengan sistem plafon harga kamar. Plafonnya hanya Rp 250ribu per hari",Jelas Rindy.
"Kalau boleh tahu, suami ibu kemarin sewaktu sakit dirawat di kamar kelas berapa?",tanya Rindy.
"Saya waktu itu minta SVIP, supaya nggak kecampur sama pasien lain mbak",Jawab bu Manurung. Pantaslah.
Mendengar perbincangan itu, saya tertarik ikut nimbrung. Setelah mengenalkan diri, saya bertanya pada bu Manurung, mengapa dulu mau mengambil Asuransi Kesehatan dengan sistem plafon, dan plafonnya juga yang terendah seperti itu?
"Dulu agennya bilang, yang ini saja bu. Kan kasihan ibu kalau ambil yang 'plafon tinggi' nanti preminya kemahalan", Jawabnya.
Kadang juga saya kurang bisa mengerti model agen seperti ini. Bukankah kita membantu memberi manfaat pada nasabah berdasarkan tingkat kebutuhan dia? Banyak juga agen yang mengukur dalamnya kantong nasabah berdasar ukuran kantongnya.
Atau ada juga agen yang datang ke nasabah dengan malu-malu, memposisikan dirinya 'di bawah' alias tak sejajar dengan nasabah (pernah saya tulis di sini : http://www.basriadhi.com/2018/08/sejajar.html
Makanya di agency, kami selalu bilang : Jangan taruh peci kita di kepala nasabah. Hindari memasangkan Sepatu kita ke kaki nasabah. Mengukur kemampuan nasabah pakai takaran kantong kita. Kedepankan kebutuhan dia, bukan perkiraan kemampuannya.
Karena beda kaki, beda ukuran sepatu. Beda kepala, beda ukuran pecinya. Jangan-jangan malah nasabah perlunya bukan peci, tapi topi.
Comments
Post a Comment