
Hari ini anak saya yang SMA ujian mata pelajaran Ekonomi. Dia tanya soal inflasi. “Apa itu Inflasi, Kenapa bisa terjadi inflasi dan bisa nggak nanti kita terbebas dari inflasi?”, tanyanya.
Saya sodorkan gambar dari Kompas edisi Rabu 21/11/2018 ini. Apa itu inflasi.
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 sekitar 247juta jiwa, tahun 2018sudah menjadi sekitar 267juta jiwa. Dalam lima tahun ada PENAMBAHAN “jumlah mulut dan perut” sekitar 8%. Kelihatannya kecil, tapi itu setara dengan 5 kali penduduk Singapura !
Sedangkan dari gambar di Kompas kelihatan, luas sawah justru BERKURANG 8%. Dengan produktivitas yang, saya tidak yakin, bisa digenjot signifikan, hampir dipastikan produksi beras juga -kalaupun naik- juga tidak akan signifikan.
Sebagai gambaran, menurut FAO (Desember 2014) jumlah produksi beras Indonesia sepanjang 2014 sebanyak 70 juta ton, sedangkan Vietnam “hanya” sekitar 45 juta ton. Namun jangan lupa, di Vietnam “mulut dan perut” yang butuh beras hanya 95juta, sepertiga penduduk Indonesia. Maka jangan heran, tahun ini saja, Kementan membuka izin impor beras hingga dua juta ton.
Impor dua juta ton beras dari Thailand, Vietnam dan India tentu tak bisa dibayar pakai Rupiah. Kita musti pakai rupiah itu untuk “membeli” US Dollar. Makin banyak impor, kebutuhan US Dollar makin banyak. Sedangkan orang Amerika nggak “cetak duit” seenaknya, US Dollar jumlahnya segitu-segitu saja, peminat makin banyak... maka naiklah harganya. Itu baru ngomongin soal beras. Belum bensin, peniti, alat catok rambut, pinsil alis ...yang sampai saat ini masih kita impor.
Itulah Inflasi dan mengapa bisa terjadi inflasi.
Ada Capres yang kemarin kampanye, pada saat nanti bila dia berkuasa tak akan impor. Itu tentu cita-cita yang mulia, tapi agak ngawang-ngawang dihadapkan pada fakta sederhana soal beras dan sawah di atas.
Lalu, bisa nggak kita terhindar dari inflasi. Mungkin bisa, tapi lama. Itu soal mengubah perilaku. Selama kita masih jadi bangsa PEMBELI, bukan PENJUAL : agak sulit terhindar dari inflasi. Kenapa, lha kan tadi asal muasalnya dari pemakaian US Dollar sebagai alat tukar perdagangan.
Selama kita tidak produktif, buang-buang waktu untuk : demo, reuni dan segala sesuatu kegiatan yang kurang memberi dampak secara ekonomi (bahkan malah mungkin menghambat) ... maka siapapun presidennya, kayaknya sama saja.
Ditambah tingkat literasi keuangan kita yang rendah. Berinvestasi masih dianggap sesuatu yang “gimanaaa gitu”. Dari situs Katadata, tahun 2017, dari total investasi yang ditanamkan di Indonesia 62% adalah penanaman modal dari luar.
“Itu artinya kita sedang dijajah dong”,kata sebagian orang. Kurang tepat menurut saya. Yang tepat adalah : kita sedang membiarkan diri kita -secara sukarela- dijajah.
Lha orang kita sendiri, kalau “diajarin” soal investasi agak susah...banyak dalil dan dalihnya untuk menolak. Pikirannya cari untung besar, tapi kalau bisa nggak ada resiko. Akhirnya kejeblos investasi bodong dari perusahaan abal-abal. "Ngapain repot bikin dan jualan, kalau bisa tinggal beli aja",kata sebagian orang lain. Akhirnya impor.
“Jadi caranya gimana pak, supaya kita terhindar dari Inflasi”,tanya anak saya lagi.
“Ada dua cara”,Jawab saya.
Pertama : bijak mengelola duit, menjadi orang yang produktif dan hasilnya ditampung dalam tiga rekening. Rekening S(aving) untuk jangka pendek, I(nvestment) untuk mengalahkan inflasi pada jangka menengah dan panjang, serta rekening P(roteksi) untuk melindungi apa yang sudah kita kumpulkan jangan sampai bablas tak berbekas karena kejadian sakit dan ketidakpastian Hukum Waris.
“Lha cara kedua?”,tanyanya lagi.
Cara kedua : mulai besok jangan makan nasi. Kita jadi rayap, makan kayu. Supaya tak ada impor beras lagi.
Comments
Post a Comment