"Ngapain Bapak mempengaruhi suami agar punya asuransi Pak, ntar uang belanja buat saya berkurang buat bayar preminya",sungut istri klien saya ini di ruang tamu, ketika dia melihat saya sibuk mempresentasikan program asuransi untuk suaminya.
Sang suami -calon klien saya ini - terdiam seribu basa. Tak bisa berkata-kata. Klien saya ini karyawan swasta, dengan tiga orang anak belum lagi dari remaja. Jabatannya di kantor cukup oke-lah. Istrinya tak bekerja. Dan kami bertemu di ruang tamu rumahnya yang adem, di sebuah kompleks kelas menengah kota Bogor.
Hingga kemudian saya tunjukkan sebuah buku yang di sampulnya tertulis "Undang Undang Perkawinan RI, UU No 1 tahun 1974". Saya buka BAB VII, Pasal 35 tentang Harta Benda Dalam Perkawinan. sang istri masih belum mengerti.
"Saya bacakan ya Pak dan Ibu ",kata saya. dalam UU Perkawinan bab dan pasal di atas, harta yang timbul akibat sebuah perkawinan ada dua, yaitu Harta Bersama dan Harta Bawaan. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, serta Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
"Terus pak",sang istri mulai penasaran.
![]() |
Akhirnya saya dipeluk juga ... |
"Mengapa perlu ada Hukum Waris",tanya saya pada mereka. Mereka menggelengkan kepala. Tak tahu. "Karena Harta -terutama Harta Bersama- yang ditinggalkan oleh pemiliknya (misal suami) akan menjadi harta tak bertuan yang harus diatur kepemilikannya pada ahli warisnya",terang saya. Jadi sebagai istri atau anak tak bisa secara otomatis meng-klaim kepemilikan harta tersebut sepenuhnya.
Namun semua Hukum Waris itu mengatur (terutama dalam Hukum Waris Agama Islam yang jelas menyebut) bahwa yang dimaksud warisan tak hanya HARTA, namun juga TANGGUNGAN. Tanggungan itu mulai Kewajiban ZAKAT atas harta si jenazah, Biaya penyelenggaraan jenazah, HUTANG (baik hutang pribadi maupun hutan pada negara -misal kewajiban pajak, serta pelunasan wasiat pribadi dari jenazah (bila ada).
"Banyak kasus sengketa waris justru timbul perhitungan TANGGUNGAN tersebut muncul. Misalnya suami memiliki hutang pribadi : cicilan, hutang perdagangan dan kewajiban pada pihak ketiga yang tiba-tiba harus dilunasi. Sedangkan asset yang likuid (tunai) tak ada, apalagi seperti Ibu yang tidak bekerja",terang saya.
"Nah, asuransi adalah jalan keluar yang disediakan oleh Bapak untuk memastikan Ibu memiliki cukup DANA TUNAI untuk menyelesaikan persoalan "Tanggungan" itu, karena dalam polis asuransi jiwa jelas tertera jumlah yang HARUS diserahkan pada Ibu (sebagai istri yang ditunjuk sebagai ahli waris oleh suami) secara tunai oleh perusahaan asuransi. Tidak ada pihak lain yang bisa meng-klaim atas uang tunai yang diserahkan pada Ibu itu",terang saya lagi.
Jadi menurut saya, Ibu yang sebenarnya harus mendorong Bapak memiliki produk asuransi, serta memastikan Ibu sebagai penerima manfaat asuransi dengan jumlah yang tepat sesuai Tanggungan yang dimiliki Bapak. Ibu tak hanya harus tahu persis asset (rumah, kendaraan dll) yang dimiliki Bapak, namun juga Tanggungan (pajak, hutang dan kewajiban lain) dari Bapak.
Karena nanti, Ibu yang akan merasakan "manfaat"-nya. Warisan pasti datang, sepasti kematian. Dan Asuransi yang dimiliki oleh suami akan memastikan Harta akan dimiliki oleh istri secara UTUH, bersih dari Tanggungan.
Si Ibu menangguk-angguk dan tiba-tiba memeluk.... suaminya, bukan saya. Rupanya dia tak jadi (merasa) kehilangan uang belanja.
Comments
Post a Comment