Di luar hujan mulai turun deras, teritik air yang berjatuhan ke
kanopi depan nyaring hingga ruang penjurian "Program Mahasiswa Wirausaha
2016". Program ini digagas oleh CDA (Centre of Development and Alumni
Affair) IPB, dan tiap tahun berhasil melahirkan
wirausahawan-wirausahawan muda yang memiliki ide bahwa "Lulus Kuliah
Cari Kerja Itu Kuno".
Penyejuk ruangan mulai menghembuskan angin yang makin dingin, menembus kemeja flanel saya ketika anak ini - peserta urutan 13 - masuk ke ruangan sambil membawa tiga dus berisi nasi. Nasi Kotak.
Perawakannya tinggi, tak terlalu kurus. Warna kulitnya hitam, seperti saya. "Ini produk saya pak,"katanya memulai presentasi sambil mengangsurkan pada kami masing-masing satu dus nasi yang dibawanya. Di dalamnya ada setangkup nasi, lalapan, sambal, tempe goreng dan sepotong ayam bakar. Di atas tumpukan segala lauk itu, dia letakkan selembar kertas berisi Angka Kecukupan Gizi hidangan itu.
Namanya Damar. Dia adalah mahasiswa tingkat akhir sebuah jurusan di IPB, yang dulu ketika saya kuliah, jurusan ini mayoritas dihuni mahasiswi. Siang yang dingin itu dia lancar bercerita tentang usaha yang digelutinya : Oke Catering.
Damar memulai usaha ini dengan sangat "cerdas". Dia tak bisa memasak, tak punya modal untuk membangun dapur atau -apalagi- rumah makan. Dia hanya jago mengutak-utik internet. Setahun lalu, dia mengambil alih sebuah merek catering yang sudah sekarat di dekat tempat kostnya. Tak seperti umumnya pengusaha catering yang membeli alat dapur, merekrut chef dan sibuk memasak; dia hanya mengandalkan laptop dan kuota internet yang dimilikinya.
Dengan modal Rp 1.500.000,- dibukanya aplikasi Google Adwords. Dengan
modal ilmu SEO (Search Engine Optimization) yang dipelajarinya secara
autodidak, dia membangun Oke catering di dunia maya. Dia buat, dengan
modal segitu, setiap orang yang mengetikkan kata kunci di Google:
"Catering di Bogor" , maka muncullah "Oke Catering" di urutan pertama
situs pencarian itu. Silakan dicoba.
Setiap order yang masuk, dia minta warung makan sekitar kost-nya untuk mengerjakannya. Dia berbelanja, warung -mitra kerja yang diikatnya dengan kontrak- yang memasak, mengemasnya dalam dus berlabel "Oke Catering". Serta di akhir proses itu Damar melakukan Kontrol Kualitas. Jadi siapa bilang, membuat usaha catering harus punya dapur dan chef ?
Tak menunggu lama, hasil kerja cerdasnya dia tunjukkan pada kami -dewan juri - di Sabtu yang dingin itu. Omzetnya rata-rata Rp 60 juta per bulan, dengan rerata keuntungan yang dia kantongi 10% dari omzet. Itupun dia masih menolak beberapa order besar, karena mitra kerjanya masih belum sanggup menanganinya. Keuntungan itu, jumlah yang cukup lumayan untuk mahasiswa yang hanya bermodal laptop dan kuota internet.
Maka Damar kemarin seperti bercerita pada saya, bahwa cara dunia berbisnis sudah berubah. Dunia akan kejam pada orang-orang yang tak mau sedikit keluar dari "zona nyamannya" : berfikir dan bekerja
ala jaman Pithecantropus Erectus.
Sore itu, mata Damar berbinar. Dewan Juri sepakat memberikan tambahan modal maksimal -sesuai yang dimintanya. Lusa atau tahun depan saat sesi mentoring, saya yakin akan bertemu dia "one more level up".
Benar-benar, hidup itu #jangancemen.
Penyejuk ruangan mulai menghembuskan angin yang makin dingin, menembus kemeja flanel saya ketika anak ini - peserta urutan 13 - masuk ke ruangan sambil membawa tiga dus berisi nasi. Nasi Kotak.
Perawakannya tinggi, tak terlalu kurus. Warna kulitnya hitam, seperti saya. "Ini produk saya pak,"katanya memulai presentasi sambil mengangsurkan pada kami masing-masing satu dus nasi yang dibawanya. Di dalamnya ada setangkup nasi, lalapan, sambal, tempe goreng dan sepotong ayam bakar. Di atas tumpukan segala lauk itu, dia letakkan selembar kertas berisi Angka Kecukupan Gizi hidangan itu.
Namanya Damar. Dia adalah mahasiswa tingkat akhir sebuah jurusan di IPB, yang dulu ketika saya kuliah, jurusan ini mayoritas dihuni mahasiswi. Siang yang dingin itu dia lancar bercerita tentang usaha yang digelutinya : Oke Catering.
Damar memulai usaha ini dengan sangat "cerdas". Dia tak bisa memasak, tak punya modal untuk membangun dapur atau -apalagi- rumah makan. Dia hanya jago mengutak-utik internet. Setahun lalu, dia mengambil alih sebuah merek catering yang sudah sekarat di dekat tempat kostnya. Tak seperti umumnya pengusaha catering yang membeli alat dapur, merekrut chef dan sibuk memasak; dia hanya mengandalkan laptop dan kuota internet yang dimilikinya.
Masih mengeluh mau buka kios tapi susah cari tempat ? |
Setiap order yang masuk, dia minta warung makan sekitar kost-nya untuk mengerjakannya. Dia berbelanja, warung -mitra kerja yang diikatnya dengan kontrak- yang memasak, mengemasnya dalam dus berlabel "Oke Catering". Serta di akhir proses itu Damar melakukan Kontrol Kualitas. Jadi siapa bilang, membuat usaha catering harus punya dapur dan chef ?
Tak menunggu lama, hasil kerja cerdasnya dia tunjukkan pada kami -dewan juri - di Sabtu yang dingin itu. Omzetnya rata-rata Rp 60 juta per bulan, dengan rerata keuntungan yang dia kantongi 10% dari omzet. Itupun dia masih menolak beberapa order besar, karena mitra kerjanya masih belum sanggup menanganinya. Keuntungan itu, jumlah yang cukup lumayan untuk mahasiswa yang hanya bermodal laptop dan kuota internet.
Maka Damar kemarin seperti bercerita pada saya, bahwa cara dunia berbisnis sudah berubah. Dunia akan kejam pada orang-orang yang tak mau sedikit keluar dari "zona nyamannya" : berfikir dan bekerja
ala jaman Pithecantropus Erectus.
Sore itu, mata Damar berbinar. Dewan Juri sepakat memberikan tambahan modal maksimal -sesuai yang dimintanya. Lusa atau tahun depan saat sesi mentoring, saya yakin akan bertemu dia "one more level up".
Benar-benar, hidup itu #jangancemen.
Comments
Post a Comment