"Mas, asset saya banyak, rumah sudah ada tiga. Mobil setiap anak
sudah saya kasih. Usaha sudah jalan, jadi buat apalagi punya asuransi".
Beberapa calon klien saya yang kaya bilang begitu, hingga kemarin
seorang teman di Semarang mengutarakan problem temannya. Jadi ini
cerita temannya teman.
Sebut saja namanya Fulan. Orangtua Fulan kaya raya, pengusaha suplai besi untuk beton dan pekerjaan sejenisnya. Jelas, hartanya banyak termasuk sebuah rumah megah dua lantai di sebuah Perumahan elit di Semarang. Nilai taksirannya -kata Fulan- sekitar Rp 1.5 miliar. Rumah senilai segitu di Semarang, jelas lumayan elit.
Sebut saja namanya Fulan. Orangtua Fulan kaya raya, pengusaha suplai besi untuk beton dan pekerjaan sejenisnya. Jelas, hartanya banyak termasuk sebuah rumah megah dua lantai di sebuah Perumahan elit di Semarang. Nilai taksirannya -kata Fulan- sekitar Rp 1.5 miliar. Rumah senilai segitu di Semarang, jelas lumayan elit.
Hingga cerita ini dimulai. Alkisah orang tua Fulan meninggal dunia,
meninggalkan usaha (yang belakangan Fulan tak bisa mengelola dan
meneruskannya, karena tak pernah terlibat di dalamnya), dan rumah mewah
itu. Karena tak lagi meneruskan usaha, membiayai rumah sebesar itu
tentu menjadi beban berat bagi Fulan. Tagihan listrik bengkak luar
biasa (hampir diputus) dan Fulan memutuskan untuk menjual rumah, dengan
putus asa.
Persoalan timbul saat akan menjual rumah "mahal" itu adalah adanya biaya-biaya yang timbul, proses notaris, pajak jual beli, balik nama sertifikat, dan biaya lain Rumah senilai Rp 1.5 miliar butuh biaya untuk proses jual beli lebih dari Rp 100juta. Uang dari mana, listrik saja menunggak?.
Teringat Fulan, saya teringat penolakan beberapa calon klien saya saat ditawari memiliki asuransi.
Maka dalam Perencanaan Waris (Estate Planning), asuransi adalah instrumen penting. Usaha bisa diwariskan, iya. Tapi tak semua ahli waris bisa mengelola dan meneruskan usaha itu, boro-boro tambah maju, yang ada kebanyakan malah bangkrut. Rumah bisa diwariskan, iya. Tapi ternyata untuk proses "pengukuhan legalitas" nya butuh biaya yang besar, yang kadang justru membebani ahli waris. Itu mengapa dalam kasus sengketa waris, rumah warisan adalah salah satu obyek yang terbanyak disengketakan.
Maka bila kisah anda mirip orang tua Fulan,
memiliki asuransi adalah salah satu cara "membantu" ahli waris anda
memuluskan jalan mereka memiliki hak mereka, secara legal. Klaim
asuransi jiwa adalah tunai, bebas pajak. Bisa dipakai untuk menebus
warisan, misalnya tergadai atau belum lunas. Atau mungkin dipakai saat
proses balik nama atau jual beli.
Jadi sekali lagi Asuransi bukan Tabungan. Asuransi adalah bagian dari "Estate Planning", perencanaan waris. Tabungan (atau sebenarnya Investasi) dalam produk asuransi adalah benefit tambahan, bukan yang utama. Yang utama adalah proteksi. Bukan proteksi Jiwa atau Nyawa, bukan... Tapi proteksi penghasilan, asset atau harta.
Semoga kita semua tak seperti orang tua Fulan, yang merasa telah mewariskan harta, namun sebenarnya mewariskan "masalah" untuk para ahli warisnya. Cukuplah kisah ini menjadi pelajaran.
Mari kita cerdas ber-Asuransi.
** Catatan : Kisah Fulan diolah dari kisah nyata dari temannya teman saya , mbak Heny Lies di Semarang.
Persoalan timbul saat akan menjual rumah "mahal" itu adalah adanya biaya-biaya yang timbul, proses notaris, pajak jual beli, balik nama sertifikat, dan biaya lain Rumah senilai Rp 1.5 miliar butuh biaya untuk proses jual beli lebih dari Rp 100juta. Uang dari mana, listrik saja menunggak?.
Teringat Fulan, saya teringat penolakan beberapa calon klien saya saat ditawari memiliki asuransi.
Maka dalam Perencanaan Waris (Estate Planning), asuransi adalah instrumen penting. Usaha bisa diwariskan, iya. Tapi tak semua ahli waris bisa mengelola dan meneruskan usaha itu, boro-boro tambah maju, yang ada kebanyakan malah bangkrut. Rumah bisa diwariskan, iya. Tapi ternyata untuk proses "pengukuhan legalitas" nya butuh biaya yang besar, yang kadang justru membebani ahli waris. Itu mengapa dalam kasus sengketa waris, rumah warisan adalah salah satu obyek yang terbanyak disengketakan.

Jadi sekali lagi Asuransi bukan Tabungan. Asuransi adalah bagian dari "Estate Planning", perencanaan waris. Tabungan (atau sebenarnya Investasi) dalam produk asuransi adalah benefit tambahan, bukan yang utama. Yang utama adalah proteksi. Bukan proteksi Jiwa atau Nyawa, bukan... Tapi proteksi penghasilan, asset atau harta.
Semoga kita semua tak seperti orang tua Fulan, yang merasa telah mewariskan harta, namun sebenarnya mewariskan "masalah" untuk para ahli warisnya. Cukuplah kisah ini menjadi pelajaran.
Mari kita cerdas ber-Asuransi.
** Catatan : Kisah Fulan diolah dari kisah nyata dari temannya teman saya , mbak Heny Lies di Semarang.
Comments
Post a Comment